Mubadalah.id – Di kampung saya, apabila terjadi hujan deras satu jam saja, air akan langsung menggenangi area jalan, dan bahkan rumah-rumah warga. Salah satu penyebab banjir adalah drainase dan selokan yang tak berfungsi namun pemerintah tak memperbaikinya.
Demi menghindari terjangan banjir, masyarakat pun rela secara mandiri dengan meninggikan rumah. Mereka membeli tanah merah untuk mengurug ruang tamu, kamar, hingga dapur. Rumah pun akhirnya lolos dari kejaran banjir. Namun halaman rumah dan jalan-jalan tetap tak luput dari hantaman banjir. Ketinggian banjir bervariasi, namun paling parah yang pernah terjadi sedada orang dewasa atau kisaran satu meter.
Bencana Tanda Tangan
Jika banjir setinggi dada orang dewasa saja sudah membuat saya dan masyarakat di kampung prihatin dan cemas, maka saya tak sanggup membayangkan betapa mengerikannya bencana alam banjir bandang yang menghantam Sumatra, tepatnya di Provinsi Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.
Daerah tersebut porak poranda akibat bencana yang Rosadi Jamani menyebutnya sebagai “Bencana Tanda Tangan”. Bencana yang terjadi karena kebijakan dan keputusan politik ugal-ugalan yang menyengsarakan tidak hanya manusia, tetapi juga makhluk hidup lainnya. Total 974 orang tewas, berdasar data terbaru dari BNPB.
Jumlah korban perkiraannya masih akan terus bertambah, mengingat 264 orang masih dicari. Sementara, negara tak kunjung hadir menyatakan status sebagai Bencana Nasional. Di sisi lain, masyarakat terdampak masih banyak yang terisolir dan kekurangan makanan, air, listrik, dan akses komunikasi. Salah seorang warga setempat bahkan menggambarkan situasi yang semakin mendekati batas kemanusiaan.
Warga Kampung Pantan Nangka, Aceh Tengah bernama Aramiko menyampaikan bahwa stok makanan mulai habis, banyak keluarga hanya makan sekali sehari, dan sejumlah lansia terpaksa menahan lapar. “Jika tidak ada lagi makanan, kirimkan kain kafan untuk kami. Kami pasrah,” ujarnya. Pernyataan ini bukan candaan, melainkan gambaran mengerikan, dan betapa keputusasaan masyarakat menantikan kehadiran pemerintah yang tak cepat dan tanggap merespon situasi bencana alam.
Drama Zulkifli Hasan
Di tengah kondisi yang sangat memprihatinkan dan mencekam tersebut, beberapa politisi dan pejabat tingkat pusat terjun ke beberapa titik lokasi terdampak. Meski begitu, kehadiran mereka tak lupa sambil menenteng kamera dan staf yang siap merekam segala aktivitas selama di TKP. Momen seperti inilah yang terimplementasikan dengan baik salah satunya oleh Zulkifli Hasan.
Menteri Koordinator Bidang Pangan dan mantan Menteri Kehutanan (2009-2014), menjadi sorotan saat turun ke lokasi banjir Sumatra, karena memanggul karung beras 5 kg dan menyendok lumpur. Video aksi ini viral, memicu perdebatan. Apakah itu tindakan tulus atau upaya pencitraan untuk menutupi rekam jejaknya dalam penerbitan izin penebangan hutan secara masif, yang berdampak terjadinya tanah longsor dan banjir.
Zulhas hanya satu dari sekian banyak pejabat atau politisi yang mengubah momen bencana alam menjadi panggung sandiwara untuk meraih legitimasi. Andai bencana Sumatra ini terjadi di tahun politik, saya yakin akan banyak zulhas-zulhas lain, yang memberi sokongan, terutama dari kalangan para politisi, caleg, hingga pimpinan partai.
Mereka akan berbondong-bondong menyalurkan bantuan lengkap dengan stempel “ini bantuan dari kami”. Lalu mereka akan cepat tanggap menyelamatkan banyak nyawa dari ganasnya air bah dan longsor yang menghujam. Mereka akan menolong orang-orang kelaparan, terjebak, dan yang terisolir, bahkan di pedalaman desa sekalipun, lengkap dengan tim dokumentasi yang sigap seperti layaknya prajurit yang patuh pada sang komandan.
Panggung Pencitraan
Hanya dengan membawa tim kamera ke lokasi bencana, segala hal baik akan diunggah di medsos untuk menunjukan ke publik bahwa mereka “sudah hadir”. Di sinilah persoalan mendasar muncul, ketika sorotan kamera lebih mereka prioritaskan ketimbang kebutuhan korban, maka empati berubah menjadi formalitas belaka.
Sudah bukan rahasia umum, pejabat atau politisi kerap hadir memanfaatkan situasi bencana sebagai ajang pencitraan, untuk menampilkan diri seolah-olah mereka adalah pahlawan yang paling peduli. Manipulasi ini terjadi dengan mengambil foto saat membagikan bantuan, membuat video dengan gesture dramatis, atau berkeliling lokasi bencana sembari terus merekam. Persis seperti yang Zulhas dan Verrel Bramasta lakukan. Sialnya, alih-alih pujian, yang Zulhas dapatkan justru hujatan habis-habisan.
