Mubadalah.id – Daun-daun di latar kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu berguguran, luruh satu per satu. Ia seakan menjadi saksi bisu keharuan dan rasa bangga, setelah satu demi satu peserta dan panitia Halaqah Kubra KUPI berpamit pergi.
Malam itu, Minggu 14 Desember 2025 aku berjalan kaki bersama teman-teman redaksi Mubadalah, setelah pulang dari Pendopo Lawas Alun-alun Yogyakarta. Kami bertiga menyusuri langkah menuju tempat istirahat di Club House di kawasan kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Hatiku tentu saja masih terasa hangat dengan kebersamaan selama tiga hari ini.
Meski jauh sebelum pelaksanaan, sekitar tiga bulan ke belakang, aku bersama teman-teman Tim Media KUPI sudah euforia menyambut Halaqah Kubra. Kami secara khusus menyiapkan penerbitan buku penulisan ulama perempuan “Menjadi Rembulan di Rumah Sendiri” hasil dari kegiatan Madrasah Creator KUPI.
Tentu Halaqah Kubra KUPI kali ini menjadi sarat makna. Bagiku tidak hanya sebatas ruang perjumpaan bersama para ulama perempuan dan pegiat isu perempuan, tetapi juga mencermati dinamika isu yang berkembang dari masing-masing peserta yang beragam latar dan dari berbagai daerah di Indonesia.
KUPI bagiku tidak hanya kuat secara metodologi, konsisten dalam gerakan tetapi juga teguh menjaga 9 nilai paradigma KUPI yang menjadi nafas perjuangannya di ruang khidmah masing-masing.
Di sisi lain tantangan menjadi ulama perempuan juga besar. Meski 8 tahun terakhir sejak gelaran KUPI I tahun 2017 silam, sudah ada rekognisi makna ulama perempuan. Akan tetapi dari sisi individu ulama perempuan sendiri belum atau tidak percaya diri mengakui bahwa dia adalah ulama perempuan cum jaringan KUPI.
Seakan membawa nama ulama perempuan KUPI merupakan tanggung jawab moral besar yang tidak setiap orang bisa menanggung resikonya. Karena ketika satu kali terjadi kesalahan dampaknya akan berpengaruh pada gerakan keulamaan perempuan secara keseluruhan.
Dari Diskusi ke Diskusi
Sebagai orang di balik layar gerakan keulamaan perempuan KUPI, karena aku bekerja di media yang lebih banyak menyoroti kiprah, pemikiran, karya dan jejak ulama perempuan di komunitas, jujurly aku senang sekali menyimak langsung diskusi dari para ulama perempuan di tiap kelas dan kelompok.
Padahal dalam Halaqah Kubra ini, tak sedikit juga tugasku di tim media, tapi aku senang sekali menyelinap jadi peserta diskusi, karena seakan melihat mereka menjadi saksi mata bagaimana masyarakat bertahan hidup di tengah luka bencana, konflik sosial, kekerasan berlapis terhadap kelompok rentan, kemiskinan struktural, dan ketidakpercayaan pada pemerintah sendiri.
Di antara empat ruang itu, antara lain diskusi Refleksi Pengetahuan, Refleksi Otoritas Ulama Perempuan, Refleksi Ekosistem Gerakan dan terakhir Refleksi Pembumian Paradigma KUPI. Di hari kedua Halaqah Kubra, aku memilih masuk di kelas Refleksi Ekosistem Gerakan. Saat itu memang panitia bebas untuk masuk ke kelas apapun, dan ikut berdiskusi bersama para peserta.
Di ruang Refleksi Ekosistem Gerakan ini, setelah melalui refleksi dan diskusi panjang terkait proses kaderisasi di jaringan KUPI dan branding ulama perempuan Mbak Alissa Wahid yang hadir di ruangan itu merespons dengan beberapa hal.
Kredibilitas Gerakan
Kepercayaan publik terhadap kita sebagai sebuah gerakan itu berlapis. Alissa sering mengibaratkannya seperti melempar batu ke danau yang tenang. Riaknya akan menyebar ke berbagai lapisan. Lapisan paling dalam adalah kredibilitas personal aktor-aktornya.
