Mubadalah.id – Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadits, Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menjelaskan bahwa, jika kita kembalikan kepada fikih, batas minimal usia menikah sesungguhnya merupakan hal yang bersifat ijtihadi.
Pemerintah (ulil amri) menurut Nyai Badriyah, bisa membuat batasan demi kemaslahatan umum.
Dalam istilah fikih, kata Nyai Badriyah, hal demikian biasa disebut tahdidul mubah atau pembatasan sesuatu yang diperbolehkan.
Nyai Badriyah mencontohkan, poligami misalnya. Poligami secara jelas agama telah membatasi secara ketat, demi keadilan.
Izin istri menjadi syarat poligami untuk meminimalisasi akibat buruk kepada istri, anak, dan rumah tangga yang sama-sama telah membinanya.
Pembatasan usia menikah dapat menempuhnya dari berbagai negara muslim demi kemaslahatan sesuai dengan perkembangan zaman.
Dengan demikian, usia minimal menikah perempuan 19 tahun yang ada dalam UU Perkawinan Tahun 2019 menjadi pertimbangan untuk kemaslahatan.
Kawin anak dengan segenap sebab dan dampaknya, Nyai Badriyah menyampaikan, adalah bagian dari masalah sosial yang mesti menyelesaikannya secara bahu-membahu.
Pemerintah membuat dan menegakkan aturan, memberikan edukasi, serta membuat fasilitas dan kegiatan yang membuat anak selamat dari kawin di usia anak.
Masyarakat, keluarga, dan orang tua memahami sebab dan dampak kawin anak sehingga menjaga dan mengedukasi anaknya agar tidak kawin di usia anak, apalagi mengawinkan anak di usianya yang masih anak. (Rul)