Mubadalah.id – Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas membuka dengan ungkapan syukur atas pertemuan para ulama perempuan dalam forum yang ia sebut luar biasa. Menurutnya, Halaqah Kubra KUPI bukan sekadar diskusi keagamaan, melainkan ruang ilmu, refleksi, dan konsolidasi yang menentukan arah masa depan peradaban bangsa.
“Tadi kita telah mendengar sambutan Bapak Rektor yang sangat luar biasa. Dari UIN inilah kita harus mulai bergerak,” ujar GKR Hemas, dalam sambutan di Halaqah Kubra KUPI yang diselenggarakan di UIN Sunan Kalijaga, pada 12 Desember 2025.
Ia secara khusus menyoroti kepemimpinan Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Noorhaidi Hasan, yang menurutnya mencerminkan generasi pemimpin akademik dengan kesadaran gender yang kuat dan sikap yang terbuka.
“Walaupun baru bertemu, saya sudah memahami dari jauh bahwa beliau memiliki kesadaran gender yang kuat, sangat toleran, dan terbuka. Ini penting bagi gerakan keilmuan dan keadilan,” katanya.
Bagi GKR Hemas, Yogyakarta bukan sekadar lokasi penyelenggaraan. Kota ini memiliki akar sejarah panjang dalam gerakan perempuan Indonesia. Ia mengingatkan bahwa pada 1928, Yogyakarta menjadi salah satu titik penting lahirnya Kongres Perempuan Indonesia.
Ketika Prof. Noorhaidi dalam sambutannya menyebut kembali momentum 1928, GKR Hemas merasa sejarah itu menemukan relevansinya hari ini.
“Gerakan perempuan Indonesia memang selalu memiliki akar sejarah yang kuat. Tahun 1928 itu dimulai dari Yogyakarta. Dan sekarang kita kembali di sini,” ujarnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa pada 22 Desember mendatang, di Gedung MPR RI, akan digelar Dialog Nasional Hari Ibu. Agenda tersebut, menurutnya, menjadi upaya untuk kembali membawa perempuan ke depan sebagaimana semangat para pendahulu pada 1928, namun dengan tantangan zaman yang berbeda.
Ruang Ilmu dan Konsolidasi
Halaqah Kubra KUPI 2025 mengusung tema “Membumikan Spirit Keulamaan Perempuan untuk Peradaban Islam yang Ma’ruf, Mubadalah, dan Berkeadilan Hakiki.” Tema ini, sebagaimana tercermin dalam sambutan para tokoh, bukan sekadar slogan normatif.
Forum ini dirancang sebagai ruang untuk mengukur capaian gerakan, mendiskusikan tantangan baru, dan menyusun strategi ke depan. Isu-isu seperti keadilan gender dalam perspektif keislaman, peran ulama perempuan dalam ruang publik dan kebijakan, hingga tantangan demokrasi dan kebangsaan menjadi bagian dari diskursus yang dibangun.
GKR Hemas mengakui bahwa kehadirannya di forum ini bukan tanpa tantangan pribadi. Dalam sambutannya, ia menyampaikan bahwa kondisi kesehatannya sedang kurang baik dan jadwal kegiatannya padat. Namun ia memilih tetap hadir.
“Saya sudah diwanti-wanti untuk hadir. Walaupun satu minggu ini saya tidak sempat beristirahat, saya merasa harus datang untuk bertemu para ilmuwan dan menyampaikan pesan penting,” tuturnya.
Keputusan itu, menurutnya, didorong oleh keyakinan bahwa pertemuan ini akan melahirkan gagasan-gagasan besar yang berdampak luas.
Menyambung Sejarah, Menyusun Masa Depan
Bahkan, dalam konteks menyongsong Kongres KUPI ke-3 pada 2027, Halaqah Kubra menjadi penanda fase penting perjalanan gerakan ulama perempuan Indonesia. Forum ini merawat ingatan kolektif tentang sejarah perjuangan perempuan, sekaligus membayangkan masa depan yang lebih adil.
Bagi GKR Hemas, pertemuan ulama perempuan di Yogyakarta hari itu adalah simbol kesinambungan sejarah. Dari Kongres Perempuan 1928 hingga Halaqah Kubra KUPI 2025, perempuan terus hadir sebagai subjek perubahan.
“Forum ini bukan hanya penting bagi gerakan ulama perempuan. Tetapi juga bagi masa depan peradaban bangsa,” tukasnya. []









































