Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan Imam al-Ghazali tentang agama, maka ia menjelaskan bahwa agama adalah suatu cahaya yang dipancarkan Allah Swt dalam jiwa hambaNya sebagai karunia dan hidayah. Keyakinan bisa datang dari kesadaran batin yang kukuh dan bisa juga dari tingkah laku agung para agamawan.
Imam al-Ghazali tampaknya lebih memuji cara yang terakhir ini. Nabi Muhammad Saw lebih banyak menggunakan cara ini.
“Suatu hari,” kata sufi besar ini, “seorang Arab Badui datang kepada nabi sambil menyampaikan kata-kata kasar dan menantang. Ketika orang itu tertumbuk pada sosok nabi yang santun, penuh senyum, tenang, dan memancarkan cahaya kenabian, ia tertegun dan terpesona.”
Kemudian ia bergumam, “Demi Tuhan, ini bukan wajah seorang pembohong. Tidak lama kemudian, ia meminta nabi mengajarkan Islam, dan ia pun memeluknya.”
Aisyah Ra., istri nabi yang cantik dan cerdas, pernah membuat kesaksian ketika ditanya orang tentang pribadi suaminya itu. Ia mengatakan: “Kama khuluquhul Qur’an (Perilakunya adalah al-Qur’an).”
Kitab suci umat Islam ini juga telah menyatakan “Wa innaka la’alaa khuluqin ‘azhiim (Kamu memang orang yang berbudi luhur).” Inilah makna keteladanan.
Dakwah atau mengajak orang lain yang paling efektif tampaknya adalah dengan bahasa yang lembut dan tingkah laku yang santun. Bahasa tubuh, tingkah laku, atau keteladanan memberi kesan lebih kuat daripada bahasa mulut.
Ada pepatah Arab mengenai ini: “Lisaanul hal afshaha min lisanil maqaal (Bahasa tubuh lebih efektif daripada bahasa lidah).” Dalam banyak sejarah sosial, upaya perubahan individu dan masyarakat lebih berhasil melalui model-model keteladanan. []