Mubadalah.id – Filsuf kenamaan Inggris, John Locke, telah lama menyinggung konsep tentang hak milik (property rights). Namun, hingga saat ini, pengejawantahan akan konsep itu masih sangat terbatas—mungkin bahkan sangat minim.
Diskursus mengenai hak asasi manusia (HAM) pun masih jarang membahas tentang hak milik. Bandingkan dengan hak sipil, hak ekonomi, atau hak politik, misalnya, bahasan perihal hak properti seolah teranak-tirikan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan kovenan yang secara tegas melindungi hak sipil dan hak politik. Kovenan itu bernama International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Sementara, dalam rangka melindungi hak ekonomi, PBB merilis International Covenant on Economic, Social, and Cultural, Rights (ICESPR). Meski secara eksplisit menyebut hak ekonomi, kovenan ini tidaklah gamblang menyasar perlindungan atas hak milik.
Padahal, hak milik, sebagaimana paparan John Locke, merupakan hak kodrati dan pada setiap individu. Sementara, dalam praktiknya, individu senantiasa berinteraksi dengan individu lain dengan relasi beragam.
Salah satunya tentu relasi marital atau pernikahan. Berkiblat pada pemahaman fikih tradisional, relasi marital berlaku inheren dengan hak milik. Akad nikah yang menjadi landasan relasi tersebut tak lain merupakan sebuah transaksi.
Kita tentu sering mendengar kalimat “Aku milikmu dan kamu milikku” dalam bait-bait janji suci pernikahan bukan? Lantas, kepemilikan seperti apa yang berlaku di dalam hubungan tersebut?
Sebatang pena dan seekor kucing
Misalkan kita memiliki sebatang pena, tentu kita memiliki hak milik atas pena itu. Kita bisa menggunakannya untuk keperluan apa saja. Kita bisa menjualnya, atau bahkan mematahkan dengan cara membanting pena tadi.
Sementara, jika kita punya kucing, kita juga berhak atas kucing tersebut. Kita berhak untuk mengajaknya bermain ke taman, menggendongnya sambil menonton televisi, juga memandikannya.
Namun, apakah kita berhak untuk membanting kucing yang kita miliki? Berhak kah kita untuk mematahkan salah satu kakinya mungkin? Tentu saja tidak. Tapi mengapa?
Sebab pena dan kucing merupakan dua entitas berbeda. Karenanya, hak milik kita atas keduanya tidaklah sama. Hal ini menunjukkan bahwa cakupan hak seseorang atas sesuatu yang ia miliki bersifat tidak pukul rata.
Kepemilikan atas sesuatu hal nilainya bisa berbeda dengan kepemilikan terhadap hal lain. Pembedaan ini muncul dari pertimbangan moral rasional manusia selaku makhluk berakal.
Lalu, bagaimana dengan hak suami-istri dalam ikatan marital?
Pada banyak rujukan, sering kita jumpai pemahaman bahwa istri adalah milik suami sepenuhnya. Sang suami berhak untuk melakukan apapun sekehendak hatinya terhadap sang istri.
Pada aspek kebutuhan biologis, misalnya, banyak orang memahami bahwa suami berhak atas tubuh istrinya kapanpun ia mau. Bahkan, masyhur di kalangan jamak, bahwa jika seorang istri menolak ajakan suami, maka ia beroleh laknat.
Padahal, dalam kondisi tersebut, istri tak melulu berada dalam situasi yang nyaman untuk berhubungan biologis. Sementara, hubungan biologis, sebagaimana amanat Quran, semestinya melahirkan ketentraman (sakinah) bersama.
Kepemilikan dalam hubungan marital tak seperti halnya kepemilikan seseorang atas pena. Pun, tak serupa pula dengan hak milik terhadap kucing atau properti lainnya.
Kepemilikan dalam relasi pasangan suami istri (pasutri) ialah kepemilikan yang bersifat kesalingan (mubadalah). Keduanya memiliki hak yang sama, setara, sekaligus berimbang.
Pemahaman ini digambarkan sangat baik oleh para leluhur Jawa. Mereka membuat ungkapan rumangsa handarbeni, padha hangrukebi, mulat sarira, hangrasa wani.
Istilah di atas mengajarkan bahwa relasi marital berarti perasaan memiliki, melindungi, lagi saling menjaga. Prinsip-prinsip sederhana inilah yang semestinya menjadi rujukan bersama bagi para calon pasangan muda.
Menyadari batasan, sebelum kebablasan
Pemahaman yang baik akan hak milik dalam relasi marital antar pasangan suami istri merupakan batasan yang mesti menjadi pengindahan bersama. Tanpanya, praktik-praktik eksploitatif dalam relasi marital bakal sering terjadi.
Kita tentu acap mendengar dari berita-berita perihal kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perkosaan dalam pernikahan, atau bahkan kasus human trafficking. Semuanya merupakan bentuk pelanggaran yang mencederai semangat kesakinahan pernikahan.
Menikah, sekali lagi, bukanlah proses instan untuk memiliki seseorang guna mengeksploitasi segenap dirinya. Namun, sebagaimana agama mengajarkan, pernikahan ialah jembatan menuju surga ketentraman.
Karenanya, menjadi tidak masuk akal bila cita-cita mulia itu justru berubah menjadi wadah bagi suburnya violansi, abusi, serta eksploitasi. Memahami konsep hak milik dalam relasi interpersonal ini boleh jadi merupakan pondasi awal menuju visi pernikahan yang diidam-idamkan. []