Mubadalah.id – Dalam perkembangan pemikiran Islam kontemporer, tafsir dan gerakan keadilan gender tidak lagi sekadar wacana di ruang akademik. Ia kini tumbuh menjadi arus pemikiran global yang berakar kuat dari pengalaman dan praksis sosial-keagamaan masyarakat Indonesia.
Salah satu pilar terbesarnya adalah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), gerakan keulamaan perempuan yang melahirkan pendekatan tafsir baru yaitu Mubadalah, Makruf dan Keadilan Hakiki.
Diskursus tentang arah baru keadilan gender Islam inilah yang menjadi fokus utama Serial Diskusi Online (SIKON) yang diselenggarakan oleh Center for Islamic Law and Ethics of Mubadalah (CILEM) UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon.
Mengangkat tema “Apa yang Unik dari Gerakan Keadilan Gender ala KUPI”, SIKON kali ini membedah edisi khusus African Journal of Gender and Religion (AJGR), Vol.31, No.1 (2025) yang menyoroti kiprah KUPI sebagai gerakan keagamaan progresif Indonesia yang berpengaruh secara global.
Sesi yang digelar pada Jumat, 17 Oktober 2025 itu menghadirkan tiga pemikir utama: Kamala Chandrakirana, Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, dan Prof. Nina Nurmila.
Qiraah Mubadalah: Membaca Teks dengan Perspektif Keadilan
Dalam paparannya, Prof. Nina Nurmila, Guru Besar Fikih dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung sekaligus aktivis Alimat, menekankan bahwa Qiraah Mubadalah hadir sebagai metode tafsir yang mengembalikan pesan universal teks Islam bahwa kebaikan dan keburukan bersifat timbal balik antara laki-laki dan perempuan.
“Jadi, kebaikan yang diajarkan teks harus dipahami sebagai sesuatu yang berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Sebagaimana keburukan juga harus dihindari oleh keduanya,” jelas Nina.
Ia mencontohkan, ketika Al-Qur’an memerintahkan laki-laki untuk memperlakukan istrinya dengan baik. Maka secara mubadalah, teks itu juga memerintahkan istri untuk memperlakukan suaminya dengan baik. Relasi itu dua arah, bukan satu pihak yang tunduk pada yang lain.
Penjelasan ini senada dengan pemikiran Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, perumus utama metodologi Qiraah Mubadalah. Menurutnya, memahami teks Islam tidak cukup hanya berhenti pada teks. Tetapi harus dilihat secara struktural melalui tiga lapis makna: al-mabadi’ (fondasi prinsip), al-qawaid (nilai tematik), dan al-juz’iyyat (norma partikular).
“Yang bersifat partikular atau operasional itu justru yang paling banyak kita temui di kitab-kitab fikih,” jelas Nina menjelaskan gagasan Faqihuddin.
“Padahal, bagian ini seharusnya lebih fleksibel terhadap perubahan zaman, dan harus kita baca dalam hubungannya dengan prinsip etik dan nilai universal keadilan yang ada pada lapisan pertama dan kedua,” tambahnya.
Dengan kerangka ini, Qiraah Mubadalah tidak hanya menawarkan metode tafsir baru, tetapi juga cara berpikir yang lebih dialogis dan kontekstual. Ia mengajak umat Islam untuk tidak menempatkan teks keagamaan sebagai batas, melainkan sebagai ruang perjumpaan nilai-nilai kemanusiaan.
Membedah Hadis Relasional
Dalam sesi diskusi yang berlangsung interaktif itu, Nina juga membedah sejumlah hadis yang sering orang-orang pakai untuk menjustifikasi posisi subordinat perempuan dalam rumah tangga.
Beberapa di antaranya adalah hadis yang menyebut bahwa “perempuan yang tidak berterima kasih pada suami akan masuk neraka,” atau “perempuan yang menolak kebutuhan biologis suami akan dilaknat malaikat.”
Menurutnya, teks-teks semacam ini bersifat relasional, karena berbicara tentang hubungan antara dua pihak suami dan istri. Maka, jika hadis itu kita pahami secara mubadalah, pesan moralnya tidak hanya untuk perempuan, tetapi juga berlaku sebaliknya bagi laki-laki.
“Laki-laki yang tidak berterima kasih kepada istrinya juga termasuk dalam kategori yang masuk neraka. Begitu pula laki-laki yang tidak memenuhi kebutuhan biologis istrinya. Prinsip keadilannya harus kita jaga agar relasi keduanya tetap setara,” ujar Nina menegaskan.
Inilah, menurutnya, cara kerja Qiraah Mubadalah yaitu mengembalikan teks kepada semangat etisnya, bukan terjebak pada formalisme redaksi teks yang bisa melanggengkan ketimpangan.
Dari Indonesia untuk Dunia
Kehadiran KUPI dan metodologi Mubadalah kini mendapat perhatian internasional. Tidak hanya karena keberhasilannya membangun tafsir progresif dari pengalaman perempuan Indonesia. Tetapi juga karena kemampuannya menginspirasi gerakan keislaman di seluruh dunia.
Melalui edisi khusus African Journal of Gender and Religion yang dibedah CILEM. Maka KUPI menjadi bagian dari arus besar Islam transformatif yang memperjuangkan keadilan sosial, kesetaraan gender, dan kemanusiaan universal.
Bagi Nina, KUPI menunjukkan bagaimana tafsir bisa menjadi praksis sosial. “Keadilan gender dalam Islam adalah hasil keberanian untuk membaca ulang teks dengan kesadaran moral yang berpihak,” tukasnya. []