Mubadalah.id – Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Berdasarkan katadata.id (20-02-2022), pada tahun 2020 saja, jumlah penduduk Indonesia tercatat sebanyak 273.523.615 jiwa. Jumlah tersebut terdiri dari berbagai latar belakang; ras, suku dan agama yang diikat oleh suatu semboyan negara ‘Bhineka Tunggal Ika’ yang artinya berbeda-beda tapi tetap satu. Jika melihat konsepsi tersebut, bagaimana peran Islam merawat Bhineka Tunggal Ika?
Dari segi agama, pemerintah setidaknya telah mengakui keberadaan enam agama di Indonesia melalui Pasal 1 Undang-Undang Penetapan Presiden (UU PNPS) No 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang berbunyi: “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius)“.
Selain itu, pemeritah juga mengakui adanya aliran-aliran kepercayaan masyarakat yang menjadi landasan hidup bagi penganutnya. Namun, pangakuan kepercayaan tersebut bukan dalam bentuk agama, melainkan hanya sebagai local wisdom atau cultural haritage. Sehingga, para penganut aliran kepercayaan tententu masih banyak yang mengaku menjadi pengikut atau bagian dari salah satu dari keenam agama resmi tadi.
Umat Islam saat ini memiliki tantangan yang cukup besar. Munculnya stigma negatif terkait ‘radikalisme’ Islam terhadap hadirnya kelompok-kelompok ‘garis keras’ yang mengaku beragama Islam. Selain itu, stigma negatif ‘anti kebhinekaan’ atau ‘anti pancasila’ juga muncul dan menjadi ‘label’ dari beberapa masyarakat.
Stigma negative tersebut diperkuat oleh laporan Setara Institut (2018), bahwa tindakan intoleransi yang dilakukan oleh kelompok atau figur yang mengaku muslim masih marak terjadi. Berkaitan dengan itu, pemerintah kemudian memunculkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 tahun 2017 tentang organisasi masyarakat. Dengan adanya Perppu tersebut, setidaknya beberapa kelompok organisasi masyarakat (ormas) telah dibubarkan karena dianggap anti kebhinekaan dan anti pancasila.
Hal tersebut terlepas dari apakah Perppu tersebut hanya ditujukan untuk kelompok umat Islam saja atau tidak. Namun, kenyataannya, hingga saat ini hanya ormas Islam saja yang dijerat atau terkena imbas dari Perppu tersebut. Dalam hal ini, yang paling penting ialah langkah pemerintah dalam upaya menjaga ideologi dan keutuhan bangsa memang harus dilakukan.
Dalam tulisan pendek ini, penulis bermaksud mencari dan mengkaji kembali mengenai hubungan antara Islam dan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Bagaimana peran Islam merawat Bhineka Tunggal Ika? Hal ini diharapkan dapat menjawab terkait pertanyan apakah Islam bertentangan dengan ideologi Pancasila dan kebhinekaan di Indonesia, yang hari ini ‘label’ anti pancasila atau anti kebhinekaan sering ditujukan kepada umat Islam.
Beberapa Dalil Tentang Kebhinekaan
Terdapat beberapa dalil yang berbicara dan membahas mengenai kebhinekaan, di antaranya ialah QS. Al-Hujurāt ayat 13 yang artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu”.
Kebhinekaan juga merupakan sunnatullah sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Maidah ayat 48 yang artinya:
“Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan”.
Kebhinekaan dalam Islam bukan hanya terkait suku dan bangsa, namun juga menyangkut keberagaman agama. Sebagaimana dijelaskan dalam QS. Yunus ayat 99 yang artinya:
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?”.
Selain itu, Pemaksaan keimanan tidak diperbolehkan dalam Islam sebagaimana jelas tertulis di QS. Al-baqarah Ayat 256 yang menyatakan lā iqrāha fi-ddīn. Dalam kitab Asbābu Nuzūl karangan Al-Wahidi, menjelaskan bahwa ayat ini turun karena datang seorang muslim Anshar yang memiliki dua anak laki-laki dan keduanya memilih beragama Nasrani. Muslim Anshar tersebut lalu datang kepada Rasulullah SWA dan bertanya terkait masalahnya. Lalu turunlah ayat ini sehingga muslim Anshar tersebut melepaskan kedua anaknya.