“Ini seperti yang tadi disinggung. Ketika ada satu orang dari kita melakukan kesalahan, dampaknya bisa menjalar ke gerakan secara keseluruhan. Contoh paling kuat menunjukkan bahwa kredibilitas personal sangat memengaruhi kredibilitas kolektif,” ujarnya.
Namun, jika sebuah gerakan sudah sangat kuat, Alissa menambahkan, dampak kesalahan personal itu tidak selalu langsung meruntuhkan semuanya, terutama jika yang bersangkutan bukan tokoh kunci.
“Misalnya, ketika tokoh sentral seperti Kiai Husein atau figur utama KUPI melakukan kesalahan kecil, dampaknya bisa besar. Tapi jika bukan figur kunci, itu tidak selalu langsung terasosiasikan ke gerakan secara keseluruhan. Artinya, kita tidak perlu terus-menerus hidup dalam ketakutan, tetapi kredibilitas gerakan memang harus terbangun sangat kokoh,” terang Alissa.
Lapisan berikutnya menurut Alissa adalah kredibilitas relasi di dalam gerakan. Relasi antara Gusdurian, Rahima, Fahmina, Alimat, Aman Indonesia, kampus-kampus, dan jaringan lain. Ini berarti budaya organisasi dan budaya gerakan harus kuat. Budaya saling menghormati, saling menjaga, dan saling percaya. Setelah itu barulah kepercayaan terhadap institusi KUPI sebagai entitas, kemudian kepercayaan di level target group, dan yang terakhir kepercayaan publik secara luas.
Integritas dan Etika
Untuk membangun kredibilitas personal di mata publik, rumusnya sebenarnya hanya dua, kompetensi dikalikan karakter. Karakter di sini mencakup integritas dan etika. Karena itu, menurut Alissa ketika di dalam jaringan sendiri ada saling serang, saling nyinyir, atau saling menjatuhkan, itu justru merusak lapisan paling dasar dari kepercayaan terhadap relasi internal. Budaya saling menghormati ini tidak bisa kita tawar jika ingin membangun gerakan yang kuat.
Kompetensi juga sangat menentukan. Semakin kompeten seseorang, Alissa menambahkan, semakin mampu ia mengomunikasikan gagasannya, maka semakin mudah membangun kepercayaan publik. Semua ini tentu kita bangun melalui proses. Kita tidak bisa menuntut hasil instan.
Jika kita ingin masuk ke kelompok tertentu, Alissa mencontohkan ke anak muda, strateginya harus dipikirkan secara khusus. Pendekatannya akan sangat berbeda dengan pendekatan ke kelas menengah atas, termasuk cara komunikasi dan bahkan penampilan. Semua itu bagian dari strategi.
“Saya sering bercanda bahwa ini soal rasionalisasi peran. Ada figur yang sangat kuat di satu ruang, tapi tidak relevan di ruang lain. Bukan soal benar atau salah, melainkan soal strategi. Begitu juga dengan saya pribadi. Pilihan isu, cara bicara, dan citra yang saya bangun adalah bagian dari strategi untuk menembus ruang-ruang tertentu, misalnya di NU. Langkah ini bukan tanpa perhitungan,” tegasnya.
Intinya, Alissa menegaskan dalam kalimat penutup, bahwa branding dan penguatan gerakan ini soal strategi yang sadar dan terukur. Teknik dan metodologi menurutnya selalu bisa kita pelajari, tinggal bagaimana kita meracik dan menerapkannya sesuai konteks.
Merumuskan Isu Prioritas
Pada hari terakhir kegiatan, masing-masing kelompok akan berbagi temuan dan pelajaran yang mereka dapatkan dari proses diskusi sehari sebelumnya. Peserta Halaqah Kubra KUPI akan saling memberi tanggapan dan melakukan refleksi bersama, mengapa temuan-temuan itu muncul? Konteks apa yang melatarinya, dan apa maknanya bagi gerakan KUPI?
