Mubadalah.id – Kasus yang sering kita temui dalam dinamika fikih dan pemihakan perempuan adalah soal hak suami untuk memukul istri.
Hak ini dalam al-Qur’an diungkapkan dalam redaksi perintah (al-amr/bentuk imperatif). Tetapi redaksi ini tidak dipahami ulama sebagai perintah terhadap laki-laki, baik bersifat wajib, sunnah, maupun irsyad. Memukul istri hanyalah sebuah hak, yang bisa digunakan laki-laki dan bisa juga tidak.
Bahkan, sekalipun al-Qur’an ungkapkan dalam bentuk perintah, mayoritas ulama lebih memilih untuk menyatakan bahwa ‘meninggalkan hak memukul’ lebih baik daripada menggunakannya.
Tetapi hak ini seringkali menjadi persoalan karena laki-laki miliki sepenuhnya. Baik kapan mau ia lakukan dan bagaimana. Laki-laki dalam hal ini tidak bisa perempuan tuntut dari akibat penggunaan hak memukul tersebut. Sekalipun hak itu menimbulkan kecederaan parah di pihak perempuan.
Nabi Saw sendiri dalam beberapa teks hadits lebih memilih untuk tidak menggunakan hak memukul sama sekali, bahkan pernah melarang pemukulan terhadap perempuan (istri). Namun pernah memperkenankan karena tuntutan beberapa suami dengan syarat tidak menimbulkan cedera dan tidak pada wajah. Terakhir pernah mengultimatum bahwa mereka yang memukul istri adalah orang-orang yang tidak baik dari umatnya.
Bukan Perintah
Dengan adanya semangat pembelaan dari teks-teks hadits ini, mayoritas ulama memahami redaksi perintah memukul dalam al-Qur’an bukan sebagai perintah, tetapi “sebagai hak dan wewenang saja, yang bisa” laki-laki gunakan. Itupun dengan batasan dan aturan yang ketat.
Tetapi pemaknaan dan penggunaan hak tersebut pada aras : realitas, seringkali menimbulkan ketimpangan-ketimpangan yang mencederai perempuan. Karena ada hak ini, perempuan tidak dipandang secara adil dengan laki-laki.
Perempuan boleh dipukul untuk setiap kesalahan yang dilakukannya terhadap suami, sementara ia sendiri hanya diperintahkan bersabar atas setiap kesalahan yang dilakukan suami terhadap dirinya.
Hak itu juga tidak hanya terkait dengan kesalahan dalam relasi suami istri. Tetapi semua kesalahan yang seorang istri lakukan, baik kesalahan terhadap suami, anak-anak, keluarga, tetangga, orang lain dan kesalahan-kesalahan (ma’shiat) kepada Allah Swt. Sekalipun ayat al-Qur’an sendiri sebenarnya hanya berbicara pada konteks relasi suami istri. []