Kedudukan perempuan pada masa sebelum Islam sebagaimana yang kita tahu mengalami ketidakadilan dari berbagai sisi kehidupan. Dari kacamata sosiologis pun bangsa Arab pada masa itu sudah terbiasa dengan tradisi yang menyimpang. Tradisi itu seperti membunuh anak perempuan hidup-hidup, perempuan juga tidak boleh mengambil keputusan untuk hidupnya sendiri karena harus mematuhi keputusan orang tua, hingga hanya dianggap sebagai pemuas laki-laki saja. Perempuan pada masa pra Islam juga tidak memperoleh bagian harta waris.
Kehadiran risalah Islam yang dibawa Rasulullah berangsur-angsur mengubah tradisi buruk yang mendiskriminasi perempuan ini. Melalui turunnya ayat Alquran dalam surat An-Nisa ayat 4-7, An- Nahl ayat 97, dan Ar-Rum ayat 21, Rasulullah berupaya membangun nilai-nilai luhur untuk perempuan.
Di dalam hadits juga disebutkan bagaimana potret nabi dalam menjunjung kaum perempuan, salah satunya hadits tentang penghormatan kepada ibu, “Hormatilah ibumu, ibumu, ibumu, dan bapakmu” (HR. Bukhari Muslim). Melalui nilai-nilai Alquran dan hadits yang diajarkan kepada umatnya inilah terlihat adanya inidikasi yang kuat dalam strategi dakwahnya, yang mana Rasulullah berusaha keras mengangkat derajat perempuan dan menjunjung tinggi kesetaraan gender melalui pendekatan sosiologis.
Jika dilihat dari contoh diskriminasi terhadap perempuan di atas, gender dari masa pra Islam ini memang dikonstruksi dan dipraktikkan pertama kali dalam lingkup keluarga. Maka dari itu, Rasulullah sebagai pionir dengan sigap mempraktikkan kehidupan keluarga yang mengutamakan pengarusutamaan gender (PUG) atau gender mainstreaming. Pengarusutamaan gender sendiri merupakan strategi dan rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mempromosikan dan mendorong optimalisasi dan keseimbangan kaum perempuan dalam pembuatan segala bentuk dan level kebijakan.
Konsep pengarusutamaan gender ini mencakup usaha-usaha yang memberikan jaminan terhadap kesetaraan dan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan, baik dalam berbagi peran dalam keluarga hingga upaya menghapus bentuk diskriminasi yang bebasis gender. Contoh dari konsep ini telah dipraktikkan Rasulullah ketika menempatkan Sayyidah Khadijah RA sebagai penasehat utamanya saat menghadapi situasi kritis. Berkat peran Sayyidah Khadijah inilah upaya kelompok elit Mekkah untuk menggagalkan misi dan perjuangan Rasul selalu gagal.
Peran yang sama pun hadir dalam diri Aisyah yang tidak hanya mendampingi Rasulullah dalam setiap ekspedisi militer, tapi juga mengajarkan ajaran beliau. Melalui pengalamannya itu Aisyah dikenal sebagai transmitter terkemuka dan mampu membentuk kekuatan oposisi untuk menentang rezim yang berkuasa pasca wafatnya Rasulullah. Melalui dua kisah Rasulullah dengan melibatkan peran perempuan di kehidupannya inilah dapat dikatakan bahwa beliau telah menghapus ketimpangan gender yang selama ini menjadi habit.
Ketimpangan yang dimaksud mulai dari subordinasi, stereotip, marginaslisasi, kekerasan terhadap perempuan, dan beban ganda perempuan. Selain peran Khadijah dan Aisyah yang sangat besar ini, Rasulullah juga menerapkan gender mainstreaming di dalam kehidupan keluarganya secara lebih intens. Berikut lima potret pengarusutamaan gender yang ditunaikan Rasullah dalam kehidupan keluarganya
Pertama, menghargai Eksistensi dan Independensi Perempuan. Rasulullah sering mengajak istrinya bermusyawarah, khususnya mengenai kondisi-kondisi kritis pada saat mendakwahkan Islam. Rasulullah bermusyawarah dengan Ummu Salamah ketika terjadi Perjanjian Hudaibiyah yang menyebabkan umatnya tidak bisa melaksanakan ibadah haji pada saat itu. Kekecewaan umatnya mengundang protes agar Rasulullah tetap menjalankan ibadah haji dan terus berjalan ke Mekkah.
Rasulullah merasa keberatan dengan kondisi ini, lalu beliau pulang ke rumahnya dan bermusyarawah dengan Ummu Salamah mengenai kondisi tersebut. Ummu Salamah memberi saran agar Rasulullah tetap melakukan ibadah haji dan menyuruh beliau tetap menyembelih hewan kurbannya. Lantas Rasulullah mengikuti saran dari istrinya tersebut. Dalam hal ini Rasulullah telah mempraktikkan kesetaraan gender dengan tidak meniadakan keberadaan dan kemampuan perempuan dalam mengambil keputusan dalam keluarga.
Pada masa pra Islam, perempuan tidak memiliki kesempatan untuk mengambil keputusan dalam keluarga. Bahkan perempuan yang mengeluarkan pendapat dianggap memiliki pemahaman yang radikal. Dengan potret Rasulullah yang mendengarkan saran perempuan, maka sebetulnya secara tidak langsung mematahkan anggapan yang selama ini masih eksis, yaitu Islam sebagai agama yang anti gender.
