Mubadalah.id – Di tengah arus dominasi pengetahuan cum-kekuasaan yang seringkali mengandalkan suara tunggal dan otoritas hierarkis yang hegemonik, gerakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) hadir sebagai ruang kolektif yang mempraktikkan epistemic partnership—kemitraan pengetahuan yang sejajar, partisipatif, dan saling membangun.
Dalam gerakan KUPI, pengetahuan keislaman tidak lahir dari satu sumber yang seringkali elitis, tetapi tumbuh dari tanah tempat kehidupan berlangsung. Terutama dari pengalaman perempuan, pergulatan komunitas, dan pengolahan intelektual bersama para ulama, akademisi, dan aktivis.
Paradigma KUPI: Keadilan sebagai Tujuan Bersama
Paradigma KUPI terbangun di atas kesadaran bahwa keadilan hakiki—sebagaimana yang dituju oleh Maqasid al-Syari’ah—tidak dapat tercapai tanpa melibatkan semua pihak yang terdampak oleh ketidakadilan itu sendiri.
Keadilan hakiki, sebagaimana Dr. Nur Rofiah rumuskan, adalah keadilan yang mempertimbangkan realitas biologis dan sosial perempuan secara utuh. Mulai dari pengalaman haid, hamil, melahirkan, menyusui, hingga beban struktural dan kultural akibat patriarki yang sering tak dialami laki-laki.
Keadilan semacam ini tidak dapat terpenuhi jika perempuan hanya menjadi objek hukum atau korban kebijakan, melainkan harus menjadi subjek aktif dalam proses-proses pengambilan keputusan. Termasuk dalam seluruh penyusunan fatwa, dari awal sampai akhir.
KUPI menolak pendekatan fatwa yang bersifat top-down dan eksklusif. Sebaliknya, ia menghadirkan paradigma musyawarah epistemik. Di mana otoritas keilmuan (ulama, akademisi, pakar) dan otoritas pengalaman (korban, penyintas, pendamping) dipertemukan secara sejajar.
Dalam kerangka ini, epistemic partnership menjadi pondasi dasar. Semua pihak kita hadirkan sebagai mitra dalam membaca teks dan konteks secara bersama-sama, saling mendengar dan saling meneguhkan.
Yang hadir dalam musyawarah KUPI bukan hanya ahli tafsir dan hadis, tetapi juga para penyintas kekerasan, pendamping hukum, bidan, psikolog, aktivis komunitas, dan siapa pun yang suaranya relevan dalam menghadirkan keadilan yang menyentuh kehidupan nyata. Dengan cara inilah, keadilan tidak hanya menjadi ideal normatif, tetapi menjadi pengalaman kolektif yang hidup dan membebaskan.
Perspektif KUPI: Mubadalah sebagai Titik Temu
Perspektif yang KUPI gunakan bukanlah perspektif netral-formal yang kering dari nilai. Melainkan perspektif yang etis, spiritual, dan relasional, yang secara sadar berakar pada paradigma keadilan hakiki. Di sinilah mubadalah hadir sebagai instrumen epistemik yang penting.
Selama ini mubadalah sering kita pahami sebagai cara pandang untuk membentuk relasi setara antara laki-laki dan perempuan, antara suami dan istri, antara ulama laki-laki dan ulama perempuan. Namun dalam konteks epistemic partnership, mubadalah melampaui batas relasi gender. Ia menjelma menjadi kerangka relasional dalam membentuk dan memproduksi pengetahuan keislaman secara adil dan partisipatif.
Dalam kerangka ini, relasi mubadalah terjadi antara berbagai elemen epistemik yang selama ini cenderung terpisahkan secara hirarkis. Wahyu dan akal, al-Qur’an dan hadis, nash dan fiqh, turats (warisan klasik) dan konteks kontemporer, teks dan realitas kehidupan. Bahkan antara pengalaman perempuan dan tafsir keagamaan.
Semua entitas tersebut terposisikan sebagai mitra pemaknaan yang saling melengkapi dalam memproduksi pengetahuan untuk keadilan sosial dan kebaikan-kebaikan hidup. Sebagaimana rumusan Maqasid asy-Syariah. Tidak ada satu sumber yang berdiri sendiri sebagai absolut. Melainkan makna lahir dari perjumpaan yang terbuka antar sumber tersebut untuk sebuah pemaknaan kehidupan dan keadilan—dalam semangat mubadalah.
Proses Pengetahuan Berbasis Realitas Sosial
Dengan kata lain, KUPI membangun proses pengetahuan dan pengambilan keputusan keagamaan yang bukan hanya berbasis pada teks-teks normatif (ayat kalamiyah). Tetapi juga melalui realitas sosial (ayat kauniyah), pengalaman batin (ma’arif irfaniyah), dan aspirasi keadilan hakiki (ma’arif ‘adliyah haqiqiyah) yang hidup dalam tubuh masyarakat.
