Nadran merupakan upacara adat di daerah pesisir pantai utara Jawa bagian barat, seperti Cirebon, Indramayu dan Subang. Jika tak ada halang rintang, masyarakat nelayan akan selalu menggelar tradisi nadran setiap tahunnya. Ini menandakan para nelayan masih memiliki komitmen sebagai ungkapan rasa syukurnya atas penghasilan di sektor perikanan dan kelautan.
Disamping itu juga masyarakat pesisir, khususnya Cirebon berharap agar Tuhan masih menjaga keselamatan atau tolak bala para nelayan ketika mencari penghidupan di laut dan berharap pula kedepan hasil di sektor perikanan dan kelautan semakin meningkat lagi.
Karenanya, para nelayan akan selalu memenuhi janjinya kepada Sang Pencipta untuk terus bersyukur atas karunia dan keberkahan-NYA yang diberikan melalui sumber daya laut. Itulah kenapa kata nadran di Cirebon dan sekitarnya dijadikan istilah upacara adat sedekah atau pesta laut. Karena nadran sendiri diambil dari kata nadzar atau nazar yang mempunyai makna dalam Islam adalah pemenuhan janji.
Secara gambaran besar tradisi nadran terdapat beberapa macam kegiatan. Pertama, pertunjukkan seni tradisional seperti Wayang, Organ Tunggal, Tarling, dan kesenian lainnya. Kedua, pasar tradisional (dadakan). Ketiga, tawasulan dan yasinan. Keempat, arak-arakan larung atau labuh saji kepala kerbau ke laut. Semua orang tumpah ruah berkumpul di beberapa tempat, baik untuk menonton kesenian, wisata jajanan lokal dan yang paling meriah inti acara nadran yakni arak-arakan sampai melarungkan sesaji di laut.
Itulah kenapa tradisi nadran masih tetap dipertahankan hingga saat ini. Karena tradisi tersebut bukan semata-mata melestarikan budaya dari nenek moyang semata. Namun ada nilai-nilai sosial berbasis keagamaan (Islam). Nilai moral inilah sangat penting untuk ditanamkan kepada generasi penerus bangsa guna mengikis problematika kehidupan sosial.
Meski demikian ada saja segelintir orang atau kelompok yang tidak menyukai bahkan membenci tradisi nadran dengan melabeli syirik dan bid’ah. Argumentasinya bahwa tradisi itu ada ritus warisan Hindu-Budha, sehingga dipastikan tidak ada nilai-nilai keislaman. Bahkan Wayang, seni pertunjukan untuk meramaikan nadran dicap haram.
Apabila wacana-wacana tersebut terus rekonstruksi oleh kelompok Salafi Wahabi dengan jargon pemurnian Islamnya. Maka bisa saja kedepan perhelatan nadran di lingkungan kita dibubarkan, bahkan sampai dirusak dengan cara kekerasan. Seperti yang terjadi di Bantul, Yogyakarta pada bulan Oktober 2018 silam.
Jangan sampai kedepan kasus serupa terjadi di Kota Udang dan sekitarnya yang menghelat tradisi yang sama. Sebab kasus pelarangan sampai berujung kekerasan bukan hanya berdampak pada ketegangan dan konflik sosial keagamaan masyarakat nelayan, tetapi bisa saja kedepan mengarah pada disintegritas bangsa.
Kenapa bisa demikian? Karena pemahaman Salafi Wahabi semakin berkembang di Cirebon. Hal ini bisa dilihat dari hasil asesment yang dilakukan oleh Fahmina Institite di beberapa desa di Cirebon.
Selain itu, Cirebon juga masih ditetapkan sebagai zona merah radikalisme dan terorisme oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Sebab sudah puluhan warga Cirebon yang sudah ditangkap Densus 88, adanya ancaman pengeboman di beberapa tempat dan Cirebon masih dijadikan sebagai tempat persembunyian kelompok teroris. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya warga luar Cirebon ditangkap Densus 88.
Melihat beberapa kasus diatas, jangan sampai ujaran kebencian terhadap tradisi nadran terus mengaum deras, baik online maupun offline. Karena jika hal itu terjadi dikhawatirkan bukan hanya pelabelan syirik pada nadran, tetapi bisa saja pelarangan, bahkan sampai pengrusakan dengan cara kekerasan. Seperti kasus nadran di Bantul Yogyakarta Beberapa tahun silam.
