Mubadalah.id – Setiap anak lahir dengan keinginan untuk berbicara dan kita dengar. Mereka ingin bercerita tentang hal-hal kecil yang dialami, entah itu kejadian menyenangkan atau kesedihan yang mereka rasakan. Namun, tidak semua anak tumbuh dalam lingkungan yang mendukung mereka untuk bercerita. Ada yang sejak kecil merasa nyaman berbagi cerita, dan ada pula yang perlahan memilih diam karena berbagai alasan.
Ketika Anak Mulai Berhenti Bercerita
Di usia dini, anak-anak cenderung antusias berbagi pengalaman. Mereka dengan senang hati menceritakan apa yang terjadi di sekolah, siapa teman baru mereka, atau hal-hal yang membuat mereka bahagia maupun kecewa. Namun, seiring waktu, ada anak-anak yang mulai menutup diri.
Ada berbagai faktor yang membuat anak memilih diam. Salah satunya adalah respons yang mereka terima. Saat mereka bercerita tentang kesedihannya lalu mendapat tanggapan seperti, “Ah, gitu aja kok nangis,” atau “Dibawa santai dong, jangan terlalu dipikirin!” mereka mulai berpikir bahwa emosinya tidak cukup penting untuk didengar.
Selain itu, pengalaman dibandingkan dengan orang lain juga dapat menjadi alasan. Saat seorang anak mengungkapkan perasaannya lalu kita balas dengan, “Dulu kakakmu nggak gitu kok” atau “Coba lihat temanmu, dia nggak pernah ngeluh” mereka akan menganggap bahwa berbicara tidak ada gunanya, hingga menyimpulkan bahwa menyimpan cerita sendiri lebih aman daripada harus menghadapi penolakan.
Dampaknya Saat Beranjak Remaja dan Dewasa
Seiring bertambahnya usia, kebiasaan menyimpan cerita sendiri terbawa hingga remaja dan dewasa. Hal ini tentu memberikan dampak pada berbagai aspek kehidupan mereka.
Dalam hal emosional, mungkin akan kesulitan mengelola perasaan karena tidak terbiasa menyalurkannya dengan sehat. Setiap kali menghadapi masalah, mereka lebih memilih menyelesaikannya sendiri, meskipun sebenarnya membutuhkan bantuan. Akibatnya, rasa kesepian dan tekanan batin sering kali menjadi beban yang tidak terlihat.
Dalam interaksi sosial, anak yang tumbuh tanpa bercerita juga akan menjadi pribadi yang sulit terbuka, baik kepada teman, pasangan, maupun lingkungan kerja. Ketidakbiasaan dalam mengekspresikan perasaan juga dapat menjadikannya tampak dingin atau sulit dipahami oleh orang lain. Sebagian dari mereka akhirnya belajar beradaptasi dengan berpura-pura baik-baik saja, meski di dalam hatinya berjuang sendiri.
Dalam hubungan keluarga, anak yang tidak tumbuh dengan ruang aman untuk bercerita cenderung merasa berjarak dengan orang tua atau saudara. Mereka cenderung hanya berbagi hal-hal yang perlu diketahui saja, tanpa benar-benar menunjukkan perasaan mereka. Bahkan ketika menghadapi kesulitan besar, mereka lebih memilih menyelesaikannya sendiri daripada bercerita kepada keluarga, karena takut dianggap lemah atau salah.
Komunikasi Keluarga dalam Islam
Islam mengajarkan pentingnya komunikasi yang baik dalam keluarga, terutama antara orang tua dan anak. Dalam Al-Qur’an, ada banyak contoh teladan terkait bagaimana Nabi berkomunikasi dengan anak-anak mereka dengan penuh kelembutan dan kebijaksanaan.
Salah satu yang cukup fenomenal, yakni kisah Nabi Ya’qub AS dan Nabi Yusuf AS dalam Qur’an Surah Yusuf [12] : [5]. Ketika Nabi Yusuf AS menceritakan mimpinya kepada ayahnya, Nabi Ya’qub AS tidak langsung mengabaikan atau meremehkan cerita putranya. Sebaliknya, beliau mendengarkan dengan penuh perhatian dan memberikan nasihat dengan lembut:
قَالَ يٰبُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُءْيَاكَ عَلٰٓى اِخْوَتِكَ فَيَكِيْدُوْا لَكَ كَيْدًا ۗاِنَّ الشَّيْطٰنَ لِلْاِنْسَانِ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
“Dia (ayahnya) berkata, “Wahai anakku, janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu karena mereka akan membuat tipu daya yang sungguh-sungguh kepadamu. Sesungguhnya setan adalah musuh yang jelas bagi manusia.
Dari ayat tersebut, kita belajar bahwa seorang anak membutuhkan ruang aman untuk bercerita. Nabi Ya’qub AS mendengarkan dengan baik, memberikan perhatian, dan memberi nasihat tanpa menghakimi. Sikap seperti inilah yang seharusnya kita terapkan dalam keluarga.
Selain itu, Rasulullah SAW juga memberikan tauladan komunikasi yang baik dengan anak-anak. Beliau selalu memperlakukan anak-anak dengan kasih sayang dan penuh perhatian. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيْرَنَا
“Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak-anak kecil di antara kami dan tidak menghormati orang-orang tua di antara kami.”(HsR. Tirmidzi)
Hadis ini menunjukkan bahwa menyayangi anak-anak termasuk dalam ajaran Islam. Salah satu bentuk kasih sayang adalah dengan mendengarkan mereka, memberikan ruang untuk bercerita dan tidak membuat mereka takut untuk mengungkapkan perasaan.
Membangun Ruang Aman untuk Anak Bercerita
Ruang aman bukan sekadar tempat untuk berbicara, tetapi juga suasana di mana anak merasa kita terima tanpa takut terhakimi. Untuk membangun ruang ini, yang anak-anak butuhkan bukan hanya telinga yang mendengar, tetapi juga hati yang memahami.
Mendengarkan tanpa buru-buru memberi nasihat dapat membuat anak merasa lebih nyaman. Terkadang, mereka tidak selalu butuh solusi, melainkan hanya ingin kita dengar. Menghargai perasaan mereka tanpa membandingkan dengan orang lain juga penting, karena setiap individu memiliki pengalaman dan cara menghadapi masalah yang berbeda.
Keluarga yang terbiasa menjadi tempat bercerita akan melahirkan anak-anak yang percaya diri dalam mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Mereka tidak akan dihantui rasa takut untuk meminta bantuan, dan yang terpenting, mereka akan tumbuh dengan kesadaran bahwa emosi mereka valid dan layak untuk kita dengarkan.
Membangun ruang aman dalam keluarga bukan hanya perihal mendengarkan, tetapi juga tentang memberikan kehangatan, empati, dan dukungan. Dengan begitu, anak-anak akan tumbuh dengan bercerita tanpa rasa takut dan juga tidak perlu berpura-pura baik-baik saja. []