• Login
  • Register
Minggu, 1 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Belajar Interkoneksi Lewat Film Dokumenter “Connected: The Hidden Science of Everything” (2020)

Mengikuti tayangan film dokumenter Connected, kita akan mengembarai beragam tempat, tokoh/pakar, waktu dan suasana

M. Naufal Waliyuddin M. Naufal Waliyuddin
12/05/2023
in Film
0
Film Dokumenter

Film Dokumenter

760
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pernahkah kita terbesit secara sadar kalau udara yang kita hirup, air yang kita minum, makanan yang kita telan itu berasal dari belahan dunia yang sama sekali berbeda? Bahwa di mangkok soto yang kamu konsumsi pada suatu momen itu mengandung keringat petani yang memanen kol dan padi, juga jasa cacing, tanah, buruh pabrik mie, matahari, dan wujud-wujud lain yang jauh dari ranjang kita.

Adegan semacam itu adalah tamsil atas apa yang saya serap dari film dokumenter series Netflix berjudul “Connected: The Hidden Science of Everything” (2020). Sebuah karya audio-visual enam episode besutan Latif Nasser, seorang jurnalis sains yang juga mendapat PhD dalam departemen History of Science di Harvard University. Mungkin latar keilmuan pria yang menulis disertasi tentang Wabah Tawa Tanganyika Afrika itu turut berkontribusi pada corak dokumenter yang tarik-ulur dari jejak historis, riset saintifik dan konteks masa kini.

Serasa Bertualang

Mengikuti tayangan film dokumenter Connected, kita akan mengembarai beragam tempat, tokoh/pakar, waktu dan suasana. Diiringi ‘mantra’ di setiap pembuka episode: “Saya Latif Nasser, dan ini acara tentang hubungan menakjubkan di sekitar kita. Hubungan antara Anda, saya, dan dunia kita…yang akan membuat Anda melihat dunia dengan cara yang sama sekali baru.”

Setiap ganti pembahasan, penonton dapat terkesiap lewat hal-hal kecil. Bisa lewat tinja (bab Poop), kita bisa tau kondisi penduduk satu kota tertentu, beserta pola hidupnya, apa yang mereka konsumsi, kesehatannya, situasi mentalnya. Juga tidak ketinggalan update terbaru, teknologi pengenalan muka terhadap binatang pun disuguhkan.

Mengurutkan penelitian termutakhir tentang mikroekspresi babi, kesejahteraan psikologis mereka, sampai mengaitkannya ke dokumen CIA lawas tentang proyek pengenalan wajah orang yang belakangan ini semakin terbantu dengan adanya Artificial Intelligence (AI).

Baca Juga:

Peran Negara Dalam Pelestarian Lingkungan Hidup

Jangan Rusak Lingkungan!

Pesan Al-Qur’an: Jangan Merusak Lingkungan

Perempuan dan Anak, Paling terdampak Krisis Air Bersih

Belum termasuk burung mungil yang mendeteksi badai lebih akurat melampaui BMKG. Awan hingga hujan buatan, sampai persoalan nuklir dan hukum Benford yang memetakan pola angka dalam setiap benda dan peristiwa. Namun, melebihi semua itu, saya terisap oleh satu momentum puitik, yakni tentang debu.

Benda Kecil, Dampak Besar

Masuk pertengahan film dokumenter, Latif Nasser mengajak penonton menuju tempat paling berdebu di dunia. Narasi awal: “Ini adalah kisah tentang planet kita yang dinamis dan labil, di mana benda terkecil dapat membuat perubahan yag besar.” Lokasinya di Chad, Afrika. Sang pembawa acara bersama Dr. Moussa Abderamane, seorang geolog, menyetir selama 4 hari ke gurun Sahara untuk mencari ikan.

Ke padang pasir mencari ikan? Iya, anda tidak salah baca. Ribuan tahun lewat, tempat yang kini menjadi gurun gersang itu mulanya adalah danau raksasa: Lake Mega-Chad. Danau ini dahulu seluas Jerman modern, dan kedalamannya setinggi monumen Washington. Dahulu kala ia terpenuhi ikan dan kehidupan.

Ketemulah mereka berdua dengan fosil ikan. Termasuk renik-renik hewan mati, alga, hingga kerangka individu uniseluler lain yang berwujud diatom hingga jadi debu. Di titik ini, fakta-fakta lanjutan sukses membesarkan pupil mata saya. Bahwa remahan fosil dan renik alga mati itu menjadi debu dan lekas diterbangkan badai topan hingga ke atmosfer. Jumlahnya tidak main-main. Sekitar 50 juta gajah setiap tahunnya. Alias 150 juta ton/tahun!

Dari pengamatan satelit Calipso milik NASA, debu yang kawin-mawin dengan hurricane itu seolah katastrofi, seperti bencana. Namun pada kenyataannya ia menjadi berkah untuk samudra Atlantik. Debu itu kaya nutrien. Karena di tengah samudera penghuninya butuh makanan dan di sana mencari makanan tidak semudah di habitat karang-karang tepi laut. Di sinilah fitoplankton memanfaatkan debu tersebut.

Takjubnya, fitoplankton ini berfotosintesis—menyerap sinar matahari, mengeluarkan zat yang membuat kita semua hidup: oksigen. Fakta baru lagi: hampir separuh oksigen di planet ini berasal dari samudera. Itu berarti sebagian ketersediaan oksigen yang kita hirup tak lain adalah berkat debu gurun Sahara.

