Mubadalah.id – Belakangan berita terkait kabar pandemi semakin mencekam. Jumlah pasien covid meningkat. Kabar duka kian tersebar dimana-mana, seolah saling bersautan dari daerah ke daerah. Covid tidak lagi milik kota-kota besar, tapi sudah masuk desa.
Walaupun covid ini kian menyebar tidak karuan, tapi bagi sebagian masyarakat, covid hanya bualan. Angka kematian, konfirmasi positif covid dan kesembuhan pasien bagi sebagian orang hanya rekayasa belaka. Tidak peduli apa yang diberitakan, bagi sebagian orang, angka-angka tersebut dianggap “dicovidkan.”
Ya, istilah dicovidkan ini belakangan kian santer terdengar. Istilah ini biasanya digunakan ketika seseorang enggan menerima kenyataan bahwa dirinya atau orang di sekitarnya terindikasi terpapar covid. Hal ini kemudian menimbulkan sikap masyarakat yang enggan memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan tiap kali jatuh sakit. Bukan tidak mampu membayar, tapi lagi-lagi takut dicovidkan.
Istilah dicovidkan ini muncul sejalan dengan beredarnya berita adanya oknum RS (Rumah Sakit) yang memanfaatkan situasi pandemi untuk mencari keuntungan. Dari sini kemudian timbul rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap tenaga medis, RS khususnya.
Istilah dicovidkan ini juga muncul akibat minimnya pengetahuan masyarakat tentang status pasien kasus suspect, probable, kontak erat dan terkonfirmasi positif. Istilah ini memang pengganti dari istilah ODP, PDP, OTG dan kasus terkonfirmasi yang pada awal pandemi digunakan oleh pemerintah. Istilah ini bisa dilihat di halaman website www.sehatnegeriku.kemkes.go.id . Istilah yang kerap berganti-ganti tanpa sosialisasi yang baik ke masyarakat.
Di sisi lain, tingkat literasi orang Indonesia dianggap masih rendah. Menurut UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya, dari setiap 1.000 orang di Indonesia, hanya satu orang yang rajin membaca. Jadi, berhubungan dengan informasi berkualitas terkait pandemi pun masyarakat sepertinya masih minim. Apalagi banyak istilah-istilah yang sulit difahami bagi orang awam. Sebagian masyarakat lebih mudah menerima informasi yang bertebaran lewat WA grup.
Apapun istilah yang ditetapkan, bagi sebagian orang menganggap apapun sakitnya pasti nanti dicovidkan. Ada sebuah meme, seorang datang ke dokter dengan keluhan pegal-pegal, lalu tiba-tiba dokter mengatakan bahwa sakitnya tersebut merupakan covid. Sebagian warganet seraya mengamini pesan meme tersebut dan berkomentar “kopat kopit, sakit linu dibilang kopit, apa-apa dibilang kopit.”
Sekilas, istilah dicovidkan ini tampak hanya sebuah kata sederhana saja. Tapi, ada fenomena menyedihkan dibalik istilah dicovidkan. Salah satu kisah sedih disampaikan salah satu pengguna twitter @HelmiIndraRP. Dalam utas twitternya, diceritakan bahwa sang ayah gagal melawan covid karena mempercayai berita hoax yang beredar di media sosial, khususnya di WAG (Whattasapp Group).
Ketika sang ayah jatuh sakit, ia enggan minum obat dan dibawa ke rumah sakit karena takut dicovidkan. Kabar dicovidkan tersebut didapatkan sang ayah melalui berita atau artikel hoax di WA. Walhasil, ketika kondisinya sudah sangat lemah, sang ayah baru dibawa ke rumah sakit dan sudah tidak dapat diselamatkan lagi karena sudah terlambat penanganannya.
Kisah di atas hanya sekelumit kisah salah satu warga negara Indonesia yang termakan hoax dan istilah dicovidkan. Belakangan, di desa tempat saya tinggal, trend orang sakit dirawat di rumah juga sempat ramai. Entah karena enggan dibawa ke fasilitas kesehatan atau memang akibat rumah sakit sedang over capacity, jadi banyak tetangga yang sakit diinfus di rumah. Beberapa ada yang bertahan, beberapa yang lain ada yang meninggal.
Tidak ada yang tahu penyebab meninggalnya karena apa. Beberapa di antaranya bahkan ada yang sampai butuh dipasang oksigen. Ada orang yang datang ke rumah saudara saya untuk meminjam tabung oksigen bekas almarhumah bude saya dulu waktu sakit jantung. Sepertinya kebutuhan tabung oksigen semakin tinggi.
