Mubadalah.id – AI umumnya dianggap sebagai tiruan manusia. Meskipun bukan dalam arti yang bagus; karena large language models (LLM) seperti Chat GPT cenderung terlatih dengan informasi-informasi mentah yang berasal dari internet tanpa filterisasi, cacat, dan terkadang tidak etis. Dan karena internet itu sendiri, khususnya media sosial, penuh dengan bias, maka AI pasti akan menyerap, melanggengkan, dan bahkan memperkuat bias tersebut.
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa AI seperti Midjourney dan DALL-E sering melanggengkan stereotip-stereotip gender, ras, dan homofobia. Beberapa platform AI juga mereka gunakan untuk membuat konten-konten seksual non-konsensual . Kita kenal sebagai Deepfakes, yaitu untuk melecehkan, mengintimidasi perempuan, menyebarkan hoax, dan banyak hal lainnya.
Dan karena semakin banyak orang yang menggunakan AI dalam aktivitas kesehariannya, AI berperan penting dalam kehidupan dan budaya modern, sehingga kita tidak boleh meremehkan dampak bias yang ia timbulkan. Lantas apakah AI membantu kita menjadi lebih baik?
Namun begitu, kita tidak boleh mengabaikan kemungkinan bahwa AI juga bisa membantu kita mengatasi permasalahan-permasalahan di atas. Dan pada akhirnya, membangun versi terbaik dari diri kita.
Ketika Chat GPT, chatbot yang OpenAI kembangkan, pertama kali rilis pada November 2022 silam, chatbot ini sontak menjadi viral di jagat maya karena banyak orang yang terkesima dengan kemampuannya. Mulai dari menulis cerita hingga membuat perencanaan-perencanaan. Namun bagaimana jika chatbot seperti Chat GPT ternyata juga bisa mengubah perspektif seseorang, khususnya menyangkut sikap terhadap isu-isu tertentu?
Menguji Percakapan di Chatbot
Sebuah studi baru-baru ini yang dilakukan oleh para peneliti dari University of Wisconsin–Madison yang diterbitkan dalam jurnal Scientific Reports mencoba menguji apakah percakapan dengan chatbot bisa mengubah pandangan seseorang, atau setidaknya membantu memperluas pemahaman?
Untuk menjawab hal tersebut, para peneliti memulai pengujiannya dengan meminta lebih dari 3.000 peserta yang memiliki latar belakang gender, ras, dan pendidikan yang berbeda. Yakni untuk melakukan percakapan real-time dengan GPT-3 — pendahulu ChatGPT — tentang topik-topik kontroversial seperti perubahan iklim.
Setelah menganalisis 20.000 percakapan, sekitar 25% orang yang tidak percaya dengan isu perubahan iklim melaporkan bahwa mereka tidak puas dengan percakapan yang mereka lakukan. Namun, meskipun mereka tidak puas, obrolan tersebut membuat mereka belajar sesuatu yang baru terhadap isu tersebut. Bahkan mengubah pandangan mereka, dari yang tadinya kurang setuju menjadi setuju!
Mengapa percakapan dengan entitas bukan manusia seperti chatbot bisa mengubah opini mereka? Penelitian menunjukkan bahwa hal tersebut karena disonansi kognitif yang mereka alami. Yaitu ketidaknyamanan yang terjadi ketika apa yang mereka yakini bertentangan dengan informasi baru, sehingga memotivasi mereka untuk memperbarui pendapatnya.
Sekarang, perlu kita ingat bahwa melakukan penelitian di atas hanya dengan menggunakan pendahulu ChatGPT. Mungkinkah chatbot yang lebih maju dan terampil seperti sekarang bisa memberikan dampak yang lebih signifikan? Menurut saya itu lebih dari mungkin. Penelitian terbaru lainnya yang Carey Morewedge lakukan, seorang profesor dari Universitas Boston, yang diterbitkan di PNAS, menemukan hal yang tak kalah menarik.
Morewedge mencari tahu apakah dengan melihat bias sosial seperti rasisme, seksisme, dan ageisme yang algoritma AI buat bisa membantu kita mengenali bias kita sendiri. Untuk menjawab hal ini ia merancang eksperimennya dengan serangkaian iklan fiktif Airbnb. Dia mengundang lebih dari 6.000 peserta untuk menilai seberapa besar kemungkinan mereka akan menyewa iklan-iklan tersebut.
Mengenal Algoritma
Para partisipan kemudian diberitahukan bagaimana ciri atau karakteristik seseorang seperti ras, jenis kelamin, daya tarik, atau usia membuat penilaian mereka terhadap orang tersebut bias. Setelah itu meminta mereka untuk menemukan bias dalam penilaian algoritma dan penilaian mereka sendiri.
Hasilnya adalah para peserta cenderung mudah mengenali bias dalam keputusan-keputusan yang berasal dari algoritma dibandingkan keputusan-keputusan mereka sendiri. Meskipun dua keputusan tersebut sama.
