Mubadalah.id – Ketua Majelis Musyawarah KUPI, Nyai Hj. Badriyah Fayumi, menyinggung pernyataan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Noorhaidi Hasan mengenai pentingnya data dan pengalaman perempuan dalam kerja keagamaan. Ia menyebut konsep ini sebagai karakter mendasar KUPI.
“Kita tidak menghasilkan fatwa dari suara nyaring para perempuan, tetapi dari data, fakta, pengalaman perempuan, dan pengetahuan yang diverifikasi,” kata Nyai Badriyah, dalam Halaqah Kubra KUPI yang diselenggarakan di UIN Sunan Kalijaga, pada 12–14 Desember 2025.
Menurutnya, inilah yang membedakan KUPI dari model otoritas keagamaan yang sering hanya mengandalkan interpretasi tekstual.
Lebih jauh, Nyai Badriyah juga menekankan sembilan nilai utama KUPI, tauhid, rahmah, kemaslahatan, kesetaraan, keadilan, kebangsaan, kemanusiaan, dan kesemestaan. Nilai-nilai inilah yang menjadi kerangka semua advokasi KUPI, termasuk ketika mereka terlibat dalam pembahasan kebijakan di DPR.
Beberapa capaian penting ia sebutkan, termasuk fakta bahwa empat dari lima anggota Dewan Pertimbangan Perempuan MUI saat ini berasal dari jaringan ulama perempuan KUPI.
“Ini bukan hanya soal representasi. Ini soal pengakuan otoritas,” ujarnya.
KUPI juga masuk nominasi tiga besar penerima Tulip Award dari Pemerintah Belanda untuk bidang HAM perempuan. “Ini capaian, tetapi sekaligus tanggung jawab menjaga integritas gerakan,” katanya.
Menatap KUPI ke Depan: Pengetahuan, Kepemimpinan, dan Ekosistem Gerakan
Badriyah merinci tiga misi besar KUPI yang akan menjadi fokus diskusi halaqah. Pertama, produksi pengetahuan berbasis lima ruang khidmah.
Kedua, penguatan kepemimpinan ulama perempuan, termasuk kaderisasi dan pembukaan ruang-ruang baru. Ketiga, perawatan dan pengembangan ekosistem gerakan, yang ia ibaratkan sebagai “anatomi tubuh yang bekerja dalam diam”.
Ia menekankan pentingnya membangun imajinasi kolektif untuk KUPI 3 pada 2027. Termasuk isu-isu strategis seperti perempuan kepala keluarga.
Dengan begitu, Halaqah Kubra KUPI 2025 menunjukkan bahwa gerakan ulama perempuan bukan hanya pertemuan ide, tetapi juga pertemuan nilai, pengalaman, dan solidaritas.
“KUPI ini bukan sekadar organisasi. Ini ruang pertemuan ulama perempuan dengan sesama ulama perempuan, dengan korban, dengan pemangku kebijakan,” tukasnya. []







































