Dulu saya pernah KKN di Desa Cipaku, tepatnya di Kampung Pabeyan yang kontras dengan catatan hitam masalah kekerasan terhadap perempuan. Banyak perempuan yang tercatat sebagai korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), pernikahan dini dan kekerasan seksual, serta ditelantarkan secara ekonomi.
Menurut salah satu warga di desa tersebut, perempuan yang menjadi korban tidak pernah mendapat keadilan, semuanya diselesaikan secara kekeluargaan yang sepihak dan justru merugikan bagi perempuan. Orang-orang di desa pun apatis dengan hal tersebut, karena takut dianggap ikut campur dengan urusan orang lain.
Perempuan yang menjadi korban pun cuma bisa diam dan menuruti apa yang diperintahkan suaminya dalam kasus KDRT. Selain itu, perempuan yang menjalani pernikahan dini dengan terpaksa hanya menuruti perintah orang tuanya dengan alasan beban ekonomi. Begitulah keadaan desa tersebut pada masa sebelum tahun 2006.
Pada tahun 2006 ada tiga orang mahasiswa yang berkunjung ke Kampung Pabeyan, salah satunya Sri Mulyati yang melakukan penelitian tentang isu-isu perempuan di kampung tersebut. Dari hasil penelitiannya, Sri menemukan fakta bahwa di Pabeyan menyimpan banyak kasus KDRT yang tersembunyi rapat dan diabaikan.
Berdasarkan hasil penelitiannya, tindak lanjut Sri ialah mengajak teman-temannya melakukan sosialisasi dan pelatihan pendidikan adil gender dengan meminjam madrasah yang biasa digunakan untuk PAUD. Kegiatan sosialisasi ini awalnya mendapat kesan ketidakterpercayaan dan kecurigaan masyarakat, bahkan ditengarai sebagai pengajaran aliran sesat, komunis, dan lain-lain.
Kejadian tersebut membuat Sri dan teman-temannya lebih semangat dalam mensosialisasikan isu-isu perempuan melalui pertemuan masyarakat dan pengajian yang dipimpin Ibu Hojanah. Dengan pendekatan dan komunikasi yang intensif, kecurigaan tersebut perlahan hilang, bahkan untuk pertama kalinya ia bisa mengumpulkan tokoh masyarakat dan tokoh agama di ruangan yang lebih luas, tidak lagi di rumah kontrakan yang sempit.
Setahun kemudian, pada 25 Juni 2007, Sri dan teman-temannya mengadakan pertemuan yang dihadiri berbagai elemen masyarakat untuk menginformasikan bahwa mereka mendirikan Sapa Institut. Sapa mulai mengorganisir perempuan yang tidak bisa baca tulis untuk mengikuti program Keaksaraan Fungsional dengan pengajaran nilai-nilai adil gender.
Kegiatan selanjutnya, Sapa mendata ibu-ibu dan mengadakan pelatihan tentang adil gender dan kesehatan reproduksi selama dua hari satu malam. Sebagai tindak lanjutnya, dibentuklah komunitas Bale Istri pada akhir 2007 dengan tujuan untuk melayani dan memberi dukungan terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan di kampung tersebut.
Nama Bale Istri sendiri jika diterjemahkan bebas dari bahasa Sunda artinya ‘tempat berteduh bagi perempuan’. Sejak berdirinya Bale Istri, anggotanya mulai mengagendakan kegiatan dan pertemuan rutin serta membuka pusat layanan berbasis komunitas. Mereka berdiskusi dan mendata secara sederhana berbagai permasalahan perempuan di desanya. Hal ini karena tak sedikit anggota komunitas yang menjadi korban KDRT.
Di Bale, para anggota komunitas membuka ruang curhat dan diskusi. Mereka berbicara dan saling mendengar, hingga akhirnya kisah salah seorang perempuan korban KDRT yang meninggal pada usia 29 tahun terungkap. Perempuan itu ditendang suami hingga tulang punggungnya patah dan menjadi bongkok. Perempuan itu menikah di bawah usia 17 tahun dan meninggal dalam proses persalinan bersama anak yang dilahirkannya.
Mendengar kisah ini, para anggota komunitas menjadi sadar bahwa saat mendengar cerita istri yang dipukuli, ditampar, disiksa, diperkosa di bawah ancaman benda tajam, ditelantarkan tanpa status yang jelas, serta dijadikan penjaja seks komersial oleh suami harus dberikan pertolongan.
Melalui pembelajaran yang diberikan Sri dan teman-temannya, membuat anggota komunitas mulai paham bahwa kasus KDRT tidak hanya kekerasan fisik seperti memukul dan menampar yang selama ini mereka tahu, tapi juga kekerasan psikis, seksual, dan penelantaran ekonomi.
Dari pemahaman tersebut, akhirnya beberapa anggota mulai terbuka memberikan informasi dan mulai bebas mengutarakan tanpa beban kasus-kasus KDRT yang selama ini dianggap aib, baik yang telah terjadi pada diri, keluarga, dan tetangganya.