Interkoneksi: Ada Nyawa Sahara di Setiap Pohon Hutan Amazon

Belum stop di situ, usai debu terbang di angkasa, menghujani samudera Atlantik dan terpantau satelit, sisa dari pleton itu mendarat di hutan Amazon. Sebuah wilayah yang masyhur dengan keanekaragaman hayati. Pasukan debu itu mendarat di tempat yang berbeda total dari tempat asalnya. Puluhan ribu kilometer.

Ada sejumlah 27 juta ton debu turun pertahunnya di sini. Itu setara dengan 2 x (Gedung Sydney Opera House + Piramida Giza + Bendungan Hoover + Stadion Nasional Beijing + Burj Khalifa). Jumlahkan gedung-gedung itu lalu gandakan. Debu telah berperan sebagai nutrisi bagi ekosistem penghuni Amazon.

Terlebih hutan Amazon punya rahasia kotor: tanahnya sangat tidak subur. Curah hujan tinggi menyapu nutrisi penting seperti fosfor yang diperlukan tanah. Tebak apa yang bisa menyediakan fosfor baru? Bangkai penghuni Danau Mega-Chad yang sudah mati. Dengan kata lain, setiap pohon di Amazon telah bercumbu dengan debu gurun Sahara.  Debu-debu yang telah berpetualang jauh, menempuhperjalanan panjang, asyik menari-nari di langit, di atas kepala kita.

Dr. Moussa tersenyum takzim di tengah gurun sembari jongkok memegangi debu fosil: “Ikan dan alga yang mati ribuan tahun lalu telah menyuburkan Hutan Amazon. Mereka tidak mati sia-sia.” Mereka menempuh suluk lintas benua dan samudera, menyuburkan organisme lain dengan kematiannya. Bagi saya, inilah momentum puitik. Sepercik contoh konkret dari kebangkitan: dari yang hidup menuju mati menuju hidup kembali.

Latif pun memungkasi babak dengan kalimat: “Di manapun anda menghirup nafas, anda menghirup udara dari tempat lain yang jauh berbeda. Baik atau buruk, kita semua saling terhubung.” Ini selanggam-makna dengan ungkapan Rumi: “Do not feel lonely, the entire universe is inside you.”

Kacamata Penikmat

Meski ada secuil review di IMDb yang menyebut host film dokumenter series ini sebagai orang kekanak-kanakan, over dan annoying, tapi bagi saya tidak. Ini memang terasa seperti video doku-podcast. Mungkin tidak se-epik serial documenter alam yang dibawakan oleh David Attenborough secara magis. Atau kualitas gambar dengan footage-footage karya Tim Laman yang lama di Natgeo dan jam terbang tinggi dalam jurnalisme alam liar.

Namun konten film dokumenter Connected telah lulus menyerap saya, memukaukan mata kanak-kanak saya. Wasilah doku-series ini, yang saya tonton dua tahun lalu saat pandemi, saya terpicu untuk menulis di Twitter saat itu. Agaknya ini relevan mengingat sebentar lagi Hari Buruh.

“Dalam sehelai benang di baju yang kau kenakan sekarang, ada jejak ratusan keringat manusia: buruh, pemanen kapas, petani, peternak, sopir, pedagang, admin, sales, bakul nasi yang rutin diutangi, dst. Bagaimana bisa kau begitu congkak dan merasa sangat mandiri?” (Twitt Madno, 2021)

Bagi anda yang religius atau spiritualis, doku-series ini sangat ampuh menambah nutrisi batin dan mempermesra hubungan anda dengan Tuhan. Sedang untuk anda yang agnostik atau bahkan atheis, kekaguman anda pada semesta ini akan tambah membuncah dan memantik rasa penasaran yang lebih subtil, hingga membekas.

Seakan memberi isyarat secara halus, betapa kita bisa belajar dari alam—yang sudah jelas lebih tua dari kita. Ia menyimpan memori raksasa tentang sejarah kehidupan ini. Ia merekam munculnya kehidupan sekaligus kematian, kebangkitan-kehancuran, keputusasaan, cinta, perang, dan dendam, hingga kepunahan dan seminya berjuta kehidupan baru. []

Tags: film dokumenterFilm NetflixHutan Amazonkelestarian alamLingkunganResensi Film
M. Naufal Waliyuddin

M. Naufal Waliyuddin

Redaktur metafor.id. Peneliti swadaya seputar generasi muda dan sosial keagamaan. Alumni Tasawuf Psikoterapi dan Interdisciplinary Islamic Studies. Pegiat literasi dan seni yang kerap menulis dengan nama pena Madno Wanakuncoro.

Terkait Posts

Film Cocote Tonggo

Pengalaman Kemanusiaan Perempuan dalam Film Cocote Tonggo

31 Mei 2025
Film Cocote Tonggo

Budaya Gosip dan Stigma atas Perempuan dalam Film Cocote Tonggo (2025)

28 Mei 2025
Self Awareness

Self Awareness Ala Oh Yi Young di Resident Playbook

24 Mei 2025
Pengepungan di Bukit Duri

Film Pengepungan di Bukit Duri : Kekerasan yang Diwariskan

21 Mei 2025
Film Pendek Memanusiakan Difabel

Film Pendek Memanusiakan Difabel: Sudahkah Inklusif?

7 Mei 2025
Film Aku Jati Aku Asperger

Komunikasi Empati dalam Film Aku Jati Aku Asperger

5 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Jilbab

    Ketika Jilbab Menjadi Alat Politik dan Ukuran Kesalehan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tren Mode Rambut Sukainah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bagaimana Hukum Dokter Laki-laki Memasangkan Kontrasepsi IUD?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ketika Jilbab Menjadi Alat Politik dan Ukuran Kesalehan
  • Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila
  • Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir (Bagian 1)
  • Tren Mode Rambut Sukainah
  • Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID