Mubadalah.id – Setiap 22 Oktober kita peringati sebagai Hari Santri Nasional. Hari Santri ditetapkan berdasarkan Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh KH. Hasyim Asy’ari, sebagai wujud penghormatan atas semangat perjuangan para santri dan ulama dalam mempertahankan kemerdekaan.
Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, peran ulama’ dan santri turut mewarnai pergerakan sejarah perjalanan kemerdekaan. Banyak tokoh-tokoh nasional kemerdekaan yang juga merupakan santri, diantaranya KH. Wahid Hasyim (anggota BPUPKI dan PPKI), KH. Agus Salim (perumus Piagam Jakarta), KH. Ahmad Sanusi (anggota BPUPKI).
Tidak hanya santri laki-laki, pergerakan kemerdekaan Indonesia juga terwarnai oleh spirit perjuangan santri perempuan. Para tokoh santri perempuan tersebut, ialah Cut Nyak Meutia (Pahlawan nasional perempuan dari Aceh). Nyai Hajjah Rahmah El Yunusiyyah (Tokoh pendidikan Islam perempuan), dan Nyai Ahmad Dahlan (Siti Walidah) (Pendiri organisasi perempuan Islam ‘Aisyiyah).
Partisipasi Santri di Era Kemerdekaan – Reformasi
Pergerakan partisipasi santri tidak terhenti hanya sampai Indonesia merdeka. Hingga saat ini, para santri dan santriwati juga mulai merambah berperan di kancah Internasional dan global. Prof. Nadirsyah Hosen dalam tulisannya di akun X (20/20/25) sangat menggugah pemikiran saya.
“Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah memprediksi bahwa sekitar 2010 akan muncul gelombang profesor dari kalangan santri NU. Ia membaca tren bahwa santri tradisional muncul sejak 1990-an dalam menempuh pendidikan tinggi. Tapi jeda itu kini berubah menjadi lompatan sejarah. Fenomena yang dulu dibayangkan Cak Nur kini nyata. Santri-santri mulai menembus ruang akademik modern. Mereka tak lagi hanya belajar fiqh, tapi juga sains, ekonomi, teknik, dan kebudayaan. Kini wajah-wajah santri hadir di kampus umum dan dunia internasional. Salahudin Kafrawi mengajar filsafat di Amerika; Etin Anwar menulis tentang feminisme; Ismail Fajri Alatas mengajar di New York; Eva Nisa mengajar antropologi di Australia. Di bidang sains dan teknologi, Muhammad Azis menjadi profesor Energy and Process Integration Engineering di Jepang; Hendro Wicaksono seorang Prof bidang Data-Driven Industrial Systems di Jerman; Bakhtiar Hasan menekuni Biostatistika di Belgia.….”
Berangkat dari titik inilah refleksi Hari Santri 2025 ini saya tuliskan. Setelah berbagai pemberitaan yang sempat menyudutkan citra santri beberapa waktu terakhir, saya ingin menghadirkan kembali wajah lain dari dunia pesantren (sebuah gambaran wajah yang progresif dan menginspirasi).
Santri hari ini tidak lagi terkenal sebagai penjaga tradisi ilmu keagamaan saja. Namun juga sebagai agen perubahan (changemaker) yang berkiprah di berbagai bidang seperti lingkungan, sains, pendidikan, teknologi, hingga diplomasi global.
Hijroatul Maghfiroh Abdullah
Hijroatul Maghfiroh Abdullah atau yang akrab kita panggil Kak Firoh merupakan santri perempuan alumni Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta. Setelah menamatkan pendidikan menengah di MAN 1 Yogyakarta, beliau melanjutkan studi sarjana di UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon dengan konsentrasi Hukum Islam. Kecintaannya pada ilmu dan semangatnya untuk terus belajar membawanya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Beliau memperoleh gelar Master of Arts di bidang Humanities dari Leiden University, Belanda, dengan fokus kajian Islam dan ekofeminisme. Melalui riset akademiknya, Kak Firoh menelaah hubungan antara perempuan, agama, dan lingkungan, serta menggali nilai-nilai Islam yang berpihak pada keberlanjutan hidup dan keadilan ekologis. Saat ini, beliau tengah melanjutkan studi Master of Science di bidang Sustainability Studies di Macquarie University, Australia.
Melihat perjalanan pendidikan beliau, saya sangat yakin bahwa berasal dari kalangan pesantren tradisional bukan menjadi hal yang menyulitkan untuk dapat menempuh pendidikan di level internasional. Justru, nilai-nilai spiritual yang didpatkan semasa pesantren membawa nilai besar untuk berkiprah di kancah global selaras dengan nilai-nilai Islam yang Rahmatan lil ‘Alamin.
Penggagas Pesantren Hijau, Interreligious Learning on Environment, dan Eko-Feminisme
Kak Firoh pernah menjabat sebagai Programme Manager for Environment and Climate Change di Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI-NU). Dalam peran tersebut, belia berfokus pada pengembangan program dan kebijakan yang menghubungkan nilai-nilai keislaman dengan isu keberlanjutan lingkungan serta adaptasi terhadap perubahan iklim. Beliau juga menggagas program Pesantren Hijau (Green Pesantren Project) untuk pesantren dan santri.