Dampaknya bukan hanya soal eksistensi tradisi nadran masyarakat pesisir. Namun semakin sulitnya menginternalisasi nilai-nilai kearifan lokal nadran khususnya kepada generasi penerus masyarakat di tingkat lokal dan bangsa. Nilai etis dan spiritual tradisi nadran bukan hanya soal ungkapan rasa syukur masyarakat kepada Sang Pencipta. Melainkan ada nilai moral yang dapat mempererat hubungan persaudaraan antar sesama kelompok nelayan.
Nilai Sosial Keagamaan Tradisi Nadran
Masyarakat pesisir Cirebon meyakini dalam proses pelaksanaan tradisi nadran memiliki nilai-nilai sosial berbasis keagamaan (Islam). Nilai dan norma dalam kehidupan masyarakat tidak akan pernah dapat terpisahkan, karena secara sosiologis manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan individu lainnya. Nilai-nilai sosial bernafaskan agama yang terkandung dalam tradisi nadran yakni:
(a). Nilai religius yang terkandung dalam tradisi nadran, yaitu wujud rasa syukur
kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas berkah dan nikmat di sektor perikanan dan kelautan selama setahun. Nilai religius ini diwujudkan dalam doa-doa atau ritual agama. Baik berupa tawasul, yasinan ataupun doa ketika hendak melarungkan saji.
(b). Nilai moral berupa gotong-royong, kerjasama dan saling peduli. Semua perhelatan nadran selama sepekan tidak akan terlaksana apabila nilai-nilai ini tidak diaplikasikan antar individu. Nilai moral ini diaplikasikan oleh masyarakat nelayan melalui joint venture atau patungan berupa tenaga, pikiran hingga materi guna menyukseskan tradisi nadran.
Nilai religius dan nilai moral dalam tradisi nadran selaras sebagaimana Sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ أَبِي ذَرّ جُنْدُبْ بْنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذ بْن جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ . (رواه الترمذي وقال حديث حسن وفي بعض النسخ حسن صحيح)
“Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdirrahman Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda,” Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada. Iringilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan tersebut akan menghapuskan (keburukan). Dan pergauilah manusia dengan akhlak yang mulia. ” (HR. At-Tirmidzi).
Hadis di atas mengandung wasiat tentang hubungan secara vertikal manusia kepada Allah (habluminallah) dengan nilai religusnya dan hubungan secara horizontal sesama manusia (habluminannas) melalui nilai moral.
Maka dari itu, nilai sosial keagamaan dari tradisi nadran bagi masyarakat nelayan Cirebon yang terlibat dalam setiap prosesnya secara tak langsung menginternalisasi pemikiran inklusif (terbuka). Sisi positifnya, mereka tak individualistik. Mudah berinteraksi dengan yang lain dan lebih senang membaur dari pada menyendiri.
Karenanya, tradisi nadran yang memperkuat relasi religius (vertikal) dan moral (horizontal) dapat memperkuat kebersamaan dan solidaritas antar nelayan. Nilai-nilai inilah saya kira dapat menangkal masyarakat, khususnya generasi muda agar tidak mudah terpapar virus ekstremisme bahkan sampai terjerumus ke teroris. Itulah ketahanan masyarakat pesisir melalui pendekatan budaya adat, yakni nadran.
Saya kira pesan kemanusiaan dari nadran sudah dideskripsikan di atas. Yang terpenting adalah masyarakat khususnya generasi muda bukan hanya mempertahankan dan melestarikan tradisi nadran, tapi mengikat budaya dan tradisi lokal lainnya terutama yang hampir punah. Sebab nilainya memiliki imunitas yang luar biasa dapat membendung pemahaman Islam Transnasional di Cirebon agar tidak semakin berkembang luas lagi.
Saya meyakini jika budaya lokal kita (Cirebon) kuat, maka akan kuat pula imunitasnya. Begitupun sebaliknya, jika budaya lokal kita rapuh, maka akan rapuh pula imunitasnya menghadapi Islam Salafi, Wahabi dan Takfiri. Semoga semakin kuatnya budaya dan tradisi lokal dapat menghapus labeling zona merah radikalisme dan terorisme di Cirebon dan sekitarnya. Wallahu a’lam bish-shawabi. []