Mubadalah.id – Sementara ini, masih banyak umat Islam yang mendahulukan semangat ghazawah (berperang) dalam membangun relasi antar umat berbeda agama. Mereka memulai dengan cara pandang sebagai musuh secara mutlak. Menciptakan ketakutan terhadap keberadaan mereka dari masa lalu hingga sekarang dan akan datang. Lalu membangun ketidakpercayaan dan penuh kekhawatiran, membuat tuduhan yang berlebihan serta stereotip, menimpakan segala keburukan dan kejahatan. Kemudian bersedia—atau beberapa sudah melakukan—kekerasan dengan segala bentuknya.
Semangat relasi seperti ini memang ada landasan teologisnya, ada ayat-ayatnya, ada hadits-haditsnya, dan ada preseden sejarahnya. Baik dari kehidupan Nabi Muhammad Saw., maupun para sahabat nabi. Apalagi generasi berikutnya yang penuh dengan kepentingan politik.
Bahkan, di antara satu umat Islam sendiri, yang merujuk pada satu al-Qur’an dan satu nabi. Sejarah politik umat Islam, selama berabad-abad, baik Dinasti Umaiyah, Abbasiyah, maupun Utsmaniyah. Sarat dengan landasan teologis yang memisahkan dan memecahkan, berperang satu sama lain dengan semangat saling menghancurkan, atau zero sum game.
Namun, semangat ini tidak merepresentasikan secara utuh seluruh ayat-ayat al-Qur’an maupun teks-teks hadits. Ia juga sama sekali tidak sesuai dengan potret yang komprehensif tentang sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw.
Dakwah Nabi Ditopang Non Muslim
Sebagaimana sudah saya gambarkan, dakwah Nabi banyak ditopang oleh individu-individu non-Muslim. Termasuk di masa-masa krusial, mulai dari Pendeta Waraqah bin Naufal, paman Khadijah Ra., dan terutama paman beliau, Abu Thalib. Di mana dalam cara pandang Sunni tidak menjadi Muslim hingga akhir hayatnya. Namun seluruh kekuatan yang ia miliki digunakan untuk menopang dan melindungi dakwah Nabi Muhammad Saw.
Raja Najasyi di Habasyah atau Etiopia yang memberikan suaka penuh dengan dukungan politik, rumah, dan harta bagi lebih dari 70 orang Islam yang tidak sanggup tinggal di Kota Makkah. Beberapa dari mereka tinggal lebih dari 14 tahun. Jauh dari komunitas umat Islam di Madinah, dengan hukum dan aturan Kristen yang berlaku di Etiopia saat itu.
Nabi Muhammad Saw. memuji dan mengapresiasi relasi antar umat berbeda agama ini, yang terbangun atas dasar kepercayaan, kerja sama, dan tolong-menolong. Melalui Raja Kristen ini, Nabi mewakilkan pernikahan beliau dengan Ramlah binti Abu Sufyan Ra. yang menetap di Etiopia dan ditinggal wafat suaminya.
Pada saat Nabi Muhammad Saw. terusir dari Kota Tha’if dan khawatir untuk memasuki Kota Makkah, yang memberikan suaka adalah non-Muslim. Yakni Muth’im bin ‘Adi. Kontribusinya juga Nabi apresiasi, “Andai saja Muth’im masih hidup dan memintaku membebaskan seluruh tawanan Perang Badar, aku akan bebaskan semua untuknya,” demikian sabda nabi.
Konstitusi Madinah adalah preseden kuat tentang kesepakatan Muslim dan non-Muslim. Yakni untuk bekerja sama membangun peradaban bersama untuk nilai-nilai kehidupan, keadilan, dan kemaslahatan.
Pembebasan Kota Makkah
Begitu pun Perjanjian Hudaibiyah antara Nabi Muhammad Saw. dengan kaum Quraisy. Kelompok yang ikut bergabung dalam barisan nabi adalah kabilah-kabilah yang masih belum masuk Islam saat itu, di antaranya kabilah Khuza’ah.
Pembebasan Kota Makkah juga dipicu oleh pembunuhan kejam terhadap koalisi nabi yang non-Muslim, yaitu kabilah Khuza’ah ini. Artinya, nabi bergerak untuk melindungi orang-orang non-Muslim yang terzhalimi, yang masuk dalam koalisi dengan umat Islam.
