Mubadalah.id – Kehidupan pantura tampaknya cukup menarik bagi Reza Rahardian. Film Pangku jadi debut perdananya sebagai sutradara. Film yang menangkap kehidupan masyarakat pantura ini tampaknya sedikit banyak aku rasakan sebagai masyarakat pantura. Kami melawan krisis iklim, hingga stigma negatif tanpa kepedulian dari negara sekalipun.
Sekilas Cerita Anak pantura
Saya salah satu anak yang lahir dan besar di pantura. Pantura atau Pantai Utara sendiri adalah jalur panjang yang membentang dari barat hingga timur pantai utara. Masih ingat betul dulu sekolah SMP saya menyebrangi jalanan keras ini. Tiap pagi tak hanya adu gowes dengan sepeda teman tetapi juga adu klakson dengan truk-truk besar. Sebelum adanya jalan bebas hambatan yang jadi pilihan saat ini para truk dan bus malam yang kesiangan itu ikut ngebut bersama para anak-anak sekolah.
Ketika memutuskan bersekolah melewati jalur legenda itu, saya coba berpikir sedangkalnya. Dahulu belum ada sistem zonasi, dan sekolah saya yang melewati pantura itu adalah sekolah buangan. Ya benar, saya tumbuh di sekolah yang dicap buangan. Sekolah yang dekat sekali dengan kehidupan lain jika malam hari. Dan sekolah yang pastinya temboknya kotor dan bergetar jika ada kendaraan besar yang melintas.
Saya bukan bangga jika bersekolah di sekolah buangan ini. Tapi karena kekuatan zonasi, sekolah ini tak punya cap demikian lagi. Saat ini sekolah itu tak sekotor dulu, catnya selalu kinclong setiap tahunnya. Disebelahnya berderetan sekolah lain yang mungkin saja juga berbenah agar ada orang yang mau menuntut ilmu di sana. Tak lupa juga satu gedung tinggi yang jadi salah satu perguruan tingg di Kota Pekalongan ku ini.
Perjalanan sekolah yang dulunya saya anggap menantang maut kini saya anggap biasa. Nyebrang jalanan nasional dengan modal insting saja kini tampaknya cukup. Walau sudah ada traffic light yang mengatur tampaknya jarang diperhatikan seperti biasa. Truk besar tampak menginjak gas jika lampu baru berwarna merah sedetik saja. Mereka sampai lupa bahwa ekor mereka bisa sampai 5-10 meter ke belakang.
Tantangan Hidup di Pantura
Walau saya lahir dan besar di Pantura tampaknya kehidupan saya tak terlalu bising seperti kisah yang diceritakan dalam Film Pangku. Walau demikian, aaya tetap merasakan atmosfer kehidupan pantura yang begitu berbeda dengan kehidupan di daerah lain. Memang benar semua tempat berpijak pasti punya tantangan sendiri. Dan tantangan kehidupan di Pantura lah yang aku alami.
Selain cerita tentang kehidupan sekolahku yang berjibaku dengan truk, bus dan kawan-kawannya aku punya cerita lain tentang bencana yang pastinya hanya dialami warga pantura. Apalagi tak bukan adalah banjir rob. Banjir yang dahulu saya ceritakan dengan kawan daerah Jogja atau Solo tampak asing.
Tak ada hujan, cuaca panas, dan musim pun sedang panas tapi saat itu kaki kami terendam air. Airnya sangat asin, bau khas laut datang ke rumah ku saat itu. Dimulai sekitar tahun 2016, awalnya kapan dia hadir tampak bisa di prediksi. Tetapi semakin lama kehadirannya jadi random. Bisa jadi ini karena faktor krisis iklim yang selalu jadi isu panas ini.
Kehidupan pantura lain yang tak pernah saya lihat betul adalah tentang seks, prostitusi dan jual beli bebas lainnya. Ketika mulai dewasa, perjalanan saya menyusuri pantura mulai melebar. Dahulu jika skala pantura yang saya lewati hanya dari rumah sampai sekolah, saat ini berbeda. Saya mulai menyusuri jalanan Pantura dari barat hingga timur. Punya kacamata sebagai para supir truk. Yang hidup dan rumahnya adalah jalanan pantura tadi.
