Mubadalah.id – Akhir-akhir ini saya tenggelam belajar welas asih dalam buku sekumpulan esai tentang self improvement karya Kwon Rabin. Buku yang direkomendasikan oleh V-BTS saat moment Grammy Museum 2021. Ini adalah kali kedua saya tamatkan. Sebab proses membaca yang pertama, pesan dari buku ini belum sampai kepada saya.
Secara visual, buku yang telah Penerbit Haru terbitkan ini sangat menarik karena dari covernya saja kita disuguhi ilustrasi yang saya rasa telah mewakili judul buku, dan tema secara keseluruhan. Yakni seseorang yang sedang memeluk diri sendiri.
Tidak berhenti di situ, setelah membaca beberapa halaman di dalam buku ini, ilustrasi serupa juga akan kita temui. Ilustrasi ini seolah-olah menjadi pembatas antara satu esai dengan esai yang lain.
Sejak awal, buku ini konsisten menuntun kita mengenali definisi rumah yang tidak hanya berarti bangunan fisik. Di mana tempat kita bernaung dari bahaya cuaca, ataupun hewan buas.
Tetapi lebih dari itu, ia adalah tempat di mana kita merasa nyaman dengan diri sendiri. Artinya, rumah menjadi lebih dalam maknanya yang menurut Rabin adalah diri sendiri yang telah berhasil menerima segala kekurangan dan potensi diri dengan memperlakukannya penuh welas asih.
Rabin tampaknya menyadari betul bahwa dalam kisah hidup manusia yang diatur tidak seragam. Kadang kita melewati lintasan takdir yang “mirip” dengan penggalan dalam esai-esainya. Seperti perasaan kasih sayang, ditinggalkan, patah hati, jatuh cinta dan pengkhianatan.
Penilaian orang-orang yang buruk tentang kita juga tidak luput dari perhatian. Agar lebih mudah kita pahami, saya akan menguraikan maksud belajar welas asih yang Rabin tulis menjadi beberapa kategori seperti di bawah ini :
Kebahagiaan
Menurut Rabin kebahagiaan bisa hadir ketika kita telah mengetahui rumah tempat perasaan dimengerti, dan diterima oleh lingkungan sekitar. Ketika kita tumbuh dewasa dan berada di lingkungan baru. Di sana akan ada perasaan ingin mencari tempat dan orang-orang yang familiar untuk berbagi kebahagiaan sebagai orang asing.
Tidak berhenti di sana, sebab kebahagiaan nyatanya bisa hadir dalam beberapa wajah. Seperti, menyenangkan diri sendiri dengan hal-hal kecil yang mudah kita temui. Rabin sendiri menyukai suara mesin ketik yang mampu menghasilkan tulisan yang orang lain nilai sebagai tulisan yang penuh pengertian dan empati. Serta, suara rintik hujan yang menimpa genting sehingga membantu tidurnya lebih nyenyak.
Tantangan
Sikap welas asih yang ingin Rabin sampaikan tampaknya tidak hanya tentang kebahagiaan, tetapi tentang bagaimana merespon kesulitan dan tantangan. Sebagai manusia, perasaan ingin menyerah akan hadir ketika menghadapi tantangan yang penyebabnya beragam sumber.
Misalnya, perbedaan sudut pandang ketika obrolan sedang berlangsung, Rabin menyarankan agar menerima dengan tidak menutup mata keragaman yang ada. Dengan atau tanpa menutup mata dan telingapun keragaman akan tetap ada, maka tidak perlu adanya penyangkalan. Maka nikmati obrolan itu dan tetaplah menghargai keragaman.
Memaknai Perpisahan
Perpisahan yang identik dengan perasaan ditinggalkan oleh sosok yang terkasih memang seringkali menyisakan perasaan perih dan tidak terima. Beberapa memilih mengutuk takdir dan ingin menghilang seiring ingatan itu tumbuh.
Barang-barang yang menjadi saksi kenangan, alasan untuk berpisah yang menjengkelkan, mencintai tanpa dicintai dan ditinggal begitu saja tanpa ada satu alasan untuk tetap bersama. Ini adalah beberapa di antara yang menjadikannya menjadi pengantar perjalanan hidup manusia menjadi pribadi yang mengerti. Hingga kemudian mampu memaknai perpisahan.
Seperti kata Rabin : “bahwa hidup akan terus berlajut dan yang harus kupelajari tak ada habisnya.” Lewat buku ini, Rabin mengajak kita untuk tidak menolak atau mengutuk takdir. Melainkan merasakan setiap perasaan yang timbul sepanjang proses kehidupan.
Melalui apresiasi kecil-kecil yang bisa kita ciptakan sendiri sepanjang kita merasa nyaman dalam pertahanan yang kita buat itu, maka sah-sah saja untuk kita lakukan.
Pada akhirnya, kesempatan untuk belajar mengenali diri lewat sikap welas asih itu selalu terbuka melalui proses panjang mempertanyakan ke dalam diri tentang apa yang seharusnya membuat kita tetap bertahan. Terutama ketika dunia luar tidak mengerti apa yang kita inginkan. []