Mubadalah.id – Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 telah usai. Meskipun quick count, telah menunjukkan hasil pemenang sementara, Komisi Penyelenggara Pemilu (KPU) masih terus berproses melakukan penghitungan suara.
Jika merujuk pada hasil quick count, sepertinya Pemilu tahun ini hanya berlangsung satu putaran saja. Tentu ini menjadi kabar yang kurang baik. Saya sendiri bukan pendukung salah satu paslon. Melainkan hanya pemilih yang berusaha menyalurkan hak suara saya daripada disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Sebagai kaki tangan Bawaslu di level paling bawah, tentu kabar pemilu satu putaran ini kurang menguntungkan. Begitu pula bagi sebagian kawan KPPS lainnya. Momen Pemilu memang telah membuka lowongan pekerjaan hingga masyarakat akar rumput. Perekonomian masyarakat sedikit banyak telah terbantu dengan adanya perhelatan Pemilu ini.
Namun, bagi para elit politik dengan hasil quick count yang cukup lumayan, satu putaran tentu lebih menguntungkan. Mereka tidak perlu bagi-bagi “kue” lagi untuk menggaet simpati masyarakat. Kampanye yang cukup menguras tenaga dan kantong pun dapat diminimalisir.
Tapi, menurut saya ada hal lain yang lebih menarik dari itu semua. Pemilu bukan hanya soal kontestasi antar paslon dan para pendukungnya. Pemilu juga bukan hanya soal siapa yang menang dan siapa yang kalah. Meskipun hal tersebut juga cukup penting bagi masa depan Indonesia.
Meningkatkan Kesadaran Berpolitik
Berbicara soal politik bagi saya merupakan perbincangan yang cukup berat. Dan saya yakin bahwa ribuan orang di luar sana juga berpikir demikian. Sehingga hal tersebut membuat sebagian orang menjaga jarak dengannya.
Mungkin mereka merasa muak dengan permainan politik para elit yang memegang kekuasaan. Entahlah, saya hanya menduga-duga. Tapi realitas politik pada level bawah (sebut saja desa) di daerah saya menunjukkan demikian.
Entah sejak kapan, ihwal politik identik dengan stigma negatif, picik, haus materi dan lain-lain. Pasalnya, memang dengan kekuasaan, setiap orang memiliki otoritas yang seolah-olah mampu melakukan segalanya, termasuk korupsi sekalipun. Tidak mengherankan jika dunia politik menawarkan banyak iming-iming yang saling diperebutkan oleh para elitis.
Akan tetapi saya sendiri mulai sadar bahwa politik tidak sepenuhnya “kotor” (jika orang-orang di dalamnya memegang erat falsafah Pancasila, sih). Saya juga mempertanyakan sampai kapan kita mau menutup diri dan apatis terhadap dunia politik.
Mengetahui seluk-beluk politik bukan berarti kita harus terjun di dalamnya. Sekedar tahu saja, menurut saya telah menggunggurkan kewajiban sebagai warga negara yang bertanggungjawab terhadap negaranya.
Bagaimanapun juga segala kebijakan baik di bidang ekonomi, sosial, pendidikan, maupun kesehatan tidak terlepas dari percaturan politik pada masing-masing negara. Politik dengan beragam iklimnya turut mempengaruhi kebijakan pada setiap lini. Dalam hal ini tentu setiap warga negara bertanggung jawab terhadap negaranya sendiri. Lantas, bagaimana caranya belajar politik? Mulai dari mana?
Sebagai orang awam yang berusaha menjaga kewarasan di tahun politik, mungkin pertanyaan seperti itu yang muncul di benak saya. Tentu belajar politik bukan hanya diperuntukkan bagi mereka yang ingin menerjuni dunia perpolitikan. Pun seperti halnya belajar politik juga tidak harus masuk ke dalam partai, bukan?
Edukasi Politik di Media Sosial
Di era percepatan informasi dan komunikasi ini, media sosial memang menjadi sarana yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Bahkan sekarang ini media sosial telah menjadi rujukan informasi, meskipun belum jelas akan letak kebenarannya.
Namun, kabar baiknya banyak pihak, entah dari komunitas, lembaga, atau perorangan di masa perhelatan pemilu ini yang berbagi pengetahuan soal politik. Materi politik yang sebenarnya berat dapat disajikan dengan ringan dan kreatif sesuai preferensi dari masyarakat, khususnya anak muda.
Baik dalam bentuk video, film, humor, grafis, maupun tulisan, materi politik dikemas menjadi lebih menarik. Dalam hal ini, edukasi politik melalui media sosial menjadi alternatif bagi generasi sekarang supaya tertarik belajar dunia perpolitikan.
Tentu bukan tanpa tantangan. Keberingasan netizen serta maraknya buzzer membuat kita perlu menggunakan nalar kritis ketika belajar politik dari media sosial. Memperbanyak mengikuti akun yang memberikan edukasi politik menjadi upaya untuk menjaga objektivitas dan keberimbangan informasi.
Saring sebelum sharing, memperbanyak bacaan, dan selalu melakukan cek ulang untuk validasi informasi juga menjadi langkah utama untuk meningkatkan literasi politik di media sosial.
Pada akhirnya, momen pemilu ini menjadikan peluang-peluang belajar politik semakin terbuka lebar. Tinggal bagaimana kita menyikapinya.
Meskipun pemilu telah usai, harapannya kesadaran politik masyarakat semakin meningkat. Sebagai negara demokrasi, peran masyarakat sangat menentukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pemilu hanyalah bagian kecil dari perjalanan demokrasi dalam sistem perpolitikan Indonesia. Oleh karena itu, dalam hal ini pemahaman masyarakat soal politik menjadi bekal utama untuk mengawal keberlanjutan demokrasi ke depannya. []