Maka saya temukan, selain berjibaku dengan alam, pengendara truk yang tak waras, hingga kebringasan bis malam. Maka ada juga sikap acuh pemerintah dalam mengurus warganya yang hidup di pinggiran Pantura.
Hidup dalam hegemoni seks bebas dan juga kerentanan. Mereka melakukan sebuah pekerjaan yang juga bentuk jual beli. Mereka yang butuh rumah ketika di perjalanan, dan mereka yang menawarkan rumah dalam sebuah kedekatan dengan hidup. Yaitu warung kopi.
Sinopsis Film Pangku dan Penghargaannya
Kehidupan jalanan Pantura sangat gamblang mereka tangkap melalui lensa kamera. Realitas kehidupan pesisir pantai utara ini mereka kemas dalam sebuah film yang berjudul Pangku. Mengangkat sebuah kisah warung kopi pangku di pinggir Pantura, film ini tampak begitu nyata dengan kondisi aslinya.
Saya sendiri selama hidup di Pantura jarang mendengar istilah warung kopi pangku. Walau demikian, sepertinya pantura Batang-Pekalongan lebih banyak tempat karaoke atau warung kopi biasa. Mungkin ada beberapa yang memang punya konsep sama dengan warung kopi pangku dalam film ini. Film Pangku punya latar belakang Pantura khususnya di daerah Indramayu.
Film garapan Reza Rahardian ini jadi debut pertamanya di balik layar lebar. Aktor kondang yang biasa melalang buana dalam berbagai film ini mencoba mengambil peran di balik layar. Reza sendiri mendapat inspirasi film ini ketika dirinya syuting di daerah pantura dan melihat kehidupan yang terjadi di sana.
Selain debut pertama aktor kondang film ini juga mendapatkan beberapa penghargaan di Busan Internasional Film Festival (BIFF) 2025. Pangku berhasil meraih empat penghargaan dalam BIFF ini. Selain itu, film ini juga masuk dalam berbagai nominasi Festival Film Indonesia (FFI) 2025.
Bukti Pemerintah tak Pernah Fokus Pada Masalah Anak dan Perempuan
Film ini hadir dengan menyorot kehidupan mereka yang ada di pantura. Mereka yang hidup dengan beragam tantangan, baik untuk berjuang dengan alam ataupun anggapan sosial. Kehidupan pantura memang saya rasakan dari kecil. Bertahan dari masalah krisis iklim saja sudah sulit bagi saya, apalagi ditambah dengan anggapan sosial yang terkadang tak diinginkan oleh pelakunya.
Pangku hadir untuk menangkap fenomena masyarakat pesisir pantai utara ini. Pekerjaan, anggapan masyarakat, hingga dampak buruk ini tampaknya tak mereka harapkan juga. Anak dan perempuan adalah golongan paling rentan dalam persoalan ini. Melihat anak seperti Bayu mencari siapa ayahnya, dan juga Sartika sang ibu yang tak bisa menjawab dengan pasti.
Pangku bukan hanya membedah sebuah warung kopi di pantura, tetapi juga menangkap masalah sosial di dalamnya. Hal ini juga jadi bukti, bahwa sebenarnya pemerintah tak pernah hadir untuk menyelesaikan persoalan ini. Kehidupan masyarakat yang rentan, nyatanya harus mereka hadapi sendiri.
Dan akhirnya jika kalian penasaran dengan dinamika kehidupan masyarakat pantura, mungkin pangku bisa jadi pilihan film kalian di weekend ini. Selamat menikmati karya aktor kondang Indonesia. Bukan hanya Reza yang menarik dalam film ini, tapi bagaimana setiap gambar bercerita. Selamat menonton. []












