Belum lagi kisah-kisah individual dalam kehidupan nabi dengan orang-orang non-Muslim di sekitar Madinah. Mereka, satu sama lain, saling berkunjung, menerima dan memberi hadiah, menerima undangan makan, dan relasi sosial sehari-hari yang lain.
Potret utuh sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw. seharusnya bisa merekonstruksi cara pandang kita terhadap seluruh ayat-ayat al-Qur’an dan teks-teks hadits sehingga bisa menggerakkan peradaban Islam yang visinya adalah rahmatan lil ‘alamin (rahmat dan anugerah bagi seluruh kehidupan) dan akhlaqul karimah (relasi sosial yang baik dan untuk kebaikan).
Esensi peradaban Islam yang diwahyukan Allah Swt. kepada nabi adalah untuk membangun kehidupan, bukan kematian (QS. al-Anfaal [8]: 24), untuk mewujudkan kebaikan dan kesejahteraan hidup, bukan sebaliknya (QS. al-Baqarah [2]: 201).
Persaudaraan sebagai Basis Relasi Kerja Sama
Dalam dialog Amr bin Abasah as-Sulami saat belum masuk Islam dengan Nabi Muhammad Saw., ia tegaskan bahwa misi Islam adalah persaudaraan, perlindungan jiwa manusia, perdamaian, dan ketauhidan (Musnad Ahmad, hadits nomor 17290).
Karena itu, syahadat yang kita baca dalam doa nabi setiap selesai shalat adalah tiga kalimat. Yakni syahadat ketauhidan, syahadat kerasulan, dan syahadat persaudaraan antarmanusia (Musnad Ahmad, hadits nomor 19601 dan Sunan Abu Dawud, hadits nomor 1510): “Aku bersaksi bahwa seluruh manusia, hamba-hamba-Mu itu, adalah bersaudara.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Dalam ruang persaudaraan antarmanusia ini, kerja-kerja kerasulan Nabi Muhammad Saw. yang menjadi jantung peradaban keislaman adalah menghadirkan kasih-sayang dalam semua kehidupan (rahmatan lil ‘alamin, QS. al-Anbiyaa’ [21]: 107) dengan mengajak semua orang untuk terus-menerus menyempurnakan akhlak masing-masing (Musnad Ahmad, hadits nomor 9047), terutama dalam relasi sosial antarmanusia.
Untuk tujuan ini, semua relasi antarmanusia, baik secara individu maupun komunitas dan bangsa, akan berawal dari keinginan untuk saling mengenal satu sama lain (QS. Al-Hujuraat [49]: 13).
Dalam keadaan damai, setelah proses saling kenal ini berdampak positif, maka relasi ini, khususnya Muslim non-Muslim, harus memperkuat pondasi untuk saling menghormati keyakinan masing-masing (QS. al-Kaafiruun [109]: 6), tidak boleh ada paksaan untuk masuk atau keluar dari keyakinan dan agama apa pun (QS. al-Baqarah [2]: 256), dan segala bentuk sikap atau perilaku mencaci maki keyakinan orang lain harus dihentikan (QS. al-An’aam [6]: 108).
Penghormatan atas Kebebasan Agama
Bagi umat beragama, soal keyakinan agama ini penting sekali. Karena itu, penghormatan atas kebebasan agama masing-masing orang dan komunitas harus selalu kita jaga dan dilindungi oleh semua orang. Dalam fiqh, kita kenal dengan istilah hifzud din. Atau perlindungan kebebasan beragama, sebagai salah satu pilar tujuan hukum Islam (maqashidusy syari’ah). Pondasi ini menjadi awal bagi semua pihak untuk bisa menjalankan ibadahnya di satu sisi, juga untuk bisa meneruskan kerja-kerja kemanusiaan di ranah sosial di sisi yang lain.
Selama berada dalam ruang persaudaraan dan kerja sama, sekalipun banyak perbedaan, termasuk dalam hal agama dan keyakinan, segala bentuk ketegangan atau bahkan kesalahan-kesalahan harus diupayakan untuk dimaafkan, dengan mencari titik temu dan kesepakatan serta perdamaian (QS. az-Zukhruf [43]: 89 dan QS. al-Jaatsiyah [45]: 14).
