Mubadalah.id – Tiga hari yang lalu melintas di beranda Instagramku, postingan berita tentang kebijakan Pemerintah Australia yang membatasi anak-anak memiliki akun media sosial. Sementara di Indonesia, bahkan bayi yang baru lahir saja sudah dibuatkan akun media sosial oleh orangtuanya. Alasannya sederhana saja, agar bisa merekam setiap momentum pertumbuhan anak.
Sebagai orang tua, ya kadang-kadang saya juga suka sekali membagikan momentum kebersamaan dengan anak. Terlebih mengunggah aktivitas atau prestasi anak, seakan ingin menunjukkan pada dunia bahwa saya sebagai orang tua, atau ibu bekerja tidak gagal-gagal amat dalam mendidik anak.
Tetapi dengan melihat kenyataan hari ini, seiring banyaknya resiko dan ancaman kejahatan digital, saya akhirnya harus berpikir ulang. Dalam beberapa hal, saya juga sudah mulai membatasi apa saja yang saya bagikan di media sosial. Tidak semua hal tentang anak dan keluarga bisa bebas kita ceritakan. Setidaknya, saya memberi ruang privacy dalam kehidupan saya, yang cukup hanya keluarga dan orang terdekat saja yang tahu.
Dua Keputusan dan Kenyataan yang Berbeda
Sebagai ibu, saya merasakan secara langsung kompleksitas keputusan apakah anak boleh punya akun media sosial. Anak pertama saya baru mulai memiliki akun media sosial di usia 13 tahun. Keputusan itu datang setelah pertimbangan panjang. Saya ingin memberi kesempatan bersosialisasi dan berekspresi, tapi juga ingin memastikan dia cukup dewasa untuk menangani dunia digital.
Saat akhirnya dia punya akun, kami membuat kesepakatan tentang batas waktu, komunikasi terbuka tentang konten, dan komitmen untuk saling cerita kalau ada hal yang membuatnya tidak nyaman.
Tak kenal lelah berkali-kali saya mengingatkan dia, baik saat bertemu ataupun melalui media komunikasi jarak jauh. Ketika membuka akun medsos menggunakan perangkat lain milik temannya jangan lupa untuk log out, dan jangan menyimpan password secara sembarangan. Karena dari kelalaian kecil itu, justru akan menjadi bumerang suatu hari nanti.
Namun kenyataan tidak semulus ekspektasi. Anak saya pernah mengalami tekanan. Membandingkan diri dengan teman, merasa kurang karena postingan orang lain terlihat “sempurna”, dan kadang komentar yang melelahkan secara psikologis. Kami sempat berbicara panjang tentang self-worth, privasi, dan bagaimana tetap kritis terhadap apa yang kita lihat secara online.
Sementara itu, anak kedua saya, yang sekarang berusia 11 tahun, saya larang memiliki media sosial. Keputusan ini bukan karena saya mengekang, tetapi karena saya melihat dia belum cukup matang secara emosi. Saya ingin melindungi masa anak-anaknya. Memberinya ruang tumbuh yang lebih aman dulu, hingga ia siap nanti.
Keduanya berbeda. Dan justru karena itu, solusi tunggal seperti “anak boleh medsos sejak umur sekian” terasa terlalu sederhana. Kita butuh regulasi yang fleksibel tapi tetap melindungi, dan orang tua serta masyarakat yang sadar bahwa setiap anak punya kecepatan dan kesiapan sendiri.
Mengapa Kebijakan Seperti di Australia Penting untuk Dipertimbangkan?
Negara Australia baru saja menjadi negara pertama di dunia yang memberlakukan regulasi tegas. Anak di bawah usia 16 tahun tidak diperkenankan memiliki akun media sosial. Platform besar seperti Instagram, TikTok, Facebook, YouTube, dan lainnya wajib menonaktifkan akun di bawah umur, atau menghadapi denda besar.
Langkah ini dirancang untuk melindungi anak dari sejumlah risiko serius. Paparan konten berbahaya, cyberbullying, tekanan sosial, hingga grooming digital. Menurut studi pemerintah Australia, sebelum regulasi ini, 96% anak usia 10–15 tahun menggunakan media sosial, dan sekitar 7 dari 10 pernah terpapar konten berbahaya.
Dengan regulasi seperti ini, masa kanak-kanak bisa tetap terlindungi. Memberi ruang tumbuh sebelum memasuki dunia publik digital yang penuh tekanan.
Di Indonesia, penetrasi internet dan media sosial di kalangan anak-remaja sangat tinggi. Menurut data terbaru dari 2024, hampir 28,65% dari total penduduk, sekitar 79,8 juta jiwa adalah anak-anak. Penggunaan internet di kalangan generasi muda Z (lahir 1997–2012) tercatat sangat tinggi: sekitar 87,02%.
Namun ada sisi gelapnya. Survei UNICEF pada 2023 menyebut bahwa anak-anak di Indonesia menghabiskan rata-rata 5,4 jam per hari untuk berselancar di internet. Dari data tersebut, sekitar 50% anak melaporkan pernah terpapar konten dewasa, dan sekitar 45% pernah menjadi korban bullying, sebagian besar lewat aplikasi chatting atau media sosial.
Sebuah survei daring Meta dan Ipsos pada 2025 menunjukkan bahwa mayoritas orang tua mendukung regulasi yang membatasi akses media sosial anak. Dalam survei itu, 81% responden menyebut paparan konten tidak sesuai usia sebagai kekhawatiran utama. 74% khawatir soal kecanduan, dan 70% soal dampak pada kesehatan mental.
Tapi sampai sekarang, Indonesia belum punya regulasi usia minimum yang tegas dan berdampak kuat. Aturan yang ada masih lemah, pengawasan minimal, dan penerapan sangat tergantung pada kesadaran individu, baik orang tua, sekolah, maupun komunitas.
Adab Digital
Anak adalah amanah. Bila akses ke dunia digital bisa membahayakan, baik lewat paparan konten negatif, kecanduan, atau tekanan psikologis, maka memberi batasan adalah bentuk kasih sayang dan tanggung jawab.
Regulasi seperti di Australia sekaligus menjadi bentuk struktural dari kepedulian kolektif. Bukan hanya orang tua individu, tapi negara dan masyarakat ikut melindungi generasi muda.
Dalam konteks Indonesia, hal ini bisa sangat penting, karena banyak anak lahir dan besar dalam kondisi rentan. Seperti kemiskinan, keterbatasan pendidikan, kurang literasi digital, atau lingkungan sosial yang tidak siap mendampingi. Sehingga risiko penyalahgunaan dunia digital bisa jauh lebih besar.
Hal ini sebagaimana hadis Nabi yang menyatakan bahwa pemberian terbaik orang tua kepada anaknya tidak lain adalah penanaman norma-norma etika dan moral. Berikut hadis riwayat At-Tirmidzi ini;
عن أَيُّوبَ بْنِ مُوسَى عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا نَحَلَ وَالِدٌ وَلَدًا خَيْرًا لَهُ مِنْ أَدَبٍ حَسَنٍ
Artinya: “Dari Ayyub bin Musa, dari bapaknya, dari kakeknya, Rasulullah SAW bersabda, ‘Tiada pemberian orang tua terhadap anaknya yang lebih baik dari adab yang baik,’” (HR At-Tirmidzi).
Media sosial membutuhkan adab digital. Yakni kemampuan memilah informasi, mengelola emosi, menjaga privasi, dan memahami etika berinteraksi. Jika anak belum siap menerima “adab digital” ini, maka menunda pemberian akses adalah bentuk kasih sayang kita terhadap anak-anak. []









































