Mubadalah.id – Secara prinsip, syariat tidak membebani umat di luar batas kemampuannya. Artinya, kalau memang suatu ibadah misalnya, tidak mampu dilakukan secara sempurna karena ada kondisi tertentu yang tidak memungkinkan, maka syariat pun memberikan solusinya. Di setiap ritual keagamaan Allah sudah memberikan dispensasi-dispensasi (rukhsah) bagi yang membutuhkan atau darurat. Di sini relevansi adanya Fikih Disabilitas.
Misalnya, bagi penyandang disabilitas tidak mudah melakukan semua ibadah sebagaimana mestinya. Keterbatasan bukan berarti menjadi alasan untuk meninggalkan titah Tuhan sepenuhnya. Karena prinsip tadi, Allah akan memberikan jalan pada umat sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.
Misalnya bagaimana ketentuan, atau cara wudunya bagi penyandang disabilitas daksa? Atau bagi yang disabilitas rungu sekaligus netra, bagaimana mengetahui pergerakan imam salat? Kondisi seperti ini kerap menimbulkan kebingungan.
Mari simak bagaimana ulama menjelaskan secara fikih disabilitas bagi orang yang tidak memiliki tangan atau kaki! Membasuh anggota wudu tidak mau tidak harus dilakukan secara sempurna. Bagi yang tidak memiliki tangan misalnya, maka ia harus membasuh anggota wudu yang masih tersisa. Kalau misalnya yang tersisa hanya bagian di atas siku (anggota wudu yang tidak wajib) maka sunnah membasuh bagian atasnya.
Lalu bagaimana kalau misalnya sudah tidak bisa melakukan sendiri, solusinya bisa minta bantuan orang lain untuk mewuduinya. Kalaupun masih kesulitan, tidak ada orang yang bisa dimintai pertolongan, atau memang lagi tidak ada orang, maka bisa langsung salat tanpa wudu. Salatnya tetap sah, tapi nanti mengulang lagi kalau ada kesempatan yang memungkinkan.
Menurut Imam al-Mawardi dalam kitabnya juga disebutkan:
وإذا لم يقدر الأقطع أو المريض على الوضوء .. لزمه تحصيل من يوضئه ولو بأجرة، فإن عجز .. تيمم، فإن عجز .. صلى وأعاد كفاقد الطهورين
“Apabila orang yang terputus tangannya (tidak sempurna anggota wudhunya) atau orang sakit tidak mampu berwudu, maka ia wajib mengusahakan orang lain untuk mewudukkannya, meskipun dengan membayar upah. Jika ia tidak mampu (melakukan hal itu), maka ia bertayamum. Jika ia juga tidak mampu, maka ia tetap melaksanakan salat dan wajib mengulanginya, sebagaimana hukum orang yang kehilangan kedua alat bersuci (air dan debu).” Muhammad ibn Mūsā al-Damīrī, al-Najm al-Wahhāj fī Sharḥ al-Minhāj, Bāb al-Wuḍūʾ, Maktabah Syamilah, 328.
