Mubadalah.id – Setiap masyarakat punya pandangan dunia tertentu yang terefleksikan dalam bahasa yang digunakan. Bahasa Jawa yang membagi tiga cara bertutur: ngoko, madya, dan inggil merefleksikan kelas sosial sebagai cara pandang dunia masyarakatnya. Cara bertutur masyarakat Arab bukan ditentukan oleh strata sosial, melainkan oleh gender. Kita tidak bisa bicara bahasa Arab tanpa menguasai konsep mudzakar dan muannats (laki-laki dan perempuan).
Kesadaran tentang pembedaan (bukan sekadar perbedaan) antara laki-laki (mudzakar) dan perempuan (muannats) tentu Arab jauh lebih dulu punya. Sejak kapan? Sejak bahasa Arab muncul di muka bumi.
Sayangnya, relasi gender dalam bahasa ini sangat bias Nasr Hamid Abu Zaid memberikan salah satu contohnya, yaitu aturan bahwa satu grup perempuan (jama’ muannats) akan berubah menjadi grup laki-laki (jama’ mudzakar) hanya karena kita temukan satu saja laki-laki di dalamnya.
Satu laki-laki lebih menentukan status sebuah grup daripada berapa pun jumlah perempuan di dalamnya. Tentu saja Mahasuci Allah dari salah memilih bahasa. Namun, begitu Allah memilih bahasa. Maka penting bagi kita untuk tahu karakternya supaya pesan Allah tidak terkubur oleh karakter tersebut.
Lalu, dari manakah kesadaran tentang keadilan gender bermula? Kedengarannya seperti apologetik, tapi sekitar 1400 tahun lalu Allah Swt sudah menegaskan bahwa keadilan Islam itu untuk laki-laki dan perempuan. Ayat tentang hal ini bertaburan dalam al-Qur’an.
Sayangnya, pesan keadilan gender ini kerap kabur dalam bangunan pengetahuan Islam yang tentu saja dipengaruhi oleh konstruksi sosial tertentu. Tak jarang, Islam kerap dipahami sekali lagi dipahami sedemikian rupa hingga malah melemahkan perempuan. []