“Apakah Ibu hadir saat Gus Dur dimakamkan?” Seminggu lalu pertanyaan ini dilontarkan murid saya di kelas ketika mereka sedang ngantuk-ngantuknya dan membutuhkan asupan humor cerdas, agar mata mereka melek kembali. Maka, teringatlah cerita di artikel media sosial perihal kisah Gus Dur dan Kari Kepala Ikan.
Sebentar. Ini yang masak, Gus Dur, kan? Yup. Gus Dur ternyata jago sekali membuat Kari Kepala Ikan yang yahuud. Acapkali ketika tiba giliran Gus Dur sebagai chef dadakan sesuai giliran yang disepakati di rumah sewa Gus Dur bersama teman-temannya di Baghdad maka Gus Dur memasak menu andalannya itu.
Greg Barton menuliskan dalam bukunya yaitu Biografi Gus Dur, cara Gus Dur mendapatkan kepala ikan ini unik. Apalagi kepalanya besar-besar dan tentu saja nikmat. Masih dalam buku yang sama, Greg Barton mengatakan bahwa orang Baghdad tidak memakan kepala ikan, sebesar apapun. Mereka akan membuang kepala itu atau diberikan kepada hewan begitu saja. Nah, Gus Dur mengobservasi ini saat beliau ke pasar.
Hari berikutnya, kejadian yang sama nampak di hadapannya, sehingga beliau berinisiatif meminta kepala ikan itu untuk membuat kari. Hari berganti, Gus Dur semakin sering bertransaksi di sana. Ya, kepala ikan oleh Gus Dur tidak diminta gratis begitu saja, Gus Dur meninggalkan kepingan uang sebagai pengganti walau tak seberapa.
Apa yang dibilang Gus Dur coba terka? Saat beliau ditanya sama penjual ikan itu kenapa kok doyan banget mengambil kepala ikan? Gus Dur menjawab bahwa dia memelihara banyak anak di rumah. “Berapa biji?” tanya penjual lagi dan dijawab Gus Dur dengan angka dua puluh biji.
“Anak apa itu?”
Santai Gus Dur menjawab, “anak anjing.” Dan, pedagang itu memberikan cuma-cuma untuk dikasih makan kepada peliharaan Gus Dur di rumah. Bukan Gus Dur namanya, kalau enggak ngocol.
Puncaknya, teman Gus Dur akhirnya tahu bagaimana Gus Dur memanggil mereka di depan penjual kepala ikan. Teman itu kemudian marah kepada Gus Dur dan meminta klarifikasi saat tiba di rumah sewa. Lihatlah, dari sini Gus Dur ternyata enggak anti kritik bahkan diam saat kena marah, wong salah.
Kembali kepada pertanyaan murid saya, kujawab iya. Saya hadir di pemakaman Gus Dur, ikut berdesakan di depan pagar pesantren sekaligus ikut menyolatkan beliau dari lantai dua masjid kompleks pesantren putri.
Satu anak lagi kemudian nyeletuk. “Apakah Gus Dur poll, pintere, Bu?”
Kubilang pada mereka bahwa Gus Dur itu enggak lulus saat di Al-Azhar. Lah, gimana itu? Gus Dur kehilangan semangat belajarnya karena menilai sistem pendidikan di Al-Azhar tidak seasyik dalam bayangan beliau. Jadi, hilang semangat dalam diri Gus Dur itu adalah kritik halus. Agar mahasiswa bisa belajar dengan nyaman, dan tidak merasa bosan saat di kelas karena merasa pelajarannya di sana tidak sesuai klasifikasi yang dimiliki Gus Dur.
Selain mengritik sistem pendidikan di sana Gus Dur juga mengkritik dirinya sendiri. Gus Dur enggan duduk di kelas saat berlangsung jam pelajaran tetapi beliau membaca di perpustakaan, menjadikan perpustakaan rumah keduanya dan sesekali menikmati tontonan sepakbola atau film-film Perancis pilihan. Kecepatan Gus Dur menangkap memori bahasa serta kajian yang dibaca dan dipelajarinya enggak main-main. Maka, Gus Dur itu poll pintere, kegagalannya di kampus bukan karena tidak bisa tetapi tidak pandai memanaje waktu.