Belakangan, salah satu tetangga saya sempat berobat ke dokter. Dokter tersebut juga sempat mengatakan ke tetangga saya bahwa belakangan banyak pasien yang datang dengan keluhan batuk dan sesak nafas. Sejalan dengan cerita dari dokter tersebut, entah sebuah kebetulan atau bukan, di desa tempat saya tinggal banyak orang meninggal dunia, di antaranya menurut kabar tetangga mengeluh sakit batuk dan sesak nafas.
Semuanya tidak diketahui dengan pasti penyebabnya. Entah karena covid atau bukan, kecurigaan mulai muncul di masyarakat. Sebelumnya suami saya dan ibu saya pun terpapar covid, jauh sebelum jumlah kematian di desa kami meningkat. Itu artinya, covid memang sudah sejak lama mengincar desa kami.
Memang istilah dicovidkan juga santer terdengar di lingkungan saya tinggal. Beberapa di antaranya, ada orang-orang yang sejak awal percaya bahwa pandemi covid ini merupakan konspirasi. Jadi, apapun yang terjadi di desa ini, ia tidak percaya akan adanya covid.
Beberapa orang pun sakit tapi enggan pergi ke fasilitas kesehatan. Biasanya mereka yang sakit memilih datang ke pengobatan alternatif yang memiliki klaim menyembuhkan segala macam penyakit dengan metode pengobatan tradisional. Bahkan beberapa di antaranya ada yang mengalami gejala persis gejala covid, tapi enggan melapor. Semua disebabkan karena takut dicovidkan.
Istilah dicovidkan ini sangat berbahaya jika terus-menerus dipercaya. Kita tahu memang pernah ada oknum rumah sakit yang nakal, tapi tidak berarti semua rumah sakit melakukan kecurangan tersebut. Hal yang perlu kita fahami, ketika kita atau saudara sakit, yang perlu dilakukan adalah mengobati sakit tersebut. Ketika pengobatan tidak berhasil, maka ada baiknya memeriksakan ke dokter untuk konsultasi.
Kita tidak mampu melakukan pengobatan sendiri jika kita bukan seorang ahli. Menangani orang sakit juga butuh pengetahuan, bukan tindakan asal-asalan. Tenaga medis sangat dibutuhkan dalam proses pengobatan tersebut. Hal pertama yang harus dilakukan ketika ada keluarga yang sakit, yakni mengobatinya, bukan membiarkannya sekarat hanya karena takut dicovidkan dan sebagainya.
Jika memang hasil pemeriksaan menunjukkan positif covid, hal pertama yang perlu dilakukan adalah bersikap tenang. Mintalah penjelasan kepada dokter kenapa bisa terjadi, apa penyebabnya dan bagaimana penanganannya. Sampaikan segala kekhawatiran dan tanyakan segala hal yang masih membingungkan. Hal ini perlu dilakukan agar orang yang sakit mendapat penanganan sesuai serta kesempatan hidup lebih panjang.
Terlepas dari adanya oknum nakal, tetap tidak bisa dipungkiri bahwa covid ini memang ada. Terlepas dari konspirasi yang beredar, tidak meniadakan keberadaan covid di muka bumi ini. Beragam penyakit dan virus bisa menyerang siapa saja, tapi kita masih bisa menyelamatkan nyawa kita dan orang-orang di sekitar kita dengan berpikir jernih dan bersikap hati-hati dalam bertindak.
Memang maut adalah suratan takdir. Namun, selagi kita bernafas, kita masih punya hak untuk terus berikhtiar. Ikhtiar ini merupakan salah satu ajaran Islam, sebagaimana Allah berfirman dalam surat Ar-Ra’d ayat 11 yang berbunyi “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”
Pemerintah mulai dari tingkat desa hingga pusat bertanggung jawab melindungi warganya. Memberi edukasi dan memfasilitasi kebutuhan kesehatan serta kesejahteraan warga untuk saling bersinergi dalam melawan pandemi. Pihak rumah sakit juga harus bisa meyakinkan keluarga pasien bahwa akan memberikan pelayanan yang baik dan transparan.
Sebagai penutup, “Benar secara logika belum tentu benar secara fakta,” kata Cania Citta Irlanie. Apa yang kita percaya belum tentu demikian adanya, butuh pembuktian yang teruji kebenarannya. []