Mubadalah.id – Koordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), Aan Anshori, menyoroti sikap diam organisasi perempuan Islam dalam sejarah perlawanan terhadap praktik poligini di Indonesia. Hal tersebut ia sampaikan melalui tulisannya yang dipublikasikan di Kupipedia.id.
Aan mengungkapkan bahwa dalam berbagai momentum penting, organisasi perempuan Islam kerap berada dalam posisi serba sulit ketika harus bersuara soal poligini.
Ia merujuk pada catatan sejarah tahun 1950-an, ketika sejumlah organisasi perempuan non-Islam secara terbuka memprotes kebijakan negara yang mendukung poligini.
Menurut Aan, situasi tersebut memperlihatkan tekanan ideologis yang perempuan Muslim alami secara kolektif.
“Sebagai organisasi, mereka dituntut untuk menyokong poligini. Tetapi secara personal banyak perempuan menderita akibat praktik tersebut,” tulisnya, mengutip pernyataan Ketua Perwari, Chairunnisa Jafizham.
Ia juga menyinggung respons keras terhadap pidato politisi Persatuan Tarbiyah Islamiyah, Sidi Mardjohan, yang menyampaikan pandangan merendahkan perempuan dalam forum resmi parlemen. Pidato tersebut menuai protes dari sepuluh organisasi perempuan lintas latar belakang, namun kembali tanpa keterlibatan organisasi perempuan Islam.
Aan menilai diamnya organisasi perempuan Islam bukan sekadar sikap politik, melainkan tekanan psikologis dan kultural yang kuat. Isu poligini, menurutnya, menjadi “wilayah terlarang” yang sulit kita sentuh karena menyangkut legitimasi keagamaan.
Melalui Kupipedia.id, Aan menegaskan bahwa sikap diam tersebut memiliki dampak panjang. Ia menilai absennya suara perempuan Islam dalam isu poligini turut berkontribusi pada berlanjutnya kekerasan dan ketidakadilan dalam rumah tangga.
JIAD mendorong agar organisasi perempuan Islam dan ulama perempuan berani keluar dari kebekuan historis tersebut. Menurut Aan, keberanian bersuara merupakan langkah penting untuk memastikan ajaran agama tidak kita gunakan untuk membenarkan ketimpangan gender. []











































