Mubadalah.id – Ada banyak cara dilakukan seseorang untuk menarik orang agar mengikuti agama, keyakinan, ideologi, atau madzhabnya. Ali bin Abi Thalib mengatakan: “Khathibun naas bi qadri ‘uquulihim (Ajaklah manusia dengan cara yang sesuai dengan akal mereka).”
Imam al-Ghazali menyebut tiga tingkatan pengetahuan orang: al-awam (orang umum), al-khawash (orang-orang khusus, terpelajar, rasionalis), dan khawashul khawash (orang-orang istimewa, para bijak bestari).
Ibnu Rusyd menyebut tiga tingkatan dengan kategori dan istilah yang berbeda. Pertama, al-khithabiyyun (orang-orang yang diajak dengan cara pidato). Istilah ini mengacu kepada orang awam.
Kedua, al-jadaliyyun (orang-orang yang suka berdebat). Mereka adalah para teolog (mutakallimin). Ketiga, al-burhaniyyun (orang-orang yang suka berpikir). Mereka adalah para filsuf.
Imam al-Ghazali
Imam al-Ghazali pernah menyinggung soal fenomena sosial ini secara kritis. Ia mengatakan: “Banyak orang yang berpendirian bahwa keyakinan atau iman hanya berasal dari pembicaraan ilmu kalam (teologi) dan dalil-dalil teoretis yang spekulatif.”
Menurutnya, cara ini adalah suatu bentuk kebodohan manusia. Iman, keyakinan keagamaan, adalah suatu cahaya yang dipancarkan Allah Swt dalam jiwa hambaNya sebagai karunia dan hidayah. Keyakinan bisa datang dari kesadaran batin yang kukuh dan bisa juga dari tingkah laku agung para agamawan.
Imam al-Ghazali tampaknya lebih memuji cara yang terakhir ini. Nabi Muhammad Saw lebih banyak menggunakan cara ini.
“Suatu hari,” kata sufi besar ini, “seorang Arab Badui datang kepada nabi sambil menyampaikan kata-kata kasar dan menantang. Ketika orang itu tertumbuk pada sosok nabi yang santun, penuh senyum, tenang, dan memancarkan cahaya kenabian, ia tertegun dan terpesona.”
Kemudian ia bergumam, “Demi Tuhan, ini bukan wajah seorang pembohong. Tidak lama kemudian, ia meminta nabi mengajarkan Islam, dan ia pun memeluknya.”
Aisyah Ra., istri nabi yang cantik dan cerdas, pernah membuat kesaksian ketika ditanya orang tentang pribadi suaminya itu. Ia mengatakan: “Kama khuluquhul Qur’an (Perilakunya adalah al-Qur’an).”
Kitab suci umat Islam ini juga telah menyatakan “Wa innaka la’alaa khuluqin ‘azhiim (Kamu memang orang yang berbudi luhur).” Inilah makna keteladanan. []