Dalam musyawarah-musyawarahnya, KUPI mempertemukan ulama, penyintas, praktisi hukum, psikolog, bidan, dan aktivis komunitas. Smuanya terlibat sebagai mitra dalam proses penafsiran dan pemaknaan. Inilah wajah epistemic partnership yang dijalankan dalam semangat mubadalah. Setiap suara adalah bagian dari cermin, dan setiap cermin menyumbangkan cahaya untuk melihat kebenaran secara lebih utuh, demi tercapainya keadilan hakiki dalam kehidupan.
Dengan begitu, perspektif mubadalah bukan hanya menawarkan kesalingan dan kemitraan dalam relasi antar manusia. Tetapi juga kesalingan dan kemitraan dalam relasi antar sumber otoritas, antar epistemologi, dan antar pengalaman hidup. Demikianlah epistemic partnerhisp, atau bisa kita sebut sebagai at-tabaduliyah al-marifiyah.
Semua itu bertemu dalam satu orientasi besar. Yakni menghadirkan Islam yang menebarkan rahmat dan akhlak karimah, serta menjamin keadilan hakiki, bagi mereka yang selama ini terzalimi dalam kehidupan, tidak terlibat dalam ruang-ruang tafsir, dan terutama tersingkir dari pengambilan kebijakan.
Metodologi KUPI: Maqasid cum-Mubadalah sebagai Jalan Tafsir
KUPI mengembangkan pendekatan metodologis yang saya sebut sebagai Maqasid cum-Mubadalah—sebuah pendekatan yang menggabungkan orientasi tujuan syariat (maqasid al-syari’ah) dengan prinsip relasi etis yang setara dan partisipatif (mubadalah).
Dalam pendekatan ini, teks-teks keagamaan kita tafsirkan dengan mempertimbangkan nilai-nilai perlindungan jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-‘aql), keturunan (hifz al-nasl), dan martabat kemanusiaan (karāmah insāniyyah). Namun, nilai-nilai tersebut tidak kita baca secara netral, teknokratik, atau semata-mata legalistik, melainkan kita bentangkan dalam relasi yang saling menghargai dan mendengar. Antara teks dan konteks, antara nash dan pengalaman, serta antara wahyu dan realitas sosial.
Dalam fatwa KUPI tentang aborsi bagi korban perkosaan, misalnya. Pengalaman perempuan korban tidak kita anggap sekadar sebagai kasus atau objek belas kasihan, melainkan sebagai sumber tafsir dan pertimbangan moral yang utama.
Proses musyawarah menghadirkan para penyintas, tenaga medis, psikolog, ulama perempuan, dan pendamping komunitas—semua duduk dalam satu forum yang setara. Di sinilah epistemic partnership berlangsung secara nyata. Proses fatwa menjadi ruang belajar bersama, berbagi makna, dan merumuskan hukum secara kolektif.
Pendekatan serupa tampak dalam fatwa KUPI tentang pengharaman penghancuran lingkungan oleh industri ekstraktif yang eksploitatif, seperti pertambangan, perkebunan besar, dan proyek-proyek skala besar yang merampas tanah serta sumber air.
Kemitraan Epistemik dengan Para Perempuan Penyintas
Dalam fatwa ini, melalui kemitraan epistemik dengan para perempuan penyintas, KUPI menegaskan bahwa penghancuran lingkungan bukan sekadar kerusakan fisik, tetapi juga perampasan hak-hak perempuan atas sumber penghidupan, kesehatan, dan keberlanjutan generasi.
Suara perempuan yang hidup dan bertahan dari tanah, hutan, dan sungai menjadi bagian penting dalam proses musyawarah. Mereka yang terdampak itulah yang secara epistemic partnership kita muliakan sebagai sumber fatwa dan pengetahuan, sekaligus terakui sebagai otoritas keislaman.
Hal serupa tampak dalam fatwa KUPI tentang perlindungan perempuan dari pernikahan usia anak. Melalui musyawarah epistemik yang berlandaskan prinsip mubadalah, KUPI menegaskan bahwa praktik tersebut bertentangan dengan prinsip maqasid, dan melanggar martabat serta hak tumbuh-kembang anak.
Usia anak tidak dapat kita jadikan dasar pernikahan atas nama agama, karena agama hadir untuk memuliakan dan melindungi, serta mendorong perkembangan potensi diri demi kehidupan yang lebih maslahat.
Terlebih lagi, dengan menggunakan lensa keadilan hakiki, terlihat jelas bahwa perempuan yang menikah di usia anak menghadapi tantangan biologis dan sosial yang lebih berat, yang membatasi dan menghambat proses tumbuh-kembangnya secara utuh—baik akal, jiwa, maupun tubuh.
Demikian pula, dalam fatwa KUPI tentang kewajiban melindungi bayi perempuan dari segala bentuk praktik yang membahayakan. Termasuk pelukaan dan pemotongan genitalia (sunat perempuan), prinsip epistemic partnership dihadirkan dalam seluruh proses perumusannya.
Fatwa ini menegaskan perlindungan atas tubuh, jiwa, dan martabat anak perempuan sebagai amanat maqasid yang paling mendasar. Dalam seluruh proses tersebut, KUPI menempatkan maqasid sebagai tujuan luhur syariat, dan mubadalah sebagai cara bertindak yang adil, saling menghargai, dan merawat kehidupan.
