Mubadalah.id – Al-Qur’an sebagai sumber petuntuk bagi semua umat manusia, laki-laki dan perempuan sangat memfokuskan pada etika dasar yang harus mereka rujuk dan pertimbangkan.
Etika-etika dasar itu misalnya adalah tidak menzalimi (‘adam azh-zhulm), tidak menipu (‘adam al-gharar), tidak menyakiti (‘adam adh-dharar), dan tidak berspekulasi (‘adam al-maysir).
Kemudian, saling rela (tarddhin), saling menolong (ta’awun), saling berbuat baik (mu’asyarah bi al ma’ruf), saling bermusyawarah (tasyawur), dan yang lain.
Jika isu pertama dan kedua tidak boleh berkurang atau bertambah, isu ketiga tentang relasi sosial tidak demikian.
Bentuk, jenis, dan model dari relasi sosial ini bisa berbeda dari adat kebiasaan Arab pada saat itu yang diadopsi al-Qur’an, bisa berkembang sesuai tuntutan pengetahuan, dan bisa belajar dari berbagai peradaban yang lain.
Selama ia terikat dengan batasan-batasan dari etika dasar tersebut. Ikatan dan batasan ini tentu saja untuk memastikan visi rahmatan lil ‘alamin dan akhlak mulia.
Ayat-ayat tentang perempuan adalah di antara yang paling kentara bagaimana gerakan transformasi budaya dilakukan secara gradual. Tetapi arahnya jelas yaitu memanusiakan perempuan, dan memperlakukan secara bermartabat dan berkeadilan.
Ayat-ayat ini bertebaran di berbagai surat dalam al-Qur’an. Al-Qur’an sangat kentara memberikan pemihakan kepada perempuan ketika konteks sosial saat itu masih sering merendahkan mereka. Bahkan tidak menganggapnya sebagai manusia, melainkan barang yang memalukan (QS. an-Nahl (16): 58-59).
Al-Qur’an juga menegaskan nilai dasar yang memperhitungkan amal perbuatan perempuan, sama persis sebagaimana perhitungan terhadap laki-laki.
Amal baik yang mereka lakukan, dalam penegasan al-Qur’an, akan mengantar mereka pada apresiasi di dunia dan surga di akhirat. Persis seperti apresiasi yang ia berikan kepada laki-laki dengan amal baik mereka. Tanpa perbedaan sama sekali (QS. an-Nisa’ (4):124). []