Gus Dur, dengan segala kritikannya dalam sistem pendidikan membuat beliau tidak lagi mendapatkan beasiswa di Al-Azhar karena tingkat absensi beliau yang kurang mumtaz. Banyak bolongnya. Tetapi, bukan berarti Gus Dur gagal secara nilai di semua pelajaran kampus. Kepintarannya diakui banyak kalangan. Hingga sekarang, entah berapa banyak bahasa yang dikuasai Gus Dur, berapa banyak nomor di buku telepon yang beliau hapal.
Nah, kita, kalau kebanyakan ngelamun tanpa belajar ya enggak bakal pinter yang ada malah blunder. Gus Dur absen di kelas tapi beliau belajar di perpustakaan, belajar langsung di lapangan yang bersinggungan dengan beliau, buktinya beasiswa menghampiri beliau lagi dan kali ini kota Baghdad adalah tempatnya belajar. Jadi, selain gen, Gus Dur itu bukan untuk ditiru gaya absen dari kelasnya. Kecuali, kalian pinternya sama dengan beliau. He..he..
Masih menurut buku yang sama, Greg Barton mengatakan bahwa dicabutnya beasiswa Gus Dur di Mesir membuat beliau semakin tekun di Baghdad. Mulai mengikuti kriteria absensi yang diminta oleh kampus. Agaknya Gus Dur mulai mengambil pelajaran bahwa hidup itu bersikap saling. Maka, di Baghdad saat beliau menerima beasiswa juga, beliau jauh bersikap lebih baik karena merasa telah membuang peluang beliau yang pertama.
Sementara Baghdad adalah kesempatannya yang kedua. Hal ini merupakan pengajaran Gus Dur kepada kita bahwa manusia boleh berada pada ambang batas kepercayaan diri yang tinggi, tetapi jika gagal maka harus bisa bangkit lagi. Jangan kecewa, kemudian marah dan lantas menyerah.
Gus Dur mengajarkan kita norma, bahwa jika kamu enggak belajar maka mau jadi apa? Gus Dur belajar tidak hanya di bangku sekolah tetapi juga di jalan-jalan Baghdad, di pasar, di rumah sewa, bahkan belajar dari pengalaman dirinya sendiri. Ingat! Bahkan, keabsahan Gus Dur menimba ilmu di Baghdad sekian tahun itu ternyata membuat universitas di Eropa tidak lantas menerima beliau, malah menolak iya.
Sebab? Ada yang namanya kesesuaian akademik. Kampus kalian tidak diakui maka, ijazahnya pula. Kampus kalian tidak terdaftar maka, ijazah kalian juga. Namun, apakah Gus Dur merasa nelangsa? Tidak. Beliau menunjukkan semua dengan aksi, hingga dunia mengakui beliau sebagai tokoh Internasional pembela hak asasi manusia.
Bonusnya lagi, Gus Dur menempatkan petualangan beliau di Eropa juga sebagai sarana belajar informal seperti yang dicita-citakan beliau. Perjalanan intelektual yang panjang menempa beliau menjadi pribadi yang melek kondisi dunia bagaimana kondisi agama di sana, kondisi masyarakat yang beragam dan tahu mana yang harus dicampuri juga mana yang tidak boleh dicampuri.
Seperti penuturan Bu Sinta Nuriyah bahwa saat menjabat presiden beliau berpesan kepada Bu Sinta untuk “tidak mencampuri” urusan negara. Hal ini menunjukkan bahwa Gus Dur adalah sosok yang tahu kapan beliau harus turut campur serta kapan beliau cukup mengatakan, “gitu saja kok, repot.” []
Kagem Gus Dur, Al-Fatihah.
Pesisir Utara, merenda kenangan Bulan Gus Dur
Desember 2020