Saat belajar Tilawah ini, kami baik mahasantriwa laki-laki maupun perempuan duduk bersama untuk sama-sama belajar Tilawah. Bahkan saya bersama teman-teman perempuan lain bebas untuk mengeluarkan suara dengan lantang.
Mubadalah.id – Pasaran telah menjadi tradisi di berbagai pondok pesantren yang mana dilaksanakan khusus pada bulan suci Ramadan. Pelaksanaannya relatif padat, biasanya dilaksanakan dari mulai pagi hingga dini hari.
Begitu pula di Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, Abi Marzuki Wahid selaku pengasuh terus merawat tradisi pasaran di bulan Ramadan. Adapun tradisi ini, kami mengenalnya sebagai “Ngaji Ramadan”.
Ngaji Ramadan ini tentunya berbeda dari ngaji seperti biasanya. Mulai dari jadwalnya saja yang relatif padat, lalu untuk kitab kuning yang dikajinya juga berbeda. Serta target capaian khatam juga menjadi ciri khusus dari ngaji Ramadan ini.
Untuk kitab kuning yang kami kaji selama Ngaji Ramadan, kurang lebih ada 12 kitab. Adapun 12 kitab yang dikaji di antaranya: Riyadh ash-Shalihin, Hujjah Ahlussunnah Wal Jamaah, Syarah Al-Waraqat, Taqrib, Al-Faraid al-Bahiyyah Fi al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, As-Sittin al-Adliyyah, Tarikh Tasyri, Syarah Jurumiyah, Tafsir Jalalain, serta program khusus Tilawah.
Melalui tulisan ini, saya ingin lebih banyak membahas soal program khusus Tilawah. Pasalnya, Tilawah merupakan program baru yang hadirnya Ramadan tahun ini.
Harapan dengan adanya Tilawah dapat menghangatkan suasana Ramadan dengan membumikan al-Qur’an, bahkan para mahasantriwa SUPI setidaknya dapat memahami berbagai lagam dari Tilawah.
Adapun waktu belajar Tilawah ini adalah setiap malam setelah shalat tarawih, lalu kadang juga di siang hari. Sedangkan untuk teknis pengajarannya, menggunakan sistem baca ulang, di mana para mahasantriwa mengulang bacaan yang telah sang qori, yaitu ustadz Rahmatussalam selaku pengampu Tilawah bacakan.
Saya kira ada hal yang menarik saat kami belajar Tilawah. Karena saat belajar Tilawah ini, kami baik mahasantriwa laki-laki maupun perempuan duduk bersama untuk sama-sama belajar Tilawah. Bahkan saya bersama teman-teman perempuan lain bebas untuk mengeluarkan suara dengan lantang.
Benarkah Suara Perempuan Aurat?
Namun sayangnya, bagi sebagian orang dengan lantangnya suara perempuan membaca al-Qur’an kerap kali masih menjadi kontroversial, di mana banyak argumen ataupun pandangan yang menyebutkan suaranya itu merupakan bagian dari aurat. Sehingga perempuan tidak boleh belajar dengan menggunakan suara, seperti Tilawah, nyanyi, maupun berdakwah.
Bahkan tidak sedikit sebagian menggunakan dalil keagamaan untuk menyebutkan bahwa suara perempuan itu aurat:
عن عبد الله بن و لا اله الا النبي صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفهَا الشَّيْطَانُ (سنن الترمذي). المرأة
Dari Abdullah bin Mas’ud r.a., dari Nabi Saw., bersabda: “Perempuan itu aurat, ketika ia keluar (dari rumah), setan akan menyambutnya (menggodanya berbuat dosa dan mengajaknya menggoda orang lain untuk berbuat dosa)”. (Sunan al-Tirmidzi, Kitab al-Radha’, no. 1206).
Dari hadis di atas, mengutip pandangan Kiai Faqih dalam Buku Perempuan Bukan Sumber Fitnah menyebutkan bahwa kata aurat ini sering diartikan sebagai keburukan atau sesuatu yang dianggap tidak pantas ditampakkan. Di sinilah lahir konsepsi “perempuan adalah aurat” untuk melarang mereka dari segala aktivitas publik.
Saya kira, hal ini tentu tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam, karena pada dasarnya yang mereka lakukan adalah untuk kemaslahatan. Jadi siapapun baik laki-laki maupun perempuan bebas berekspresi atas suara di dalam dirinya jika hal itu memang untuk kebaikan, dan tak mengundang perbuatan yang merusak dirinya ataupun orang lain. Maka hal tersebut justru sangat diperbolehkan.
Masih dalam buku yang sama, Kiai Faqih lebih spesifik menyebutkan bahwa makna aurat itu sendiri ialah celah dari sesuatu yang bisa membuka jalan seseorang berbuat dosa. Baik tubuh ataupun suara dari laki-laki dan perempuan yang mengundang zina serta kekerasan adalah aurat yang harus kita waspadai.
Bukan Aurat
Jadi sudah sangat jelas bukan, karena sesuatu yang dipandang aurat itu adalah pembuka jalan menuju kemadharatan. Namun apa yang mahasantriwa SUPI lakukan saat belajar Tilawah bukanlah sebuah kemadharatan. Melainkan hal ini adalah kebaikan dan kemaslahatan. Sehingga suara perempuan saat belajar Tilawah bukanlah aurat.
Oleh sebab itu, sudah seharusnya kita membersamai mereka dalam melakukan kebaikan, serta tidak melarangnya dalam melakukan aktivitas-aktivitas yang melibatkan ekspresi suara atas dirinya, atau bahkan perlu memberikan ruang kepada perempuan yang mengarah pada kemaslahatan seperti yang telah dicontohkan di Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina yaitu, memfasilitasi mahasantriwa belajar Tilawah. []