Mubadalah.id – Nyai Hj. Badriyah Fayumi dalam tulisannya di Kupipedia.id mengkritisi soal batas minimal haid. Imam Syafi’i, misalnya, menetapkan bahwa batas minimal haid adalah sehari semalam.
Ketentuan ini mungkin terlihat sederhana. Tetapi masalah muncul ketika para pengikut mazhab Syafi’i menjelaskan bahwa jika seorang perempuan haidnya tidak lancar. Misalnya darah keluar tidak terus-menerus selama 24 jam penuh. Maka haidnya tidak sah. Dan konsekuensinya, seluruh shalat yang ia tinggalkan selama masa itu harus ia qadha.
Di sinilah terlihat bahwa sebagian produk fiqh telah kehilangan konteks pengalaman perempuanya. Sebab, darah haid tidak dapat diatur atau dikontrol oleh perempuan. Ia keluar di luar kehendak dan kesadaran manusia.
Maka dari itu, dengan menjadikan hal yang tidak dapat dikontrol sebagai dasar kewajiban hukum, tentu tidak adil. Di sinilah urgensi pembaruan fiqh yang lebih manusiawi dan kontekstual menjadi sangat penting.
Pandangan seperti ini menunjukkan betapa pentingnya menghadirkan kembali pengalaman perempuan sebagai sumber pengetahuan keagamaan.
Sebab, hukum yang tidak lahir dari pengalaman perempuan, akan rentan kehilangan relevansi sosial. Termasuk fiqh yang kaku dan tidak mengenal empati hanya akan menjauhkan perempuan sebagai subjek hukum.
Islam sesungguhnya datang untuk memuliakan perempuan, bukan menyulitkannya. Nabi Muhammad Saw. sendiri menegaskan dalam banyak riwayat bahwa setiap hukum harus mempertimbangkan kemampuan dan kemaslahatan manusia.
Sehingga, jika ada fiqh yang justru menciptakan kesulitan bagi perempuan, sudah saatnya umat Islam melakukan refleksi kritis terhadap produk hukum tersebut.
Dalam konteks inilah, Nyai Badriyah mengingatkan bahwa fiqh tidak boleh kita pisahkan dari realitas tubuh dan pengalaman perempuan. Fiqh harus bergerak dari teks menuju konteks, dari rumusan hukum menuju empati kemanusiaan.
Sebab, sebagaimana prinsip yang diajarkan Nabi, agama diturunkan bukan untuk memberatkan, tetapi untuk memudahkan. []









































