Mubadalah.id – Abu Syuqqah menegaskan bahwa naqisat din bukan berarti secara esensi perempuan adalah kurang agama. Ini hanya pernyataan simbolik saja dari kurangnya aktivitas perempuan terkait shalat dan puasa, yang ia tinggalkan pada saat menstruasi. Di mana hal ini seperti Nabi Saw jelaskan, meninggalkan shalat dan puasa saat menstruasi juga telah Islam perintahkan.
Adalah aneh, seseorang yang diperintah Islam untuk meninggalkan shalat dan puasa saat menstruasi. Pada saat yang sama dianggap kurang agama, karena melaksanakan perintah Tuhan.
Jika persoalannya pada pahala dari aktivitas ibadah, seperti Abu Syuqqah tegaskan. Maka perempuan bisa melakukan banyak aktivitas lain untuk mengumpulkan pahala pada saat menstruasi.
Baik aktivitas ibadah ritual, seperti berzikir dan membaca doa. Maupun ibadah sosial, seperti menolong orang, melayani keluarga, menulis, mengembangkan ilmu pengetahuan, memberdayakan masyarakat, dan banyak yang lain.
Jadi, karena hanya simbolik, teks Hadis yang dikutip di atas, sesungguhnya sama sekali tidak sedang menetapkan akal dan agama perempuan bernilai separuh dari laki-laki. Tidak juga sedang menetapkan superioritas laki-laki di atas perempuan dalam segala hal, hanya karena seseorang itu laki-laki atau perempuan.
Karena Islam, seperti dalam berbagai ayat dan Hadis, tidak mendasarkan pada jenis kelamin dan segala rupa tubuh untuk menilai dan memuliakan seseorang.
Teks Hadis Nabi Muhammad Saw. tidak memberikan keutamaan sama sekali pada bentuk tubuh, melainkan pada keimanan hati dan amal perbuatan.
Dari Abu Hurairah r.a., berkata: Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa kalian, tidak juga pada harta kalian, tetapi Dia melihat hati kalian dan amal-amal kalian.” (Shahih Muslim, Kitab al-Birr wa al-Shilah wa al-Adab, no. 6708).