Mubadalah.Id – Kita sering mendengar kalimat seperti, “Wah, bagus ya sekolah itu mau menerima murid disabilitas,” atau “Hebat banget kantor itu menyediakan lift untuk kursi roda.” Sekilas, kalimat-kalimat itu terdengar positif, penuh apresiasi dan niat baik. Tapi, kalau kita renungkan lebih dalam, ada sesuatu yang ganjil: kenapa hal yang seharusnya menjadi kewajiban justru dianggap kemurahan hati?
Padahal, akses bagi penyandang disabilitas bukanlah hadiah. Ia adalah hak. Sama seperti udara yang kita hirup atau jalan yang kita tapaki, setiap manusia berhak mendapatkan ruang yang membuatnya bisa hidup, belajar, dan bekerja dengan bermartabat.
Masih banyak masyarakat yang menempatkan penyandang disabilitas dalam posisi “yang ditolong.” Ketika sebuah instansi membuat jalur yang inklusif, orang akan memuji: wah, peduli banget ya sama penyandang disabilitas! Tapi jarang yang bertanya: Kenapa mereka baru membuat jalur itu setelah sekian lama? Siapa yang selama ini tidak bisa naik tangga? Siapa yang menjauh dari ruang publik karena kita gagal mengundangnya dengan ramah?
Sikap ini menggambarkan bagaimana masyarakat kita masih menempatkan penyandang disabilitas di pinggiran, bukan di tengah. Kita masih memperlakukan akses sebagai bonus, bukan sebagai bagian dari keadilan sosial. Padahal, setiap keterbatasan akses adalah bentuk pengingkaran terhadap hak asasi manusia.
Islam Memandang Disabilitas
Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan:
“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam.” (QS. Al-Isra: 70)
Ayat ini menegaskan kemuliaan setiap manusia tanpa memberi catatan kaki tentang kesempurnaan tubuh atau apapun. Kemuliaan itu melekat pada seluruh insan, tanpa terkecuali. Ayat ini mengandung pesan kesalingan: jika Allah memuliakan manusia tanpa syarat, maka tugas kita sebagai sesama manusia adalah memuliakan pula tanpa syarat.
Memberikan akses bukan sekadar bentuk empati, tapi wujud nyata dari memuliakan manusia. Ketika sekolah menyediakan fasilitas ramah difabel, ia bukan sedang “berbaik hati,” melainkan sedang menunaikan amanat keadilan. Ketika masjid menyiapkan ruang salat dengan jalur kursi roda, itu bukan kemurahan hati, melainkan penerapan nilai rahmah dan adil.
Padahal, penyandang disabilitas tidak meminta belas kasihan, Mereka hanya ingin kita mengakui hak mereka untuk mandiri. Dan akses bukan soal memudahkan hidup saja, tapi mengembalikan rasa kendali atas hidupnya sendiri. Bukankah ini juga bagian dari fitrah manusia? Kita ingin orang lain menghormati kita, bukan merasa kasihan. Kita ingin mereka mempercayai kita, bukan menyeragamkan kita.
Framing Media Terhadap Disabilitas
Sayangnya, media sering kali memproduksi narasi yang salah tentang penyandang disabilitas. Mereka kemudian seringkali menjadi “bahan bersyukur”, “kisah inspiratif”, orang yang dianggap “luar biasa karena bisa hidup seperti orang normal.” Padahal, tidak ada yang luar biasa dalam menjalani kehidupan yang semestinya memang hak semua orang.
Narasi semacam ini justru menegaskan jarak: bahwa dunia masih “bukan milik mereka,” dan mereka kita sebut hebat jika mampu menembus batas yang diciptakan masyarakat sendiri.
Mungkin di sinilah pentingnya menulis dari perspektif kesalingan. Menulis bukan untuk “membela,” tapi untuk “mendengarkan.” Bukan untuk menjadi juru bicara mereka, tapi memberi ruang bagi suara mereka agar bergema. Tulisan yang setara bukan hanya menyoroti penderitaan, tapi juga memperlihatkan kekuatan, humor, kecerdikan, dan daya hidup penyandang disabilitas sebagai manusia utuh.
Jadi, mari kita ubah cara pandang. Keep in mind: Relasi adil bukan tentang siapa yang kuat dan siapa yang lemah, tapi tentang bagaimana setiap pihak merasa aman dan memiliki ruang untuk tumbuh. Aksesibilitas berarti menciptakan sistem yang memungkinkan setiap orang berpartisipasi penuh, bukan sekadar hadir secara simbolik.
Kalau ruang publik belum ramah, kalau informasi belum inklusif, kalau pekerjaan masih menolak pelamar disabilitas, itu artinya kita belum adil. Dan ketidakadilan tidak bisa kita tutupi dengan kata “kasihan.” Lagipula, kita tidak bisa menyebut akses sebagai suatu anugerah atau kebaikan, karena ketika seseorang memberikan anugerah, sewaktu-waktu ia bisa mencabutnya kembali. Sementara hak, melekat pada keberadaan seseorang sebagai manusia.
Lalu, harus mulai dari mana?
Keadilan tidak selalu datang dari kebijakan besar. Ia bisa juga kita awali dengan hal-hal kecil, seperti:
Mengirim undangan acara dengan format digital yang bisa dibaca screen reader.
Membuat konten dengan subtitle dan deskripsi audio.
Memastikan ruang publik, sekolah, tempat ibadah, dan kantor bisa dijangkau semua orang.
Dan yang paling penting: mendengarkan kebutuhan mereka, bukan menebak-nebak.
Itu semua bukan proyek kebaikan, melainkan tanggung jawab bersama. Karena keadilan sejati bukan ketika yang kuat membantu yang lemah, tapi ketika semua saling menopang agar tak ada yang tertinggal.
Aku percaya, setiap paragraf yang kita tulis, bisa menjadi jembatan: antara mereka yang tak terdengar dengan dunia yang belum mau mendengar. Dan menulis isu disabilitas bukan hanya tugas aktivis atau jurnalis, tapi panggilan bagi siapa pun yang percaya bahwa hidup yang setara adalah hak semua manusia.
Mungkin, mulai sekarang kita perlu mengubah cara kita memuji. Bukan lagi “Bagus ya sekolah itu mau menerima murid disabilitas” tapi “Akhirnya sekolah itu sadar bahwa inklusi adalah hak semua murid.” Bukan lagi “Keren banget ya ada lift untuk kursi roda,” tapi “Seharusnya semua gedung memang ramah bagi semua tubuh.” Karena pada akhirnya, yang kita perjuangkan bukan kebaikan yang selektif, tapi keadilan yang menyeluruh.
Ingat: Allah menciptakan keberagaman agar kita merayakannya, bukan hanya menoleransinya. Dan setiap kali kita membuka akses bagi satu orang, sesungguhnya kita sedang membuka pintu rahmat bagi seluruh manusia.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)
Maka mari mulai dari diri kita, dari cara kita menulis, berbicara, dan memandang. Sebab, sekali lagi, akses bukanlah anugerah, tapi hak. Dan memperjuangkannya adalah bentuk tertinggi dari rasa syukur atas kemanusiaan kita bersama. []









































