Mubadalah.id – KH. Marzuki Wahid dalam tulisannya di Kupipedia.id menjelaskan secara mendalam tentang konsep penyusuan anak dalam wacana fiqh, yang dikenal dengan istilah ar-radhâ’ah atau ar-ridhâ’ah.
Kata ini berasal dari akar kata radha’a – yardhi’u – radh’an, yang berarti menyusu. Dari sinilah muncul istilah ar-radhî’ (anak yang menyusu), al-murdhi’ (ibu yang menyusui anaknya), dan al-murdhi’ah (perempuan yang menyusui anak orang lain).
Secara terminologis, para ulama fiqh mendefinisikan ar-radhâ’ah sebagai sampainya air susu manusia ke dalam perut seorang bayi yang belum berusia dua tahun (24 bulan).
Dari definisi ini, KH. Marzuki menegaskan tiga unsur penting yang menjadi rukun ar-radhâ’ah al-syar’iyyah: pertama, adanya air susu manusia (labanu adamiyyatin). Kedua, air susu itu benar-benar masuk ke dalam tubuh bayi; dan ketiga, bayi tersebut belum melewati usia dua tahun.
Tiga unsur ini menunjukkan bahwa penyusuan anak adalah aktivitas yang sangat fundamental dalam perkembangan fisik dan psikologis anak.
Dalam dua tahun pertama, ASI tidak hanya membangun tubuh, tetapi juga membentuk ikatan emosional yang kuat antara ibu dan anak. Karena itu, Islam menempatkan masa penyusuan ini sebagai periode yang sangat mulia dan penuh nilai kemanusiaan.
Namun ironisnya, kemuliaan ini justru sering terabaikan dalam kehidupan sosial. Perempuan masih menanggung seluruh tanggung jawab menyusui sendirian tanpa dukungan sosial, ekonomi, maupun emosional dari suami dan lingkungan.
Bahkan ketika seorang ibu tidak mampu menyusui karena kondisi medis atau kelelahan, ia seringkali disalahkan, dianggap kurang sempurna, atau bahkan kehilangan penghargaan sebagai ibu. []












































