Mubadalah.id – Sembilan puluh dua tahun yang lalu, 22 Desember 1928 menjadi permulaan hari yang sangat sibuk bagi perjuangan perempuan yang saat itu menghadiri Kongres Perempuan Indonesia di Djojodipuran (Yogyakarta). Acara yang digelar maraton 22 Desember hingga 25 Desember 1928 menghasilkan rumusan yang sangat penting dan merupakan tonggak awal pergerakan wanita Indonesia.
R.A Sukonto, Nyi Hajar Dewantara, R.A Suyatin (Ny. S. Kartowijono), Sunarjati (Ny. Sukemi), dan beberapa perkumpulan wanita Mataram (Yogyakarta) tak pernah menyangka inisiatifnya untuk membicarakan perjuangan perempuan, kewajiban, kebutuhan dan kemajuan wanita akan diingat dan dirayakan hingga hari ini dengan sebutan “Hari Ibu”. Sebutan yang berasal dari keputusan Kongres Perempuan Indonesia di Bandung, Juli 1938.
Tak sia-sia usaha R.A Sukonto dan kawan-kawan dalam menyusun dan mengawal Kongres Perempuan Indonesia. Kongres dibuka dengan pagelaran seni seperti nyanyian dan tarian pada Sabtu malam tanggal 22 Desember 1928 pukul 19.00. Menjelang pergantian hari, acara diakhiri dengan pertemuan antar utusan-utusan, tamu undangan, anggota-anggota, panitia pusat dan sub-subnya.
Esok harinya, minggu pagi tanggal 23 Desember 1928, rapat umum dimulai pukul 08.30 hingga pukul 12.00. Siti Sukaptinah, R.A Sudirman utusan dari perhimpunan Putri Budi Sedjati (Surabaya), Siti Mundjiah utusan dari perhimpunan Aisyiah, Nyi Hajar Dewantara, dan Mugarumah mengambil peranan dalam perjuangan perempuan dan acara inti tersebut.
Mereka memaparkan tentang azaz kongres, derajat dan harga diri perempuan Jawa, derajat perempuan, adab perempuan, perkawinan dan perceraian, hingga perkawinan anak-anak. Minggu malam, rapat tertutup kembali digelar untuk para utusan, anggota, panitia pusat dan sub-subnya yang berlangsung hingga larut.
Tak kalah menarik bahasan pada 24 Desember 1928. Kali ini giliran Siti Sundari, Tien Sastrowiryo dan Mursandi yang merupakan utusan dari perhimpunan Wanita Katolik, beserta dengan utusan dari dua perhimpunan lainnya yaitu Wanito Utomo, dan Rukun Wanodiyo Weltevreden (Jakarta), membahas perjuangan perempuan, kewajiban dan cita-cita perempuan Indonesia, jalan kaum perempuan pada hari ini dan kelak, merawat anak-anak dan kewajiban perempuan.
Hari terakhir, 25 Desember 1928. Ceramah-ceramah kembali diberikan oleh para perempuan intelek tersebut. Siti Hajinah (Mawardi), Ny. Gunawan, Ny. Sunyoto utusan dari perhimpunan Wanita Sejati Bandung, Yohanah, Ny. Ali Sastromiharjo membahas tentang perjuangan perempuan dalam hal keadilan, kedudukan perempuan di Eropa, pekerjaan sosial, persatuan manusia dan banyak peserta kongres yang tak menyia-nyiakan hari pamungkas dengan turut mengeluarkan pemikirannya.
Perjuangan perempuan dalam Kongres Perempuan Indonesia jauh dari kata senyap, lebih dari 1000 orang mengunjungi pembukaan Kongres Perempuan Indonesia pertama pada 22 Desember 1928. Mereka adalah utusan-utusan perkumpulan wanita, utusan-utusan perkumpulan laki-laki, dan utusan-utusan dari pemerintah dan pers.
Berkumpulnya 30 organisasi Wanita Indonesia ini berhasil membentuk suatu badan yang diberi nama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). PPPI bersuara untuk perburuhan, hukum perkawinan, memperjuangkan hak pilih bagi Wanita dan pemberantasan buta huruf dengan memberikan beasiswa pendidikan bagi anak-anak perempuan yang kurang mampu.
Surat kabar yang didirikan oleh PPPI menjadi corong suara perempuan untuk memperbincangkan hak dan kewajiban, kebutuhan, kemajuan dan segala macam yang berhubungan dengan kehidupan dan penghidupan perempuan. PPPI saat itu menjadi pemersatu semua perhimpunan perempuan Indonesia yang ingin memperbaiki nasib perempuan tanpa melihat perbedaan asal agama dan partai yang menaungi mereka
Sembilan puluh dua tahun setelah kelahirannya, setiap tanggal 22 Desember Hari Ibu kemudian terus menerus digaungkan. Perempuan, laki-laki, tua, muda merayakannya dengan beragam cara. Ada yang benar-benar memaknai perjuangan perempuan para terdahulunya, banyak pula yang memahaminya dengan sangat sempit hanya sebatas perayaan seperti yang terjadi pada pemaknaan Hari Kartini.
Pergerakan perjuangan perempuan menjadi catatan panjang yang diwariskan pada generasi muda hari ini. Hari Ibu semestinya menjadi pengingat untuk mencapai kesetaraan dan keadilan bagi perempuan tidaklah mudah, seperti yang dikatakan Kartini :
“Tradisi lama yang tidak dapat diruntuhkan dengan mudah memenjara kita dalam tangan-tangannya yang kokoh. Suatu hari memang benar tangan-tangan itu harus melepaskan kita tetapi hari ini masih jauh, sangat jauh! Bahwa hari itu akan tiba, aku yakin, tetapi hanya setelah tiga atau empat generasi datang dan pergi” – Kartini.
Kini perjuangan perempuan pun terus dilanjutkan. Tidak lagi hanya bicara tentang mendapatkan pendidikan, menentang kawin paksa dan poligami (meskipun faktanya di banyak daerah hal ini masih banyak terjadi dan harus terus diperjuangkan).
Perjuangan perempuan hari ini sudah mengerucut pada kemerdekaan setiap perempuan untuk mengapresiasi tubuhnya, pemikirannya, dan memastikan kesehatan mentalnya. Hal ini penting dilakukan agar setiap perempuan Indonesia dapat menjadi manusia yang merdeka, dan bahagia. []