Imam an-Nawawi juga ikut menjelaskan lebih rinci mengenai persoalan ini:
إذَا لَمْ يَقْدِرْ عَلَى الْوُضُوءِ لَزِمَهُ تَحْصِيلُ مَنْ يُوَضِّئُهُ إمَّا مُتَبَرِّعًا وَإِمَّا بِأُجْرَةِ الْمِثْلِ إذَا وَجَدَهَا وَهَذَا لَا خِلَافَ فِيهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ الْأُجْرَةَ أَوْ وَجَدَهَا وَلَمْ يجد من يستأجره أو وجده فَلَمْ يَقْنَعْ بِأُجْرَةِ الْمِثْلِ صَلَّى عَلَى حَسَبِ حَالِهِ وَأَعَادَ كَمَا يُصَلِّي وَيُعِيدُ مَنْ لَمْ يَجِدْ مَاءً وَلَا تُرَابًا فَالصَّلَاةُ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ والاعادة لا ختلال الصَّلَاةِ بِسَبَبٍ نَادِرٍ هَذَا إذَا لَمْ يَقْدِرْ الْأَقْطَعُ عَلَى التَّيَمُّمِ فَإِنْ قَدَرَ لَزِمَهُ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيُصَلِّيَ وَيُعِيدَ لِأَنَّهُ عُذْرٌ نَادِرٌ هَذَا الَّذِي ذَكَرْنَاهُ مِنْ وُجُوبِ التَّيَمُّمِ هُوَ الصَّوَابُ
“Apabila ia tidak mampu berwudu, maka wajib baginya mengusahakan orang yang mewudukkannya, baik secara sukarela maupun dengan upah yang wajar jika ia menemukannya, dan dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat. Jika ia tidak memiliki upah tersebut, atau ia memilikinya namun tidak menemukan orang yang dapat disewa, atau ia menemukannya tetapi orang itu tidak mau menerima upah yang wajar, maka ia salat sesuai dengan keadaannya dan wajib mengulanginya, sebagaimana orang yang salat lalu mengulanginya karena tidak mendapatkan air dan tidak pula debu. Salat tersebut dilakukan demi menjaga kehormatan waktu (ḥurmat al-waqt), sedangkan kewajiban mengulanginya karena terdapat cacat dalam salat yang disebabkan oleh kondisi darurat yang jarang terjadi. Hal ini berlaku apabila orang yang terpotong anggota tubuhnya tidak mampu melakukan tayamum. Adapun jika ia mampu melakukan tayamum, maka wajib baginya bertayamum, melaksanakan salat, dan mengulanginya, karena keadaan tersebut termasuk uzur yang jarang terjadi. Apa yang kami sebutkan mengenai kewajiban tayamum inilah pendapat yang benar.” Yaḥyā ibn Sharaf al-Nawawī, al-Majmūʿ Sharḥ al-Muhadhdhab, Bāb al-Siwāk, Maktabah Syamilah, 392.
Sedangkan bagi orang yang tangannya tidak ada hingga sikunya, maka ia tidak wajib membasuh sisanya tersebut. Dan dia bisa langsung beralih membasuh ke anggota berikutnya. Imam an-Nawawi juga menjelaskan perihal kondisi ini.
وَإِنْ كَانَ أَقْطَعَ الْيَدِ وَلَمْ يَبْقَ مِنْ محل الفرض شئ فَلَا فَرْضَ عَلَيْهِ وَالْمُسْتَحَبُّ أَنْ يُمِسَّ مَا بَقِيَ مِنْ الْيَدِ مَاءً حَتَّى لَا يَخْلُوَ العضو من الطهارة
“Apabila seseorang terputus tangannya dan tidak tersisa sedikit pun dari tempat yang wajib dibasuh, maka tidak ada kewajiban (wudu) atasnya. Namun yang dianjurkan adalah mengalirkan air pada sisa tangan yang masih ada, agar anggota tubuh tersebut tidak kosong dari keadaan bersuci.” Yaḥyā ibn Sharaf al-Nawawī, al-Majmūʿ Sharḥ al-Muhadhdhab, Bāb al-Siwāk, Maktabah Syamilah, 391.
Perbedaan Pendapat
Sebenarnya, mengenai kewajiban membasuh ini, masih ada perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan tetap wajib membasuh sisa bagian anggota yang terpotong, kerena berladaskan hadis Nabi:
إِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فائْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apabila aku memerintahkan kalian suatu perkara, maka lakukanlah darinya semampu kalian.” (H.R Bukhari dan Muslim). Jadi sebagian ulama mengatakan bahwa seseorang yang anggota wudunya terputus maka ia tetap membasuh bagian yang masih tersisa, dan ini katanya berlaku pada kaki maupun tangan. ʿAbd Allāh ibn Aḥmad ibn Qudāmah al-Maqdisī, al-Sharḥ al-Kabīr ʿalā al-Muqniʿ, Masʾalah: Fa-in kāna aqṭaʿ ghasala mā baqiya min maḥall al-farḍ, Maktabah Syamilah, 363.
Jadi silakan kita pilih Fikih Disabilitas ini, mau mengikuti pendapat yang mana, bebas. Yang terpenting, sebuah kekurangan bukan berarti tidak wajib melaksanakan, apalagi dalam konteks salat. Selalu ada cara dan solusi yang sesuai bagi yang tidak mampu. Syariat tidak akan membiarkan umat menjadi kesulitan dalam menjalankan ibadah. []










































