Mubadalah.id – Dalam Sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW, kita mungkin sering mendengar kisah para sahabat, keluarga dekat, bahkan tokoh-tokoh yang terang-terangan memusuhi dakwah Islam. Namun, dibalik itu semua, ada satu figur yang jarang banyak orang ketahui. Ia justru mendukung dakwah Islam. Dia adalah Abul ‘Ash bin ar-Rabi’, menantu dari putri sulung Nabi, Zainab binti Muhammad.
Abul ‘Ash bukanlah sahabat yang dikenal karena keberanian di medan perang, bukan pula tokoh yang tercatat sebagai pemeluk Islam generasi awal. Ia hanyalah seorang pedagang Quraisy yang menikahi Zainab atas permintaan Khadijah, ibunda Zainab sekaligus istri pertama Nabi.
Dari pernikahan itu lahirlah seorang anak perempuan, Umamah, cucu yang begitu disayangi Nabi hingga kerap beliau gendong ketika menunaikan shalat.
Kebahagiaan rumah tangga Zainab itu sedikit goyah, terutama ketika Nabi menerima wahyu dan diangkat menjadi Rasul. Pada saat itu, putri beliau langsung beriman, sementara Abul ‘Ash memilih tetap bertahan pada agama nenek moyangnya.
Dengan perbadaan agama ini banyak orang mungkin berasumsi bahwa Nabi akan memerintahkan putrinya untuk segera berpisah. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Selama Abul ‘Ash tidak menyakiti istrinya dan tidak memusuhi Islam, pernikahan itu, kata Nabi harus keduanya pertahankan.
Perlakuan ini berbeda dengan yang dialami dua putri Nabi lainnya, Ruqayyah dan Ummu Kultsum, yang dinikahi putra Abu Lahab. Karena mertuanya terang-terangan memusuhi dakwah, Nabi meminta kedua putrinya berpisah.
Menjaga Kehormatan Rumah Tangga
Sedangkan, Abul ‘Ash, meski belum beriman, beliau tetap menjaga kehormatan rumah tangga dan menghormati Nabi sebagai mertua. Bahkan ketika Abu Lahab menghasutnya untuk menceraikan Zainab dengan iming-iming perempuan Quraisy lain yang lebih cantik, ia menjawab tegas:
“Tidak, demi Allah, aku tidak akan menceraikan istriku. Tidak ada perempuan Quraisy yang lebih aku cintai selain Zainab.”
Keteguhan jawaban itu menumbuhkan rasa hormat kapada mertuanya. Seorang yang berbeda keyakinan, tetapi setia pada keluarga. Nabi bahkan pernah memujinya dengan sabda: “Dia adalah lelaki yang selalu jujur kepadaku, dan jika berjanji, ia pasti menepatinya.”
Kesetiaan itu diuji ketika rombongan dagang Abul ‘Ash disergap oleh pasukan Muslim. Hartanya dirampas, dan ia melarikan diri hingga akhirnya meminta perlindungan kepada Zainab.
Sang istri, dengan keberanian yang luar biasa, melindunginya di hadapan kaum Muslimin. Nabi tidak menolak keputusan putrinya.
Beliau menegaskan bahwa perlindungan seorang Muslim—bahkan dari kalangan biasa—wajib dihormati. Harta Abul ‘Ash dikembalikan, dan tak lama setelah itu ia pun memeluk Islam.
Abul ‘Ash akhirnya beriman hanya beberapa bulan menjelang penaklukan Makkah. Itu berarti hampir 19 tahun ia hidup sebagai menantu Nabi dalam perbedaan keyakinan.
Namun sepanjang waktu itu, Nabi tidak pernah memperlakukannya dengan kebencian. Sebaliknya, beliau menghargai kesetiaannya, mengakui kejujurannya, dan tetap memperlakukan Abul ‘Ash dengan keluhuran akhlak.
Lalu, apa pesan yang bisa kita tarik dari kisah ini?
Pertama, akhlak adalah jembatan terkuat dalam menghadapi perbedaan. Bukan dengan caci maki atau paksaan. Melainkan melalui ketulusan menjaga kesetiaan, amanah, dan kejujuran. Inilah yang membuat Abul ‘Ash akhirnya menemukan hidayah.
Kedua, rumah tangga adalah ruang yang menuntut kebijaksanaan. Nabi menunjukkan bahwa perbedaan keyakinan tidak serta-merta harus memutuskan ikatan keluarga, selama tidak ada pengkhianatan atau permusuhan.
Ketiga, kisah ini mengingatkan kita bahwa kebaikan bisa tumbuh di mana saja. Bahkan dari orang yang semula menolak kebenaran. Integritas, ketulusan, dan kesetiaan justru menjadi pintu yang membuka jalan menuju iman.
Di tengah masyarakat kita yang kerap mudah terpecah oleh perbedaan—baik politik, keyakinan, maupun pandangan hidup. Maka kisah Abul ‘Ash terasa sangat relevan. Ia memberi teladan bahwa akhlak mulia adalah fondasi perdamaian. []