Mubadalah.id – Banyak orang mengatakan mengatakan bahwa meski agama kita berbeda, namun kita hidup di atas bumi yang sama. Faktanya, pernyataan ini bukanlah sekadar ucapan. Melainkan justru telah menjadi hasil kajian yang dilakukan oleh EcoBhinneka Muhammadiyah dan GreenFaith Indonesia.
Laporan ini masuk dalam Low Carbon Development Indonesia (LCDI), yang membahas tentang dialog dan studi Keterlibatan Keagamaan dan Lintas Iman dalam Mengelola Risiko Lingkungan.
Upaya ini sebagai bagian dari Inisiatif Pembangunan Rendah Karbon Fase-2 (LCDI2) yang menyebutkan bahwa semua agama pada dasarnya dapat berperan untuk menjaga, melestarikan, mengelola dan memuliakan lingkungan. Yakni dengan tanggung jawab dan keberlanjutan melalui prinsip agamanya.
Desiminasi Hasil Kerja Advokasi dan Silaturahmi Lintas Iman di gedung Pusat Muhammadiyah telah berlangsung pada 20 Juli 2025. Kegiatan ini mengundang beberapa perwakilan peserta dari berbagai lintas iman seperti Pemuda Muhammadiyah, GPIB, DPN PAKIN, Lembaga Pengembangan Pesantren PPM, Pemuda Katholik, dan Masjid al-Mahallie.
Hening Parlan mewakili GreenFaith Indonesia sekaligus EcoBhinneka Muhammadiyah menyampaikan dalam sambutannya bahwa ajaran agama tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (moral religius). Tetapi juga hubungan manusia dengan manusia, selain itu hubungan Tuhan, manusia dan alam (moral etik).
Kajian ini mendapatkan dukungan dari Foreign Commonwealth and Development Office (FCDO) Pemerintah Inggris, bekerja sama dengan Bappenas, pemerintah Indonesia, dan Oxford Policy Management Limited (OPML). Melalui kajian ini menjelaskan bahwa setiap agama memiliki nilai spiritual untuk para penganutnya dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Khalifah fil Ardh dalam Perspektif Lingkungan
Misal pada agama Islam, konsep Khalifah fil Ardh yang secara harfiah memiliki makna manusia adalah pemimpin di bumi. Selain itu dapat pula kita maknai sebagai individu yang harus dapat menjaga kelestarian lingkungan sebagai bentuk amanah kepemimpinan yang telah Allah titipkan.
Lebih luas lagi, Layyin Lala dalam ulasannya di Mubadalah yang berjudul Manusia sebagai Khalifah Fil Ardh dalam Perspektif Lingkungan menjelaskan bahwa bentuk kepemimpinan manusia terkait alam dan seisinya adalah untuk terkelola dan kita manfaatkan secara seimbang.
Tujuan dari pengelolaan itu agar manusia dapat bertahan hidup di bumi dan kelestarian alamnya tetap terjaga. Bukan untuk kita manfaatkan sebebas mungkin hingga dapat merusak, mengeksploitasi. Apalagi sampai menyebabkan bencana dan memusnahkan apa yang telah Allah berikan untuk manusia melalui alam dan seisinya.
Konsep Stewardship dalam Perspektif Lingkungan
Kemudian dalam laporan ini juga menjelaskan bahwa agama Kristen mengajarkan konsep Stewardship yang mengajak pengikut agamanya untuk merawat ciptaan Tuhan. Konsep dasar Stewardship dalam Alkitab adalah meyakini bahwa Tuhan adalah pemilik segalanya, dan manusia adalah pengelolanya.
Pengelolaan dan pelestarian lingkungan juga masuk ke dalam konsep Stewardship karena pengelolaannya harus kita akukan secara bijaksana, dan bertanggung jawab. Sebagaimana yang telah umat terdahulu teladankan dalam Alkitab. Seperti kisah Adam dan Hawa di Taman Eden, Yusuf mengelola rumah Potifar di Mesir, Bahtera Nuh, hingga pelayanan dan pengorbanan Yesus Kristus.
Sedangkan dalam penerapan kehidupan sehari-hari, penerapan konsep Stewardship dapat kita lakukan atas segala hal yang telah Tuhan berikan kepada manusia. Seperti pengelolaan waktu, uang, talenta, hingga sumber daya alam secara bijaksana, tanggung jawab, dan pemberian murah hati. Tujuannya agar dapat menjalani hidup sesuai dengan kehendak Tuhan dan menjadi berkat bagi makhluk lainnya termasuk alam.
Prinsip Ahimsa dalam Perspektif Lingkungan
Terakhir adalah ajaran tentang cinta lingkungan dalam agama Hindu dan Budha yang menerapkan prinsip Ahimsa (tidak merusak). Dalam laporan ini menjelaskan bahwa prinsip Ahimsa mengajarkan untuk menghormati seluruh makhluk hidup beserta alam dan seisinya.
Menurut I Wayan Mangku, S.Pd. (ASN Kemenag Kab Karangasem) dalam tulisannya yang berjudul Ahimsa Wujud dari Moderasi Beragama di situs Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI), Ahimsa adalah satu dari lima pengendalian diri (Panca Yama Bratha). Yakni tingkat dasar guna mencapai kebahagiaan lahir batin.
Cara menghormati seluruh makhluk hidup beserta alam dan seisinya melalui ajaran Ahimsa yang tertuang dalam Kitab Bhawadgita XVI-2 adalah dengan tidak menyakiti, benar, dan bebas dari nafsu amarah. Selain itu tanpa keterikatan, tenang, tidak memfitnah, kasih sayang kepada sesama makhluk, tidak dibingungkan oleh keinginan, lemah lembut, sopan dan berketetapan hati.
Prinsip ini senada dengan ajaran dalam Kitab Sarasamuccaya Sloka 135 yang menyebutkan “karena itu usahakanlah kesejahteraan semua makhluk, jangan berbuat tidak welas asih kepada semua mahluk.”
Penerapan Ahimsa dalam perspektif lingkungan termasuk mengupayakan kesejahteraan dan kelestarian lingkungan untuk kemaslahatan bersamma dengan tidak merusak. Apalagi sampai mengeksploitasi makhluk hidup dan alam seisinya maka itulah kebahagiaan yang hakiki.
Selain nilai-nilai teologis dalam lintas agama, laporan kajian ini juga menemukan hasil bahwa kapasitas keagamaan dalam mendukung perlindungan lingkungan dan Pembangunan Rendah Karbon (PRK) sudah cukup baik. Namun dapat semakin diperkuat jika faktor internal dan eksternal dapat terintegrasi secara optimal.
Kolaborasi lintas iman menjadi salah satu cara memperkuat dari segi eksternal. Solidaritas lintas iman berguna untuk modal sosial yang memperkuat kesadaran teologis setiap agama. Sehingga dapat kita wujudkan atau dalam aksi nyata dan gerakan lingkungan yang lebih besar serta masif, baik pada tingkat nasional maupun internasional. []
Laporan ini selengkapnya dapat diakses melalui: https://drive.google.com/file/d/1xeSKrT5zsbSCpYcNvjCWLJ2_V4zimRoe/view?pli=1