Kedua, Memberikan Hak Hidup yang Sama dengan Laki-laki. Di masa pra Islam anak perempuan dikubur hidup-hidup karena dianggap sebagai aib keluarga. Dengan latar belakang sosial inilah, Rasulullah mencontohkan bagaimana seharusnya seorang laki- laki yang berperan sebagai ayah memberikan hak hidup yang sama kepada anak perempuan seperti anak laki-laki. Dalam Riwayat Bukhori, terdapat kisah Rasulullah yang sangat mencintai cucu perempuannya, Umamah, sebagaimana beliau mencintai Hasan dan Husein. Rasulullah sering menggendong cucu perempuannya bahkan ketika sedang shalat.
Selain kepada Umamah, Rasulullah juga memperlakukan Fatimah dengan penuh keadilan dan kasih sayang. Ketika Fatimah masuk rumah, beliau langsung berdiri, lalu memegang tangan Fatimah dan mendudukannya. Kemudian Rasulullah menanyakan kesehatan dan kondisi keluarganya. Rasulullah juga sering menggendong Fatimah ketika masih kecil sambil berdiskusi di depan khalayak ramai.
Apa yang dilakukan Rasulullah pada masa itu bukanlah sesuatu yang lazim bagi masyarakat Arab, karena anak perempuan dianggap sebagai pembawa kemalangan. Dengan menggendong Fatimah di depan khalayak, secara tidak langsung Rasulullah memperlihatkan fakta bahwa memiliki anak perempuan bukanlah sebuah bencana atau kemalangan. Rasulullah juga menunjukkan kalau anak perempuan itu sama seperti anak laki-laki yang harus dikasihi dan dicintai.
Ketiga, Rasulullah Mendukung Peran Perempuan untuk Berkontribusi dalam Pemberdayaan Masjid. Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah untuk mendatangi masjid-Nya” (HR. Bukhori). Aisyah juga berkata “Kami para tokoh muslimah hadir bersama Rasulullah untuk melaksanakan shalat fajar dengan menyelimuti sekujur tubuh dengan kain. Setelah selesai shalat kami pulang ke rumah masing-masing.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Istri Rasulullah juga ikut melaksanakan shalat jenazah ketika Sa’ad bin Abi Waqqash meninggal dunia. Selain itu, istri Rasulullah juga gemar melaksanakan itikaf di masjid. Bahkan Aisyah pernah berkata kalau beliau hanya masuk rumah (ketika sedang itikaf) jika ada keperluan yang sangat mendesak. (HR. Bukhori)
Keempat, Rasulullah Memberikan Bagian Harta Waris Perempuan. Arab pra Islam merupakan wilayah tanpa hukum, sehingga pembagian harta waris untuk perempuan pun tidak ada. Jangankan untuk pembagian harta waris, kehadiran anak perempuan saja tidak pernah diinginkan oleh masyarakat Arab pada masa itu.
Dalam hal ini, ajaran Islam yang diajarkan Rasulullah telah membawa gerakan revolusioner dengan menetapkan perempuan memiliki hak bagian harta waris. Meskipun pada masa kini, pembagian hak waris ini masih menjadi bahan perdebatan, setidaknya Rasulullah berhasil menggebrak system masyarakat masa itu yang mulanya pembagian hak waris ini tidak pernah ada.
Kelima, Memberikan Perlindungan terhadap Perempuan Merdeka. Rasulullah juga memberikan perlindungan dan memperhatikan perempuan merdeka agar tidak diperlakukan seperti budak. Dengan latar belakang inilah perintah untuk menggunakan hijab pun turun, yang mana untuk membedakan perempuan merdeka dan yang belum merdeka pada masa itu.
Perintah ini pun turun ketika Rasulullah menikahi Zainab yang waktu itu dianggap sebagai budak serta berstatus janda. Selain itu, sebelum ayat ini turun, istri Rasulullah ketika keluar malam sering diganggu oleh orang-orang munafik. Hal ini sama dengan budak-budak perempuan yang selalu diganggu.
Maka pada saat itu diberikan hijab karena konteksnya merujuk untuk membedakan perempuan merdeka dan budak. Dalam hal ini, ajaran Islam yang kini masih dianggap membatasi pergerakan perempuan, tujuan sebenarnya ialah untuk melindungi kehormatannya. Dari potret pengarusutamaan gender yang diterapkan di dalam kehidupan keluarganya, sudah sangat jelas bahwa strategi dakwah Rasulullah ini berupaya keras dalam mengangkat derajat perempuan dan menjunjung tinggi kesetaraan gender.
Harapannya kita semua bisa memulai hal-hal yang dipraktikkan Rasulullah dalam menerapkan kesetaraan gender di dalam kehidupan keluarga agar kita mampu mencetak generasi yang melek kesetaraan. Di samping itu, pola pikir kesetaraan dapat membantu kita mematahkan anggapan bahwa ajaran Islam itu tidak melek gender. Faktanya Alquran, hadits, dan kehidupan Rasulullah pun sangat mengedepankan kesetaraan. []