Mubadalah.id – Anak yang tumbuh dengan kondisi tidak memiliki kedekatan emosional terhadap ayah atau ibu bahkan keduanya memiliki kecenderungan untuk menarik diri dari orang tuanya.
Fenomena ini terkenal juga dengan istilah yatim piatu sosial, di mana ketiadaan kehadiran figur ayah atau ibu bahkan keduanya dalam proses tumbuh kembang anak. Apalagi era perkembangan teknologi dan gadget (re: internet) yang sudah menjadi kebutuhan semua. Pola pengasuhan kerap tergantikan dengan kehadiran gadget sebagai pengasuh anak.
Sejak usia dini, anak dicekoki dengan gadget sebagai penenang jika ia menangis. Secara instan gadget mengubah anak yang rewel menjadi tenang. Banyak orang tua menganggap hal tersebut sebagai solusi yang efektif dan praktis dalam pengasuhan. Selamat datang di masa “digital parent”, di mana teknologi menjadi orang tua pengganti dalam kehidupan anak. Era di mana anak lebih banyak berinteraksi dan menghabiskan waktu bersama gadgetnya.
Alih-alih menjadi orang tua baik yang berusaha memenuhi kebutuhan materil anaknya. Anak justru kehilangan figur orang tua dalam pertumbuhan psikologisnya. Kehadiran teknologi sebagai pengganti pengasuhan, menggantikan secara penuh sisi emosional anak yang kosong sehingga tidak heran jika anak lebih butuh kehadiran gadgetnya ketimbang orang tuanya.
Bicara teknologi, selain persoalan pangasuhan yang beralihmenjadi “digital parent”, ada persoalan lebih serius yangmengintai dan kerap luput dari perhatian. Bahaya penggunaanteknologi informasi itu sendiri, seperti kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Sama seperti kekerasan pada umumnya misalnya perundungan, pelecehan hingga kekerasan seksual dan sebagainya dengan medium yang berbeda yaitu internet. KBGO merupakan kekerasan berbasis gender yang difasilitasi oleh teknologi dan internet, meliputi SMS,e-mail, media sosial, game online, aplikasi penyedia jasa maupun aplikasi kencan (kalis mardiasih)
Literasi Digital
Pesatnya perkembangan teknologi digital tidak berbarengan dengan meningkatnya kemampuan literasi digital yang baik. Sehingga keamanan anak menjadi rentan saat berselancar di ruang digital. Belum lagi hubungan emosional menciptakan batasan antara anak dan orang tua sehingga sulit dalam mengawasi batasan ruang privasi anak. Dengan kata lain anak cenderung lebih tertutup terhadap orang tuanya
Mengutip data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) ada sekitar 229. 428.417 juta jiwa menjadi pengguna internet pada tahun 2025 di Indonesia. Apabila kita lihat berdasarkan tingkat pendidikannya anak-anak SD menduduki peringkat pertama sebagai pengguna internet dengan persentase 34,85%. Kemudian remaja SMA dengan angka 32,9%, anak-anak SMP dengan angka 17,46% dan mahasiswa sebesar 12,86%.
Angka ini menunjukkan bahwa ruang digital didominasi oleh kelompok usia anak-anak sebagai penggunanya. Hal ini harus menjadi perhatian serius, mengingat kelompok usia tersebut sedang dalam fase perkembangan emosional dan kognitif. Sehingga rentan terhadap paparan negatif dari dunia maya termasuk kekerasan berbasis gender online KBGO).
Data dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) tahun 2024 triwulan pertama menunjukkan peningkatan signifikan kasus KGBO dengan 480 aduan. SAFEnet mencatat kasus KBGO pada tahun 2023 triwulan pertama sebesar 118 kasus. Ini menunjukkan peningkatan tajam dalam kurun waktu satu tahun yang naik empat kali lipat daripada tahun 2023 per satu triwulan.
Kekerasan Berbasis Gender Online
Perlu kita sadari, KBGO bukan sekedar kekerasan dengan medium ruang digital. Lebih dari pada itu, KBGO menjadi ancaman yang sangat serius karena jejak digital yang tidak dapat dikendalikan. Mengutip dari buku luka-luka linimasakarya kalis masrdiasih, bahwasanya dampak KBGO sangat merusak, tetapi pembahasan serius untuk perlindungan korban KBGO masih sangat lemah.
Kerentanan anak menjadi korban KBGO semakin tinggi karena mereka belum memiliki kemampuan untuk membedakan antara ruang aman dan ruang berisiko di dunia maya. Belum lagi kompleksitas penanganan yang harus dihadapi korban kerap menjadikan korban menjadi korban kembali.
Belum ada perlindungan komperhensif yang melindungi korban. Bahkan UU TPKS sekalipun dalam penanganan kasus kekerasan seksual berbasis online masih belum maksimal karena rendahnya pemahaman akan isu gender dan berperspektif korban sehingga penegakan hukum menjadi tidak maksimal.
Untuk itu, orang tua memiliki peran penting mencegah terjadinya KBGO terhadap anak. Figur orang tua dan keluarga sejatinya adalah gerbang pertama yang menjadi filter untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan berbasis online.
Namun nihilnya keterlibatan orang tua dalam pengasuhan menciptakan jarak yang jelas antara anak dan orang tua. Hal ini jelas menghambat upaya pencegahan sejak tahap paling awal. Banyak orang tua yang abai, baik karena kesibukan maupun kurangnya pemahaman terhadap dunia digital yang begitu kompleks.
Padahal, pendampingan orang tua menjadi kunci untuk membangun kesadaran dan ketahanan digital pada anak. Tanpa kehadiran figur yang mampu mengarahkan, mengawasi, dan memberikan batasan, anak akan menjelajahi dunia maya tanpa kendali. sehingga terpapar risiko kekerasan, manipulasi, dan eksploitasi.
Pentingnya Komunikasi Orang Tua dan Anak
Di sinilah pentingnya membangun kembali komunikasi yang hangat antara anak dan orang tua bukan sekadar hadir secara fisik, tetapi juga emosional dan digital. Orang tua perlu memahami bahwa pengasuhan di era digital bukan hanya tentang memberi akses teknologi, melainkan tentang membangun kepercayaan, kedekatan, dan tanggung jawab bersama untuk menciptakan ruang digital yang aman bagi anak.
Orang tua juga harus proaktif untuk meningkatkan literasi digital bagi diri sendiri. Literasi digital bukan sekadar kemampuan menggunakan gawai atau media sosial, tetapi juga mencakup pemahaman tentang etika berinternet, keamanan data pribadi, serta cara mengenali dan mencegah kekerasan berbasis gender online (KBGO). Dengan literasidigital yang baik, orang tua dapat berperan aktif sebagai pendamping sekaligus pelindung bagi anak dalam menjelajahi dunia maya.
Orang tua yang melek digital akan mampu mengajarkan anak untuk bersikap kritis terhadap informasi, memahami batas privasi, serta berani melapor jika mengalami atau menyaksikan bentuk kekerasan di ruang digital. Lebih dari itu, literasi digital juga membantu orang tua membangun hubungan yang lebih terbuka dan komunikatif dengan anak, sehingga pengawasan tidak terasa sebagai kontrol, tetapi sebagai bentuk kasih sayang dan perlindungan. []










































