Mubadalah.id – Air Susu Ibu (ASI) bukan sekadar nutrisi biologis. Ia adalah cairan kehidupan, penghubung kasih antara ibu dan anak, dan penanda kuatnya peran perempuan dalam siklus kemanusiaan.
Sejak bayi lahir, ASI menjadi makanan dan minuman pertama yang menghidupi manusia. Tidak ada zat lain di dunia ini yang bisa menggantikan keaslian dan kemurnian air susu ibu.
Dalam temuan medis dan ilmu gizi modern, air susu ibu adalah saripati sempurna yang bukan hanya membangun fisik, tetapi juga menentukan perkembangan psikologis dan kepribadian anak.
Namun, sebagaimana dikemukakan oleh KH. Marzuki Wahid dalam tulisannya di Kupipedia.id, keagungan ASI dan peran menyusui ini justru kerap diabaikan dalam konstruksi sosial dan tafsir keagamaan yang patriarkal.
Ia menegaskan bahwa menyusui adalah pekerjaan mulia yang dimiliki oleh kaum perempuan, karena secara kodrati hanya tubuh perempuan yang dapat mengeluarkan air susu.
Tetapi di sisi lain, justru karena kodrat inilah perempuan kemudian terbebani seluruh tanggung jawab penyusuan tanpa dukungan dan penghargaan yang layak—baik secara sosial, ekonomi, maupun spiritual.
Selama berabad-abad, masyarakat menganggap menyusui sebagai tugas alamiah perempuan. Tanggung jawab itu tanpa mempertimbangkan kondisi fisik, sosial, atau ekonomi seorang ibu.
Ketika perempuan tidak mampu menyusui karena faktor kesehatan, kelelahan, atau keterbatasan fasilitas, mereka sering kali disalahkan, bahkan distigma sebagai “ibu yang kurang sempurna”. Sementara laki-laki, sebagai ayah, jarang dilibatkan dalam tanggung jawab moral maupun sosial penyusuan.
Pandangan semacam ini jelas menunjukkan bias patriarki. Bahkan menjadikan perempuan sebagai pihak yang harus memikul beban reproduktif sendirian.
Padahal, Islam sendiri menegaskan bahwa tanggung jawab penyusuan bukan hanya milik ibu. Melainkan juga kewajiban ayah untuk memfasilitasi dan menjamin keberlangsungannya. Dalam Al-Qur’an menyebutkan:
“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan, dan kewajiban ayah adalah memberi nafkah dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang patut.” (QS. Al-Baqarah [2]: 233).
Ayat ini menunjukkan tanggung jawab bahwa ibu memberikan air susu. Sementara ayah memastikan dukungan lahir-batin agar proses penyusuan berjalan dengan baik. Menyusui bukan semata urusan biologis, tetapi urusan sosial dan keadilan keluarga. []











