Kerja-kerja Gerakan KUPI: Produksi Pengetahuan yang Membumi
Gerakan KUPI tidak hanya berbicara di forum-forum nasional, tetapi hadir dan hidup di pesantren, komunitas desa, lembaga pemerintah, ruang-ruang pengajian ibu-ibu, hingga lini masa media sosial.
Produksi pengetahuannya tidak terpusat di Jakarta atau kota-kota besar, melainkan kita rangkai dari pengalaman perempuan di berbagai pelosok Indonesia. Dari Cirebon, Semarang, Jepara, Aceh, Lampung, Malang, Madura, Jember, Nusa Tenggara Barat, Makassar, hingga Banjarmasin.
Di sinilah wajah epistemic partnership KUPI menjadi nyata. Pengetahuan terbangun dari bawah, dari tubuh dan kehidupan perempuan, lalu kita bawa naik ke forum musyawarah, pengajian, fatwa, karya akademik, hingga advokasi kebijakan publik.
Gerakan KUPI ini terbentuk dan digerakkan secara kolektif oleh berbagai aktor dari jaringan KUPI, simpatisan, dan mitra strategis, terutama lima lembaga penyangganya. Yayasan Fahmina (Cirebon), Rahima (Jakarta), Alimat (Jakarta), Gusdurian Indonesia, dan AMAN Indonesia (Association of Muslim and Action Network).
Lembaga-lembaga ini menjadi simpul utama dalam merawat komunitas epistemik yang saling belajar dan saling menguatkan. Melalui mereka, kerja-kerja KUPI mengalir dalam berbagai bentuk. Penguatan ulama perempuan akar rumput, halaqah-halaqah penafsiran, pendampingan komunitas akar rumput dan korban kekerasan, hingga pembelaan lingkungan hidup dari ancaman praktik eksploitatif destruktif.
Peran Media dan Ekspresi Budaya
Media juga menjadi ruang penting dalam membangun ekosistem epistemik KUPI. Portal mubadalah.id menyebarluaskan gagasan-gagasan keadilan relasional dalam Islam. Kupipedia.id mendokumentasikan jejak keulamaan perempuan secara digital.
Sementara media dari lima lembaga penyangga tersebut turut memperluas cakrawala publik. Tak hanya itu, berbagai karya akademik dari perguruan tinggi Islam telah memproduksi skripsi, tesis, disertasi, dan jurnal ilmiah yang mengafirmasi nilai-nilai KUPI dalam diskursus akademik Islam kontemporer.
Ekspresi budaya juga menjadi bagian integral dari produksi pengetahuan dalam gerakan ini. Lagu-lagu shalawat, puisi, novel, hingga doa-doa dan tawassul yang tertulis dan terlantunkan oleh para ulama perempuan dan simpatisan KUPI, menyuarakan ajaran Islam yang ramah, adil, dan membebaskan dari kezaliman dan keserakahan. Semuanya menjadi ruang tafsir yang hidup, yang mengisi ruang batin umat dengan semangat keberpihakan kepada yang lemah dan terluka.
Ikhtiar terbaru pada konteks epistemic partnership ini, pada bulan Mei 2025, telah kita canangkan Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia yang akan kita peringati setiap tahun.
Semangat Islam yang Egaliter dan Transformatif
Inisiatif ini hadir sebagai ruang bersama untuk menemukan, mengapresiasi, dan mengokohkan kerja-kerja keulamaan perempuan. Baik sebagai pengasuh pesantren, pengajar tafsir dan fikih, pendamping korban, penggerak komunitas, maupun penyambung suara umat di ruang-ruang publik.
Dari Aceh sampai Papua, perempuan hadir sebagai penjaga nilai, penafsir wahyu, dan pembawa risalah kerahtamatan dan keadilan Islam, serta akhlak mulia Nabi Muhammad Saw, yang berakar kuat dan menjulang jauh.
Dengan cara inilah, gerakan KUPI menjelma bukan sekadar jaringan aktivisme. Tetapi komunitas epistemik yang saling menyimak dan menyuarakan, saling belajar dan saling menguatkan. Dalam rangka menghadirkan Islam yang membela kehidupan dan membawa rahmat bagi seluruh alam.
Epistemic partnership dalam tubuh KUPI adalah cermin dari semangat Islam yang egaliter dan transformatif. Ia mengajarkan bahwa otoritas bukanlah milik tunggal, dan kebenaran tidak dapat lahir dari menyingkirkan suara yang lemah. Justru dalam mendengarkan yang sunyi, dalam membuka ruang bagi yang selama ini terbungkam, Islam menemukan denyut keadilannya kembali.
KUPI, dengan metodologi Maqasid cum-Mubadalah dan semangat epistemic partnership-nya, bukan hanya melahirkan fatwa, tetapi juga membentuk cara baru dalam memproduksi ilmu, menyusun hukum, dan menjalani iman. Bersama, bukan tersembunyi dan sendiri-sendiri. []