Mengomentari penelitian tersebut, Morewedge berkata:
“Algoritma adalah pedang bermata dua. Mereka bisa menjadi alat yang memperkuat kencenderungan-kecenderungan buruk yang kita miliki. Namun juga bisa menjadi alat yang membantu kita untuk menjadi lebih baik.”
Tapi ini hanyalah apa yang tampak di permukaan saja dari banyaknya hal yang bisa AI lakukan. Seperti yang kita tahu bahwa umumnya ekosistem digital hari ini sering kali mengarah (atau diarahkan) pada konten, produk, dan pengguna-pengguna yang keras, mencolok, bias, dan suka memancing kemarahan. Beberapa ahli bahkan memperkirakan bahwa pada tahun 2026, 90% konten online kemungkinan besar dihasilkan oleh AI.
Selain itu, AI juga sering mereka gunakan untuk mendikte apa yang harus kita tonton, baca, beli, konsumsi, tulis, dll. Mesin pencari seperti Google dan media sosial seperti Gmail, misalnya, pun kini sudah bergantung dengan AI. Namun bagaimana jika alih-alih melanjutkan tradisi algoritma non-AI yang memberikan kita konten terlepas dari apakah konten tersebut bermanfaat, benar, dan bijaksana, AI malah melakukan yang sebaliknya?
Bagaimana jika AI justru memprioritaskan kesejahteraan kolektif? Alih-alih memprioritaskan konten-konten yang hanya mengandalkan jumlah klik atau yang membayar paling banyak? Bagaimana jika AI memberikan kita saran yang lebih baik, menghubungkan kita dengan banyak orang yang berpikiran sama. Bahkan mendorong kita untuk berperilaku lebih sehat dan membuat pilihan yang lebih bijak?
Potensi Teknologi
Inilah tujuan Meaning Alignment Institute, sebuah perusahaan AI nirlaba yang mengadvokasi ‘Wise AI’ yang didefinisikan sebagai ‘sistem. Di mana bukan hanya cerdas secara intelektual namun juga cerdas secara moral.’ Perusahaan ini tengah mengembangkan sebuah model AI yang ia beri nama ‘Democratic Fine-Tuning’, yang bisa membantu menciptakan AI yang bijak dengan memanfaatkan dan menganalisis informasi nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat.
Penulis Elle Griffin baru-baru ini juga menulis tentang proyek Meaning Alignment Institute dalam buletinnya, The Elysian. Ia menunjukkan bahwa Wise AI ini bisa mengarahkan algoritma internet pada hal-hal yang sejalan dengan nilai-nilai moral yang ada. Potensi teknologi ini adalah untuk mendorong kita menjadi orang yang lebih baik, bijaksana, berwawasan, sehat, dan bahkan memperdalam rasa kemanusiaan kita.
Barangkali satu-satunya tantangannya adalah bagaimana cara mewujudkannya.
Douglas Engelbart, seorang insinyur berdarah Amerika dan ahli komputer, berpendapat bahwa tujuan komputer adalah untuk menyediakan ‘daya bagi pikiran’. Dengan kata lain, untuk membantu manusia, bukan mengeksploitasi kemanusiaan.
Menyepakati Nilai Inti Pemrograman AI
AI saat ini sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari dan mengambil alih berbagai fungsi sosial mulai dari pengeditan berita, penjodohan hingga iklan. Ini memang membuat hidup kita menjadi lebih baik dalam beberapa hal. Tapi saya kira itu bukan satu-satunya tujuan mereka tercipta.
Jika tujuan lainnya adalah untuk mengalihkan perhatian kita dan untuk menguntungkan segelintir pihak, maka apa pun yang terjadi, tetap akan terjadi. Bahkan jika hal tersebut memperburuk perpecahan, kesenjangan, dan bias sosial.
Namun hal yang paling menakutkan dari situasi ini adalah AI berisiko menjerumuskan kita pada apa yang oleh filsuf Skotlandia William MacAskill sebut sebagai value lock-in state. Yakni sebuah situasi di mana satu ideologi akan ‘terkunci’ secara permanen selama berabad-abad.
Namun begitu kita masih bisa mencoba untuk tidak membiarkan hal itu terjadi. Alih-alih membiarkan AI tereksploitasi oleh pihak-pihak berkuasa yang tidak bertanggungjawab dan mengeksploitasi kita. Lantas kita bisa secara kolektif menyepakati nilai-nilai yang musti menjadi inti pemrograman AI. Yakni nilai-nilai yang bisa membuka dialog, memberdayakan kelompok marjinal, dan tidak diskriminatif. Mengingatkan kita untuk menjaga lingkungan di sekitar kita. Hingga pada akhirnya, inilah yang akan membangun versi terbaik diri kita. []