Kemudian anggota komunitas yang ditugaskan sebagai pendamping saat itu belajar melakukan semacam investigasi. Upaya tersebut dilakukan dengan menggali informasi kasus langsung kepada penerima layanan atau korban, menanyakan kepada masyarakat setempat serta bertanya kepada keluarga korban.
Jika ada korban KDRT dalam keadaan darurat dan membutuhkan penanganan medis, anggota komunitas membawanya ke layanan kesehatan untuk langsung ditangani. Untuk korban yang membutuhkan keamanan akan segera dibawa ke rumah aman sementara di rumah saudaranya atau rumah pendamping.
Para pendamping kemudian melakukan diskusi dan analisis kasus untuk mendapatkan solusi pelayanan yang dibutuhkan korban. Menggali lebih objektif dan menindak lanjuti kasus itu menurut mereka tidaklah mudah. Mayoritas masyarakat di sana mengganggap KDRT sebagai urusan rumah tangga masing-masing, sehingga masyarakat tertutup dan melarang ikut campur.
Benturan dengan keluarga korban pun menajdi hambatan serius dalam penanganan kasus. Selain itu, terkadang para korban pun menutup diri dan tidak menerima kehadiran orang lain, sekalipun itu akan membantu masalah yang dialaminya.
Meskipun demikian, tindak lanjut dan penanganan setiap kasus KDRT tetap dilakukan secara bertahap dengan berbagai upaya. Ada yang diselesaikan secara kekeluargaan, cukup mediasi oleh pendamping saja, serta dilakukan pendampingan konseling dan mediasi di tingkat keluarga. Jika tidak bisa ditangani di tingkat pendamping Bale Istri, maka dibutuhkan kerja sama dengan pihak Sapa dan aparat setempat serta lembaga lain yang melakukan penanganan kasus.
Hadirnya komunitas Bale Istri yang peduli pada kasus-kasus perempuan membuat setiap informasi kasus kekerasan terhadap perempuan kini menjadi masalah yang harus diungkap dan ditangani, termasuk kasus kekerasan seksual.
Sebelum berdirinya Bale Istri, kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di wilayah desa itu tidak tercatat, tidak terlaporkan, apalagi sampai diproses ke pengadilan. Korban dan keluarga bingung, takut, dan tidak paham bagaimana mengurus ke polisi karena ancaman keluarga pelaku dan tidak adanya pendampingan.
Dalam menghadapi kondisi demikian, Bale Istri gencar melakukan sosialisasi kenali dan tangani kekerasan seksual melalui berbagai media. Sosialisasi ini dilakukan agar masyarakat mengenali dan peduli untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang terjadi di sekitarnya, baik ke polisi atau ke Bale Istri dan Sapa Institut.
Ada salah seorang korban kekerasan seksual berusia 13 tahun yang berhasil didampingi oleh Bale Istri. Anak yang masih sekolah di bangku SMP ini adalah korban pemerkosaan oleh ayah tirinya hingga hamil. Menindaklanjuti laporan dari tetangganya, pendamping kasus dari Bale Istri menemui dan mendampingi korban, kemudian berkoordinasi dengan aparat RW setempat untuk menjerat pelaku.
Bale Istri menemani dan mendampingi korban sampai proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Kemudian korban dibawa ke rumah aman dan mendapatkan pendampingan psikologis untuk memulihkan traumanya. Hal yang demikian ini bukan upaya mudah untuk merangkul korban kekerasan, serta perlahan mengajak mereka pada proses pemulihan dan survive menjadi bagian dari komunitas. Para pendamping secara konsisten menemani dan mendampingi korban untuk merajut harapan baru di kehidupannya.
Korban yang dianggap sudah selesai dalam penanganannya diajak kembali percaya diri, dihargai, dan dilibatkan pada setiap aktivitas komunitas, baik di pertemuan rutin, kegiatan olahraga, program pemberdayaan ekonomi sampai terlibat dalam pendampingan kasus.
Inilah pemandangan yang saya lihat dan rasakan ketika melaksanakan KKN di Desa Cipaku, khususnya Kampung Pabeyan. Semangat Sri Mulyati dalam memberikan pemahaman adil gender berhasil membuat warga di sana sadar akan pentingnya hal tersebut, bahkan kehadiran Bale Istri mampu menekan kasus-kasus kekerasan di sana.
Perempuan yang menjadi korban pun tidak mendapat sanksi sosial, baik berupa pengucilan atau tindakan lainnya. Mereka justru dirangkul dan didukung oleh sesama perempuan, yang artinya para korban tidak sendirian lagi, karena ada Bale Istri sebagai tempat bernaung dan berbagi.
Bagi saya, Bale Istri adalah bentuk nyata perempuan berdaya. Mereka mau belajar menulis dan membaca untuk menumbuhkan rasa empati dan peduli terhadap perempuan lain. Di bale ini, anggota komunitasnya adalah ibu-ibu rumah tangga yang hampir semuanya tamatan SD yang sebelumnya tidak bisa membaca dan menulis. Dengan melakukan refleksi dari Bale Istri, saya mengharapkan semua perempuan dapat memberikan dukungan pada sesama perempuan agar menjadi manusia berdaya dalam hal apapun.