Mubadalah.id – Pendiri Tadarus Subuh, Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, mendukung untuk menjadikan bencana di Sumatera dan Aceh sebagai bencana nasional. Ia menilai kerusakan serupa akan terus berulang.
“Warga hanya bisa membantu 1–2–3 orang. Tidak bisa menyeluruh. Yang bisa bekerja menyeluruh adalah negara. Dan negara harus didesak, bukan ditunggu,” ujarnya.
Dalam pandangan Kiai Faqih, tekanan itu tidak boleh hanya datang dari aktivis atau masyarakat sipil. Harus ada suara lantang dari lembaga keagamaan MPU, MUI, KUPI, NU, Muhammadiyah yang menegaskan bahwa kerusakan alam adalah tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama dan membahayakan kemaslahatan publik.
“Ekologi itu ayat Tuhan. Ia bukan hanya tanda kebesaran Tuhan, tetapi panduan hidup: bagaimana manusia harus menjaga bumi agar tetap memberi kehidupan,” ungkapnya
Tafsir Ekologi: Ayat yang Selama Ini Kita Abaikan
Dalam Surat Yasin, al-Qur’an menggambarkan tanah tandus yang hidup kembali ketika tersiram air. Bagi Dr. Faqih, ayat itu ajaran ekologis yang sangat konkret.
“Ayat itu mengajarkan bahwa manusia harus menjaga bumi agar tetap hidup. Kalau tidak, kita tidak sedang bersyukur,” ujarnya.
Ia menilai pemahaman keagamaan harus bergerak dari sekadar pengetahuan ritual menuju etika ekologis. Tanpa kesadaran ini, Indonesia hanya akan terus menjadi panggung bencana yang berulang.
Di akhir pandangannya, Kiai Faqih kembali menyoroti hubungan antara agama, negara, dan manusia sebagai aktor utama kerusakan.
Agama, katanya, seharusnya menjadi rem. Negara seharusnya menjadi penjaga. Masyarakat seharusnya menjadi pengawas.
Tetapi ketika ketiganya gagal menjalankan peran, maka yang tersisa hanyalah kerusakan yang semakin besar.
“Ekologi adalah amanah. Dan kita sedang mengkhianati amanah itu,” jelasnya.
Sementara itu, ia juga mengajak semua pihak, aktivis, ulama, dan warga biasa untuk menjadikan bencana di Aceh dan Sumatera sebagai titik balik. Titik untuk berhenti membiarkan, dan mulai menegakkan kontrol. Kontrol terhadap kekuasaan, kerakusan, dan ego manusia.
Karena, seperti katanya, “Jika kita tidak mengendalikan sifat destruktif itu, maka seluruh ayat-ayat Tuhan tentang alam hanya akan menjadi bacaan kosong,” tutupnya. []





