Setelah itu, peserta akan diajak untuk kembali berdiskusi dalam tiga kelompok besar dengan fokus pada isu-isu strategis dalam tiga konteks, yaitu diri (tubuh), keluarga, dan komunitas.
“Ketika kita berbicara tentang isu strategis komunitas, yang dimaksud adalah isu-isu yang bersifat massif. Massif tidak hanya dalam skala nasional, tetapi juga berdampak hingga level global. Isu-isu ini dipandang sebagai persoalan serius yang, jika tidak disikapi—misalnya oleh KUPI—dapat berdampak langsung pada kehidupan perempuan, bangsa, dan komunitas secara luas. Karena itu, isu-isu tersebut menjadi prioritas,”terang Sekretaris MM KUPI Masruchah dalam satu kesempatan wawancara bersama tim Media KUPI.
Isu Prioritas Berbasis Data dan Fakta
Selain itu, isu prioritas ini juga merupakan wilayah yang belum banyak disentuh oleh pandangan keagamaan atau fatwa dari kelompok lain. Artinya, ada potensi bahaya jika tidak ada sikap keagamaan yang jelas dan bertanggung jawab. Seluruh pembahasan ini harus berbasis pada data dan fakta, bukan asumsi. Basisnya adalah kajian yang kuat, sejalan dengan karakter KUPI sebagai gerakan intelektual, kultural, sosial, dan spiritual.
Setiap kelompok akan merumuskan dua isu prioritas. Dengan tiga konteks tubuh atau diri, keluarga, dan komunitas, yang akan terkumpul menjadi enam isu. Namun, isu-isu ini tidak hanya berhenti di situ. Karena ruang juang KUPI mencakup keluarga, komunitas, gerakan, negara, dan relasi dengan alam. Isu-isu tersebut juga akan terlihat kembali melalui pendekatan dan konteks yang berbeda-beda. Dari proses ini, biasanya muncul perbedaan penekanan makna antara isu ketubuhan, keluarga, dan komunitas.
“Selanjutnya, enam isu tersebut akan disaring kembali hingga mengerucut menjadi dua atau tiga isu utama, atau enam isu yang benar-benar disepakati. Temuan dari seluruh kelompok ini kemudian akan dibawa ke forum yang lebih besar, yakni Majelis Musyawarah KUPI, dengan melibatkan lima lembaga penyangga KUPI, yakni Alimat, Rahima, Fahmina, Gusdurian dan Aman Indonesia,”tutur Masruchah.
Bersiap Menuju KUPI Tiga
Proses ini menjadi bagian penting dari persiapan menuju Kongres KUPI ke-3. Isu-isu yang peserta usulkan diharapkan sudah matang, memiliki landasan sosiologis, tashawwur yang jelas, basis data dan realitas sosial, serta dilengkapi dengan dalil-dalil keagamaan. Dengan demikian, peserta dapat menjelaskan secara ringkas namun utuh, sehingga isu-isu tersebut layak dipertimbangkan untuk dibawa dan dibahas lebih lanjut dalam KUPI ke-3.
Melalui Halaqah Kubra KUPI 2025 ini, KUPI semakin menegaskan komitmennya untuk terus memperkuat pandangan keagamaan yang berpihak pada keadilan gender, kemanusiaan, dan pengalaman nyata perempuan, sebagai fondasi gerakan keulamaan perempuan Indonesia ke depan.
Dan, melalui catatan yang lumayan panjang ini, aku juga ingin menegaskan jika aku bangga menjadi bagian dari jaringan KUPI, karena meminjam sambutan Kanjeng Ratu Hemas dalam event pembukaan, bahwa KUPI adalah gerakan peradaban, bukan sekadar forum keilmuan. Jadi mari kita bersiap menyambut Kongres Ulama Perempuan Indonesia ke-3 dua tahun mendatang. Sekali layar terkembang surut kita berpantang. []








































