Mubadalah.id – Anggota Majlis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (MM KUPI) Faqihuddin Abdul Kodir menjelaskan bahwa dalam berhubungan intim atau aktivitas seks antara suami istri (pasutri), jika didahului dengan senyuman, maka pahala senyuman ini terus akan dicatat bersamaan dengan pahala aktivitas-aktivitas berikutnya.
Misalnya sebelum melakukan hubungan intim terlebih dahulu pasutri melakukan puja-puji, rayuan, perkataan baik, saling mencium, saling mengelus, atau memijit, dan seterusnya untuk saling memuasakan.
Setiap momen aktivitas pasutri ini, kata Kang Faqih, ada pahala-pahala kebaikan yang terus beruntun dan menggunung tanpa menghapus pahala sebelumnya. Karena kebaikan yang satu mendorong kebaikan berikutnya, dan begitu seterusnya.
Dalam perspektif mubadalah, Kang Faqih memaparkan, aktivitas seks yang dilakukan pasutri harus dilakukan secara timbal-balik, oleh dan untuk kebaikan bersama. Atau minimal, tidak ada salah satu dari mereka yang dipaksa dalam kondisi tidak nyaman dan menyakitkan.
Persis seperti ilustrasi al-Qur’an, aktivitas seks pasutri itu laksana pakaian. Suami pakaian istri dan istri pakaian suami (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunn, QS. Al-Baqarah, 2: 187).
Aktivitas seks yang memaksa dan menyakitkan tidak akan mendatangkan pahala, malah bisa berdosa, karena paksaan dan kekerasan yang dilakukan.
Nabi Saw telah menggambarkan aktivitas seks ini sebagai “sedekah”, dan sedekah kata al-Qur’an harus dilakukan dengan cara yang baik dan menentramkan.
Perkataan baik (qaulun ma’ruf), dalam ajaran al-Qur’an, jauh lebih baik dibanding sedekah yang menyakitkan (QS. Al-Baqarah, 2: 262-263).
Jadi, kalau malam Jumat bisa jadi momentum ibadah seks yang bisa beruntun dan menggunung, mengapa tidak. Syaratnya, pasutri harus saling menyenangkan, dan sama sekali tidak boleh dengan paksaan dan kekerasan. (Rul)