Mubadalah.id – Dua hari ini, publik dibuat terkejut dengan kasus kekerasan yang menimpa Audrey (14), siswi SMP yang dikeroyok 12 siswa SMA di Pontianak. Kasus ini terjadi berawal dari hubungan asmara salah satu terduga pelaku, dan celoteh di Facebook.
Tagar #JusticeForAudrey menjadi trending Twitter nomer satu di dunia. Petisi di situs change.org dengan judul “KPAI dan KPPAD, Segera berikan Keadilan untuk Audrey #JusticeForAudrey, hingga Rabu (10/2) siang ini telah ditandatangani lebih dari 2 juta kali.
Korban ditendang, dipukul, diseret sampai kepalanya dibenturkan ke aspal. Bahkan kemaluannya ditusuk hingga timbul pembengkakan di area kewanitaan perempuan. Beberapa foto pelaku tersebar di medsos. Ironisnya pelaku tidak ada rasa bersalah. Malah masih eksis di akun pribadinya.
Kejadian ini merupakan preseden buruk bagi wajah pendidikan di Indonesia. Terutama bagaimana pola asuh orang tua dan guru terhadap para pelaku, sehingga pelaku seakan tak punya belas kasih bahkan terhadap sesama perempuan sendiri. Juga bagaimana pengawasan penggunaan gadget serta medsos yang bijak di kalangan remaja.
Korban saat ini mengalami trauma fisik maupun psikologis. Ia juga dirujuk pada Rumah Sakit Mitra Medika untuk menjalani rontgen dan memeriksa tengkorak kepala karena dibenturkan pada aspal dan trauma bagian dada akibat dianiaya.
Kini Audrey tengah menjalani perawatan intensif di rumah sakit akibat luka yang dideritanya. Kasus pengeroyokan siswa SMP itu juga telah ditangani pihak kepolisian setempat dan terus dikembangkan dalam proses penyelidikannya.
Berdasarkan pernyataan pers dari Ketua Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Kalimantan Barat, yang disampaikan Eka Nurhayati Ishak yang dilansir penulis dari voaindonesia.com menjelaskan bahwa kasus hukum ini KPPAD tidak bisa mengintervensi, karena mengingat anak-anak itu masih di bawah umur dan berhak dilindungi. Pernyataan KPPAD tersebut menuai protes di media sosial.
Jika melihat kasus yang menimpa Audrey, saya teringat pada adigium kuno “Homo Homini Lupus”, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Karena kekerasan begitu mudah dijadikan sebagai jalan keluar dari suatu persoalan. Bahkan itu dilakukan oleh dan pada sesama perempuan, yang masih berusia anak-anak.
Bicara dari prinsip kesalingan, menurut penulis, selain harus berpihak pada korban dengan menegakkan hukum dan keadilan bagi para pelaku, peran orang tua, keluarga, sekolah dan lingkungan di mana mereka tinggal juga harus ikut berperan.
Artinya, memberikan perlindungan pada korban, agar terbebas dari ancaman dan rasa trauma yang berkepanjangan. Sedangkan dalam proses pemulihan kondisi korban, harus pula melibatkan tenaga ahli dan pendampingan maksimal, hingga korban benar-benar pulih kembali.
Sementara bagi para pelaku, juga harus memberikan efek jera agar peristiwa yang sama tidak akan terulang kembali. Dan menjadi pembelajaran bagi remaja lainnya. Sanksi sosial mungkin bisa dilakukan oleh lingkungan sekitarnya, terutama terhadap pihak keluarga pelaku yang seolah melindungi, dan membuat mereka merasa kebal hukum.
Otoritas penegak hukum, serta lembaga KPAI dan atau KPPAD, tidak selalu hadir sebagai corong pelindung bagi pelaku, tapi juga rasa keadilan teruntuk korban. Karena pelaku dan korban masih berusia anak-anak. Sehingga diperlukan asas keadilan yang berimbang.
Tinggal bagaimana ke depan melakukan rehabilitasi pada para pelaku, sanksi hukum dan sosial yang pantas diberikan. Selain memenuhi rasa keadilan bagi korban, juga semoga tidak akan ada lagi Audrey-Audrey yang lain di negeri ini. Audrey yang malang, suara yang tak mungkin hilang.[]