Dalam Islam, hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah SWT penguasa semesta alam. Namun bukan berarti Islam memperbolehkan untuk mengina atau melecehkan Tuhan dari agama lain. Hal dijelaskan dalam QS. Al-An’am ayat 108 yang artinya:
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka …”.
Peran Islam Merawat Bhineka Tunggal Ika
‘Bhinneka Tunggal Ika’ merupakan motto resmi negara Republik Indonesia. Motto tersebut muncul dalam sebuah lambang Garuda Pancasila pada suatu gulungan yang dicengkeram kuat kaki Garuda. Secara eksplisit, motto tersebut muncul pada pasal 36A Undang-Undang Dasar (UUD) yang berbunyi: “Lambang nasional negara Republik Indonesia adalah Garuda Pancasila dengan motto Bhinneka Tunggal Ika”.
Belakangan ini banyak kasus radikalisme oleh kelompok masyarakat dengan latar belakang agama dengan perilaku intoleran terhada perbedaan dan kebhinekaan. Tindakan-tindakan kelompok tersebut cenderung ekstrim dalam menanggapi masalah dan menjadikan kekerasan sebagai suatu penyelesaian.
Tindakan kekerasan oleh kelompok radikalis tersebut dengan memaksakan pemahaman dan menganggap bahwa pemahaman mereka adalah yang paling benar dan mutlak (baik yang mengatasnamakan ‘Islam’ atau tidak), merupakan suatu ‘penyakit kebhinekaan’ yang harus disembuhkan atau bahkan dibumihanguskan.
Dalam Islam, sebagaimana dijelaskan di atas, keberagaman dan perbedaan merupakan sebuah fitrah manusia. Memaksakan sebuah perbedaan sama saja melanggar fitrah tersebut, apalagi dengan melakukan kekerasan. Maka penting bagaimana peran Islam merawat Bhineka Tunggal Ika.
Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) dalam bukunya yang berjudul: “Islamku Islam Anda Islam Kita” (2006), bahwa Islam diturunkan sebagai agama yang bertujuan mewujudkan keselamatan dan perdamaian. Dengan begitu, segala bentuk tindak kekerasan, anarkisme, terorisme, dan ketidak setujuan terhadap perbedaan merupakan perilaku yang bertentangan dengan visi dan misi serta karakteristik agama Islam.
Prinsip-prinsip mengenai hak, kebebasan, dan menghormati perbedaan telah lama dipraktikan Islam dari sejak zaman Rasulullah SAW. Prinsip-prinsip tersebut dapat dilihat dalam isi piagam Madinah yang merupakan konstitusi tertulis pertama di dunia dengan membuat dasar-dasar Hak Asasi Manusia (HAM).
Seperti dalam pembukaannya yang berbunyi:
“Ini adalah piagam dari Muhammad S.A.W diantara kaum mu’minin dan muslimin dari Quraisy dan Yatsrib, dan orang-orang yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka”.
Dalam konteks ‘Bhinneka Tunggal Ika’, khususnya dalam keberagaman agama di Indonesia, terbentuknya Pancasila merupakan perwujudan dari keinginan untuk mengembangkan kalîmatun sawâ dalam Islam, yaitu pengambilan kebijakan yang bersifat win win solution sebagai jembatan perbedaan pendapat dalam pembentukan Pancasila.
Penerimaan Pancasila tersebut menunjukan bahwa para pemimpin Islam di Indonesia sangat mengutamakan kerukunan serta integritas nasional daripada hanya memikirkan kepentingan kelompok.
Selain itu, Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin telah mengajarkan cara dalam menyikapi perbedaan, menciptakan kedamaian, persaudaraan, serta kemanusiaan yang mendalam. Di sini nampak bagaimana peran Islam merawat Bhineka Tunggal Ika.
Label negatif terkait agama Islam adalah agama yang anti pancasila atau anti kebhinekaan merupakan label yang salah kaprah. Karena sebaliknya, Islam sendiri telah mengajarkan terkait bagaimana menghargai dan menghormati keberagaman, bahkan melarang keras adanya pemaksaan pemahaman dan keyakinan, apalagi dengan cara-cara kekerasan. []