Sebuah kebangkitan bahwa masyarakat kita sudah sadar akan tingkah laku pejabat yang hanya pura-pura baik. Padahal terdapat sifat rakus dan korup. Untuk menggambarkan betapa muaknya masyarakat terhadap tingkah Zulhas, netizen pun menyebutnya sebagai “tersangka yang menyamar menjadi pahlawan”.
Di era digital sekarang, bagi para politisi, segala sesuatu memang harus “rekam dan unggah,” seakan nilai kemanusiaan tereduksi menjadi tontonan. Media sosial dan kamera berperan menjadi saksi dan pembuktian “kesungguhan” pejabat, padahal di balik itu bisa jadi banyak hal yang tidak nyata.
Nilai kemanusiaan yang hilang terasa sangat nyata ketika aktivitas kemanusiaan berubah menjadi ajang publisitas. Momen-momen krusial seperti bencana alam harusnya diwarnai oleh kepercayaan, tindakan cepat, dan kerja sama. Bukan saling berlomba tampil di depan kamera, apalagi saling lempar tanggung jawab dan saling sindir antar pejabat.
Haus Pujian dan Pengakuan
Pencitraan yang pejabat dan politisi lakukan tidak jarang dianggap sebagai strategi untuk meraih popularitas atau memperkuat posisi politik. Ini sejalan dengan teori Alfred Adler (1911), psikolog Austria, yang menegaskan bahwa manusia memiliki kebutuhan kuat untuk mendapatkan pengakuan dan perasaan superioritas, yang bisa terwujudkan melalui pengaruh sosial dan pujian.
Menurut Adler, kebutuhan pengakuan berasal dari keinginan fundamental manusia untuk merasa terhargai dan memiliki nilai di mata orang lain. Dalam konteks bencana, politisi yang menunjukkan kehadiran aktif dan kepedulian dianggap memenuhi kebutuhan ini, karena mereka mendapatkan pujian dari masyarakat dan media.
Pujian itu sendiri berfungsi sebagai “hadiah psikologis” yang memupuk rasa superioritas dan legitimasi sosial. Hal ini mengindikasikan bahwa pencitraan di tengah bencana tidak semata-mata berasal dari niat altruistik, tetapi juga terdorong oleh dorongan psikologis yang melekat pada diri manusia.
Selain Adler, Abraham Maslow juga menawarkan pemahaman lain yang sangat relevan lewat teori hierarki kebutuhan. Dalam situasi krisis, kebutuhan dasar seperti keamanan dan perlindungan menjadi prioritas utama masyarakat.
Namun, bagi politisi, dorongan untuk memenuhi kebutuhan tingkat yang lebih tinggi, yakni kebutuhan penghargaan dan aktualisasi diri. Hal ini bisa memicu tindakan pencitraan. Mereka berusaha tampil sebagai sosok yang mampu mencukupi kebutuhan masyarakat sekaligus memperoleh penghargaan sosial dari komunitas luas.
Tindakan pencitraan bukan hanya masalah manipulasi, melainkan juga manifestasi kebutuhan psikologis universal. Karena sifat manusia yang senang dipuji dan diakui, pejabat publik sering kali sulit menahan diri untuk tidak menggunakan momen bencana alam sebagai podium untuk meraih simpati. Kritisnya, masalah muncul ketika upaya pencitraan tersebut menggantikan tindakan nyata dan efektif dalam penanganan bencana, atau ketika kepentingan politik mengalahkan aspek kemanusiaan.
Kesadaran Masyarakat Modern
Masyarakat modern semakin sadar akan fenomena ini, terutama dengan peran media sosial yang mampu menganalisis dan mengkritik tindakan politisi. Publik menuntut keautentikan dan kerja nyata, bukan sekadar tampilan kepedulian yang dangkal. Oleh karena itu, pejabat publik yang bijak perlu menyeimbangkan antara kehadiran yang terlihat dan aksi nyata yang memberikan manfaat langsung dan berkelanjutan bagi korban bencana.
Supaya tidak menjadi sekadar alat politik semu, tindakan para pejabat tersebut harus dibarengi dengan dedikasi nyata terhadap mitigasi dan penanggulangan bencana, kebijakan yang pro rakyat, dan penghentian segala praktik-praktik yang dapat merusak alam. Hanya dengan itu, kehadiran figur politik bisa benar-benar terasa memberi dampak positif di tengah kesulitan masyarakat.
Sebagai masyarakat, kita perlu lebih jeli membedakan antara kepedulian asli dan kepedulian yang hanya untuk pencitraan. Kepedulian sejati tidak bisa kita ukur hanya dari rekaman video yang viral atau foto foto yang mengesankan. Ia harus kita wujudkan dalam tindakan nyata serta berkelanjutan.
Jika tidak, kepedulian tersebut hanya akan menjadi panggung sandiwara yang hanya menguntungkan politisi, tapi merugikan pihak korban. Pertanyaannya kini, andai saja era sekarang tidak ada kamera, hape, medsos, atau alat digital lainnya, masih akan pedulikah para pejabat kita terjun membantu korban bencana? []










