Hal yang harus selalu kita upayakan adalah justru berlomba-lomba untuk mewujudkan kebaikan bersama (QS. al-Baqarah [2]: 148), lalu saling menolong dalam hal kebaikan, keadilan, dan kemaslahatan (QS. al-Maa’idah [5]: 2 dan QS. al-Mumtahanah [60]: 8). Jika jiwa-jiwa secara kemanusiaan sudah menyatu, bisa jadi, untuk kasus-kasus tertentu, perlu mendahulukan pihak lain dibandingkan kepentingan kelompok sendiri (QS. al-Hasyr [59]: 9).
Dalam ruang sosial seperti ini, seperti dalam kehidupan berbangsa antarwarga yang berbeda agama di Indonesia. Maka, yang perlu banyak kita kuatkan adalah nilai-nilai mubadalah untuk saling menghormati, saling mencintai, dan saling berbuat baik satu sama lain. Sebagaimana pesan Nabi Muhammad Saw. dalam relasi antartetangga, dan antarmanusia. Selain itu, Imam al-Ghazali juga tegaskan bagi antarpemeluk agama yang berbeda (HR. Ibnu Majah, hadits nomor 4357).
Berperang untuk Membela Diri
Tentu saja, karena ruang relasi sosial tersebut adalah tentang dan antarmanusia yang memiliki nafsu dan kepentingan. Pasti akan ada ketegangan, ketakutan, dan kekhawatiran. Bahkan bisa timbul kekerasan, konflik, dan bisa meletus peperangan.
Karena itu, Islam, melalui ayat-ayat al-Qur’an, juga memberi jalan untuk menyalurkan ketegangan ini. Agar pada akhirnya tetap bisa menjadi pondasi untuk membangun kembali ruang persaudaraan dan kerja sama untuk peradaban kemanusiaan bersama.
Jika ada kebuntuan dalam ruang persaudaraan tersebut, lalu timbul salah paham, kekhawatiran, ketakutan, bahkan keburukan dalam hal relasi yang terus memuncak maka harus kita upayakan terlebih dahulu langkah-langkah diplomasi untuk menyelesaikan masalah secara baik dan bermartabat (QS. an-Nahl [16]: 125).
Masing-masing pihak bisa mengajukan argumentasi dan berdebat secara baik dan bermartabat (QS. al-Ankabuut [29]: 46). Jika terus memburuk, umat Islam sudah bisa memulai untuk melakukan kerja memata-matai lawan (QS. ath-Thuur [52]: 31), mewaspadai dan mempersiapkan diri untuk kemungkinan yang terburuk (QS. an-Nisaa’ [4]: 71 dan QS. al-Anfaal [8]: 60).
Etika dan Moralitas Perang
Jika melihat implementasi ayat-ayat tersebut pada kehidupan Nabi Muhammad Saw., ini terjadi dalam skala komunitas, bukan bersifat individu masing-masing. Karena itu, jika terus memburuk maka perang bisa saja negara umumkan, bukan oleh individu.
Ini pun, kata al-Qur’an, diizinkan jika untuk mempertahankan diri dari kezhaliman yang dilakukan oleh musuh (QS. al-Hajj [22]: 39) untuk membela dan melindungi orang-orang yang lemah secara fisik dan sosial (QS. an-Nisaa’ [4]: 75), dan harus terikat dengan etika secara ketat, seperti melindungi tempat-tempat ibadah (QS. al-Hajj [22]: 40) yang juga ditafsirkan seluruh fasilitas umum dan sumber kehidupan, balasan kekerasan harus sepadan dan terukur (QS. al-Baqarah [2]: 194), dan yang dibunuh hanyalah orang yang benar-benar terlibat perang (QS. al-Baqarah [2]: 190).
Dengan etika dan moralitas perang seperti ini harapannya, begitu perang selesai, seluruh pondasi relasi kemanusiaan bisa dengan mudah kita bangun kembali. Terutama antarberbagai kelompok yang berbeda agama, yakni untuk membangun peradaban kehidupan, kebaikan, kesejahteraan, dan keadilan.
Yaitu peradaban yang berporos pada semangat kasih-sayang bagi semua kehidupan (rahmatan lil ‘alamin). Dan, upaya menyempurnakan akhlak dalam seluruh relasi kemanusiaan (itmam shalihul akhlak). Demikianlah yang Nabi Muhammad Saw. dakwahkan. []