Judul Buku: Jilbab dan Aurat
Penulis: DR. (HC) K.H. Husein Muhammad
Penerbit: Fahmina Institute
Tahun Terbit: September 2021
Tebal: 146 hlm
ISBN: 978-623-92405-3-
Mubadalah.id – Buku Jilbab dan Aurat karya DR. (HC) K.H. Husein Muhammad atau yang akrab disapa Buya Husein adalah buku yang aku pilih untuk tugas refleksi di kelas menulis. Awalnya aku kebingungan memilih bacaan karena tidak membawa banyak buku ke asrama. Kemudian Teh Fitri merekomendasikan beberapa buku, salah satunya buku ini.
Buku “Jilbab dan Aurat” terasa sangat dekat denganku. Sebagai seorang perempuan, pembahasan ini hampir selalu aku dengar, baik di lingkungan sekitarku maupun ketika berselancar di media sosial. Seolah-olah, kain penutup kepala itu tidak bisa dipisahkan dari kehidupan perempuan.
Sejak kecil, aku sudah terbiasa mendengar pernyataan “perempuan yang baik adalah perempuan yang berjilbab”. Sebaliknya, perempuan tanpa kain penutup kepala dianggap “kurang salehah” atau malah dianggap sebagai “perempuan nakal”.
Cara pandang seperti ini juga ternyata ada di dunia maya. Di media sosial aku kerapkali menemukan komentar yang merendahkan atau bahkan melecehkan perempuan yang tidak memakai jilbab. Mereka dicap sebagai perempuan yang tidak salehah, tidak baik dan tidak taat agama. Seolah-olah jilbab adalah satu-satunya ukuran kesalehan perempuan.
Bukan Ukuran
Buya Husein lewat buku ini menegaskan kembali bahwa jilbab tidak bisa kita jadikan alat untuk menilai seorang perempuan itu salehah atau tidak. Sebab, dalam realitas sosial kita menggambarkan bahwa banyak perempuan yang tidak berjilbab justru lebih jujur, lebih amanah, lebih berakhlak, dan lebih peduli sesama.
Banyak pula perempuan yang berjilbab yang hidupnya sangat saleh dan terpuji. Artinya, jilbab bukan indikator pasti siapa yang baik dan siapa yang tidak. Kesalehan tidak bisa dibaca dari pakaian.
Kita sering lupa bahwa cara perempuan muslim berpakaian selalu berubah. Di banyak daerah di Indonesia, termasuk pada keluarga para ulama besar perempuan pada masa lalu tidak menutup kepala seperti standar sekarang. Rambut dan leher mereka terlihat, dan itu bukan masalah. Tidak ada anggapan bahwa mereka kurang salehah.
Fakta ini menunjukkan bahwa aturan berpakaian perempuan tidak pernah tunggal. Apa yang kini dianggap “paling benar” adalah hasil tafsir dan budaya yang berkembang, bukan sesuatu yang final. Namun hari ini, standar itu sering diperlakukan seolah mutlak dan tidak boleh digugat.
Dalam hal ini, Buya Husein mengajak kita untuk membaca sejarah. Sebab, menurutnya mengingat sejarah membantu kita melihat bahwa jilbab bukan sekadar soal iman, tetapi juga soal kuasa, budaya, dan siapa yang memberi hak untuk menentukan pilihan perempuan.
Tubuh Perempuan dan Beban Tanda-Tanda Kesalehan
Setelah selesai membaca buku ini, aku jadi bertanya-tanya, mengapa tubuh perempuan selalu dikontrol dengan alasan menjaga moralitas agama? Mengapa laki-laki seolah bebas dari beban tanda kesalehan ini?
Padahal seperti yang disampaikan oleh Buya Husein, perempuan adalah subjek yang mandiri bukan objek moral yang terus-menerus dipantau. Ketika agama dipakai untuk mengatur tubuh perempuan secara berlebihan, yang terjadi bukan lagi ketakwaan, melainkan kontrol sosial yang merugikan perempuan.
Sebagai manusia, perempuan harusnya punya kuasa untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, termasuk dalam memilih pakaian yang ingin ia kenakan. Hal ini ditegaskan oleh Dr. Muhammed al-Habsy yang juga dikutip oleh Buya Husein bahwa perempuan berhak memilih pakaiannya sesuai kebutuhan dan konteks hidupnya.
Ia bertanggung jawab atas pilihannya, bukan karena tekanan sosial, tetapi karena kesadarannya sendiri. Namun menjadikan satu bentuk pakaian sebagai kewajiban mutlak bagi semua perempuan dalam segala situasi adalah pendekatan yang tidak adil dan tidak sesuai dengan keluasan fikih Islam.
Menurutku pernyataan ini sangat relevan dengan kondisi perempuan saat ini, ketika standar moral sering dipersempit menjadi aturan berpakaian perempuan. Jilbab seringkali dijadikan syarat diterima atau tidaknya perempuan dalam komunitas, sehingga perempuan kehilangan hak untuk menentukan dirinya sendiri.
Kesalehan Tidak Menggantung di Ujung Kain
Setelah membaca buku ini, aku juga semakin yakin bahwa menilai perempuan dari apakah ia berjilbab atau tidak bukan hanya tidak adil, tetapi juga menyesatkan. Kesalehan tidak bisa kita ringkas ke dalam selembar kain. Ia tumbuh dari keyakinan, akhlak, cara seseorang memperlakukan orang lain, dan ketulusannya menjalani ajaran agama.
Perempuan berhak menentukan bagaimana ia ingin hidup, termasuk bagaimana ia ingin berpakaian. Dan apa pun pilihannya, ia tetap manusia yang utuh dengan nilai moral yang tidak bisa kita ukur hanya dari penampilannya.
Oleh karena itu, mari berhenti menilai perempuan dari pakaiannya. Jika kita sungguh percaya bahwa agama membawa rahmat, maka kita harus berani membela kebebasan perempuan untuk menentukan tubuhnya sendiri. []







































