Mubadalah.id – Islam sesungguhnya datang untuk memudahkan perempuan, bukan menyulitkannya. Nabi Muhammad Saw sendiri menegaskan dalam banyak riwayat bahwa setiap hukum harus mempertimbangkan kemampuan dan kemaslahatan perempuan.
Sehingga jika ada fiqh yang justru menciptakan kesulitan bagi perempuan, sudah saatnya umat Islam melakukan refleksi kritis terhadap produk hukum tersebut.
Dalam konteks inilah, Nyai Hj. Badriyah Fayumi dalam tulisannya di Kupipedia.id mengingatkan bahwa fiqh tidak boleh kita pisahkan dari realitas tubuh dan pengalaman perempuan. Fiqh harus bergerak dari teks menuju konteks, dari rumusan hukum menuju empati kemanusiaan.
Sebab, sebagaimana prinsip yang diajarkan Nabi, agama diturunkan bukan untuk memberatkan, tetapi untuk memudahkan.
Oleh karena itu, jika fiqh ingin tetap hidup dan relevan, maka ia harus mampu mendengar kembali suara perempuan, suara yang selama ini terlalu sering dibungkam oleh hukum yang kaku.
Sudah saatnya fiqh haid, nifas, dan istihadhah tidak lagi menjadi beban bagi perempuan. Melainkan ruang keadilan dan kemuliaan bagi mereka yang selama ini menjadi sumber kehidupan umat manusia.
Memudahkan
Sebab sejatinya, kehadiran Islam bukan untuk menambah beban perempuan, tetapi untuk menegakkan keadilan bagi semua manusia. Maka, pembaruan fiqh haid, nifas, dan istihadhah bukanlah menolak terhadap tradisi. Melainkan upaya mengembalikan ajaran Nabi bahwa agama hadir untuk memudahkan, bukan menyulitkan.
Fiqh yang berpihak pada perempuan bukan fiqh yang meninggalkan teks, melainkan fiqh yang menafsirkan teks dengan penuh empati, dan kesadaran bahwa setiap darah yang mengalir dari tubuh perempuan adalah tanda kehidupan, bukan sumber dosa.
Kini, saatnya umat Islam berani meneladani Rasulullah Saw dengan jalan mendengarkan pengalaman perempuan. Sebab hanya dengan cara itu, fiqh akan benar-benar menjadi sarana rahmat bagi seluruh umat manusia, termasuk perempuan yang selama ini suaranya sering terabaikan. []










































