Mubadalah.id – Seiring waktu berlalu, cuaca dan iklim memiliki perubahan yang signifikan. Alam yang terus terkuras habis, adakalanya meminta waktu untuk beristirahat.
Jika saat itu tiba, maka bencana alam akan terjadi. Membawa manusia pada kehilangan segala akses, menyebabkan kerusakan besar pada lingkungan, manusia, dan infrastruktur. Terdapat kelompok rentan dalam bencana, anak-anak, lanjut usia, orang dengan disabilitas, dan juga perempuan. Dalam kondisi tersebut, bahkan perempuan rentan menjadi korban kekerasan seksual saat bencana.
Perempuan Rentan Menjadi Korban Kekerasan Seksual
Anak-anak, orang tua lanjut usia, dan orang dengan disabilitas, biasanya mendapatkan pertolongan pertama dalam pemberian pertolongan karena mereka adalah kelompok rentan. Karena masih belia, anak-anak tentunya belum paham bagaimana menyelamatkan diri sendiri, sehingga membutuhkan pertolongan orang lain. Sementara orang tua lanjut usia, mereka rentan terhadap cedera, tubuh yang ringkih tak mampu menopang dampak yang bencana berikan.
Berbeda dengan perempuan, ia adalah korban paling rentan saat bencana terjadi karena mereka dianggap masih berdaya. Padahal mereka rentan terhadap situasi yang tidak memadai. Keberadaan perempuan seringkali memicu kekerasan seksual meski saat bencana terjadi, seperti pelecehan, pemerkosaan, juga eksploitasi.
Perempuan adalah kelompok prioritas tapi berpeluang menjadi korban ganda saat bencana terjadi. Semua orang memang bisa menjadi korban, tetapi perempuan seperti berada pada risiko yang lebih tinggi. Seperti tragedi yang terjadi pada seorang mahasiswi yang diperkosa oleh supir truk saat ia menumpang untuk pulang ke rumah ketika banjir bandang menerjang Aceh Tamiang.
Kronologi Mahasiswi Menjadi Korban Perkosaan saat Evakuasi Diri
Pada awalnya, korban dan tiga temannya berniat menumpang sebuah truk untuk mengevakuasi diri dari banjir yang sudah menerjang. Tiga temannya duduk di belakang, sementara ia duduk di depan, yang memosisikan dirinya dekat dengan supir truk tersebut.
Mungkin pada awalnya mereka berprasangka baik karena mana mungkin seseorang tega melakukan tindakan tak pantas saat terjadi bencana alam. Terlebih korban tidak sendirian, melainkan bersama teman-temannya.
Apalah arti prasangka, jika sifat manusia memang terbentuk keji dan hina. Bukannya bersimpati di saat terjadi bencana, supir truk malah menggerayangi tubuh korban. Aneh tapi nyata, begitulah jika laki-laki hanya melihat perempuan sebagai objek seksual. Meski dalam kondisi bertahan hidup, masih mengutamakan nafsu sesaat.
Dampak Buruk Kekerasan Seksual pada Korban
Perkosaan adalah tindakan asusila yang salah dalam kondisi apa pun. Kekerasan seksual dapat memberikan dampak yang sangat buruk bagi korban. Sehingga apabila perbuatan keji tersebut terjadi, maka dampak yang hadir menjadi berkali lipat.
Selain cidera fisik yang penanganannya membutuhkan waktu yang lama karena terbatasnya akses ke fasilitas kesehatan. Trauma psikologis juga menjadi dampak yang berat bagi korban. Trauma atas bencana alam saja telah mengganggu psikologis seseorang, apalagi trauma ganda yang menyangkut mental korban.
Menjadi korban kekerasan seksual juga membuahkan stigma dan diskriminasi yang berkepanjangan, stigma korban kekerasan seksual datang dari masyarakat. Meski pelaku mendapatkan hukuman, tetapi korban akan membawa stigma masyarakat seumur hidup. Terlebih pada kasus yang kemudian menjadi viral.
Beban Ganda Perempuan saat Bencana Alam
Selain rentan pada kekerasan seksual saat terjadi bencana. Perempuan juga membutuhkan logistik khusus, seperti pembalut saat mentsruasi tiba. Pempers besar saat nifas sehabis melahirkan. Dan obat-obatan khusus bagi perempuan yang hamil, dan mendekati persalinan.
Beban yang perempuan bawa menjadi berkali lipat. Karena selain harus mengevakuasi diri sendiri, ia tentunya akan mendahulukan anak-anaknya terlebih dahulu. Semakin banyak anak yang ia miliki semakin besar beban tanggungjawabnya.
Karena bisa saja saat bencana terjadi, suami tidak mendampingi di rumah. Stigma bahwa istri mengurus rumah tangga dan laki-laki pergi bekerja adalah bumbu patriarki yang telah matang di Indonesia.
Meski telah jelas termasuk pada kelompok rentan. Namun, masih ada saja laki-laki yang mengejek patriarki dengan mengatakan bahwa, perempuan tak perlu diselamatkan. Mari menjadi manusia yang lebih berakal, berempati, dan memiliki nurani. []








