Inisiatif Pesantren Hijau memperkuat peran pesantren dan para santri dalam membangun budaya ramah lingkungan. Terutama melalui edukasi ekologis, pengelolaan sampah berkelanjutan, serta penerapan efisiensi energi di lingkungan pesantren. Program tersebut mendapatkan dukungan dari Australia Awards Indonesia melalui Alumni Grant Scheme (AGS) karena inovatif dan relevan dalam pembangunan berkelanjutan berbasis nilai-nilai keagamaan.
Kiprah Kak Firoh di tingkat internasional kemudian semakin mengukuhkan komitmennya terhadap kerja lintas budaya dan keilmuan. beliau berkesempatan menjadi Fellow di The King Abdullah bin Abdulaziz International Centre for Interreligious and Intercultural Dialogue (KAICIID) di Lisbon, Portugal (2021–2022), Australia Global Alumni (2019–2020), serta Konrad Adenauer School for Young Politicians (KASYP Fellowship) di Berlin, Jerman (2016). Tahun 2021, melalui dukungan dari KAICIID beliau menggagas Eco-Peace Interreligious Learning on Environment bersama Mubadalah.id dan LPBINU.
Dakwah Ekologi: Buku Panduan Penceramah Agama tentang Akhlak pada Lingkungan
Kak Firoh bersama Nyai Thoah Jafar, Ibu Listia, dan Ustadz Asrof pada tahun 2022 berkontribusi dengan menyusun Dakwah Ekologi: Buku Panduan Penceramah Agama tentang Akhlak pada Lingkungan. Buku tersebut diterbitkan oleh Mubadalah.id sebagai bagian dari gerakan dakwah berperspektif ekologis di Indonesia.
Buku Dakwah Ekologi hadir untuk memperkuat kesadaran keagamaan terhadap pentingnya menjaga kelestarian alam. Dalam proses penyusunannya, para penulis tidak hanya menulis dari balik meja, tetapi juga melakukan pendalaman lapangan dengan menemui para daiyah dan komunitas yang menjadi sasaran dakwah.
Dalam merancang kerangka teologis dan ekologis buku Dakwah Ekologi, Kak Firoh menyelaraskan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin yang relevan dengan isu-isu kontemporer seperti krisis iklim. Beliau membangun perspektif eko-feminisme dan interreligious learning yang selama ini beliau gagas melalui berbagai program lintas iman. Buku Dakwah Ekologi diharapkan menjadi panduan praktis bagi para dai dan daiyah, untuk mengajarkan nilai-nilai keberlanjutan lingkungan yang selaras dengan nilai ekologis.
Refleksi
Pertemuan kami pertama kali berawal dari workshop daring yang diselenggarakan oleh Mubadalah.id tahun 2021. “Eco-Peace Interreligious Learning on Environment” yang bekerjasama dengan LPBINU dan didukung oleh KAICIID. Saat itu, saya mengenal Kak Firoh sebagai mentor sedangkan saya menjadi seorang mentee workshop. Perjalanan setelah workshop, kami membangun hubungan yang sangat baik. Bagi saya, Kak Firoh adalah guru, kakak, Ibu ideologis, dan mentor selama hampir 4 tahun terakhir ini.
Saat itu, Kak Firoh yang meminta saya untuk menyalurkan bakat menulis di Mubadalah.id. Bahkan, beliau mengirimi saya puluhan buku-buku mengenai fikih lingkungan, fikih kebencanaan, dan buku-buku yang berkaitan ekoteologi dari LPBINU. Berkat dukungan beliau setiap harinya, saat ini saya tetap menulis tentang dakwah dan lingkungan.
Sebagai sesama santri, tentu saja saya menempatkan kak Firoh sebagai seorang role model. Saya mengagumi seluruh pemikiran beliau yang progresif terutama dalam pemberdayaan perempuan dan lingkungan. Sewaktu mengikuti Kongres Ulama Perempuan Ke-2 di Jepara tahun 2022, Kak Firoh mengisi Halaqah Paralel tentang Dakwah Kekinian Jaringan Muda KUPI. Beliau dengan semangat mengajak para anak muda (tentunya para ulama-ulama perempuan muda) untuk melanjutkan estafet dakwah yang ramah dan berperspektif keadilan gender.
Di Hari Santri ini, tentu saya merayakan dengan berefleksi betapa bersyukurnya saya bisa mengenal dan belajar langsung dari Kak Firoh. Sudah saatnya santri hari ini ikut berperan di kancah internasional dalam bidang keilmuan apapun.
Dear Kak Firoh, terima kasih banyak sudah menjadi Ibu Ideologis, Kakak, Mentor, dan tempat dengan cinta tak terbatas. Semoga Allah selalu melimpahkan kebahagiaan tak terkira, menjaga dan melindungi Kakak dimanapun Kakak berada. Terima kasih sudah menjadi teladan untuk para perempuan muda saat ini. Semoga semakin menebar manfaat bagi banyak ummat di manapun kakak berpijak. []