Mubadalah.id – Setiap kali Iduladha tiba, kita menyaksikan pemandangan yang akrab: gema takbir, iringan hewan ternak, dan doa sebelum penyembelihan. Namun di balik ritual fisik itu, terdapat lapisan makna spiritual yang mendalam: berqurban adalah latihan kenosis—pengosongan diri, agar manusia sanggup menampung kehendak Ilahi tanpa syarat.
Dalam tradisi tasawuf, kenosis dipahami sebagai proses membersihkan diri dari keakuan, ego, dan hasrat duniawi. Ia bukan penghapusan identitas, melainkan pengendapan ego agar ruang batin manusia cukup lapang untuk menerima kebijaksanaan Tuhan. Qurban sejati tidak berhenti pada daging atau darah hewan, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaanmulah yang dapat mencapainya…”
(QS. Al-Hajj: 37)
Ayat ini memberi penegasan bahwa esensi kurban bukan pada bentuk lahiriahnya, tetapi pada ketulusan batin dan relasi spiritual antara manusia dengan Tuhan. Berkurban menjadi latihan untuk melepaskan kemelekatan terhadap apa yang kita anggap sebagai milik: harta, jabatan, bahkan orang yang paling kita cintai.
Nilai Kenosis
Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail menjadi cermin spiritual tentang bagaimana cinta kepada Tuhan tidak mematikan cinta kepada sesama, melainkan menyempurnakannya. Ibrahim tidak memaksakan kehendak; Ismail tidak membangkang karena takut. Keduanya saling percaya. Dalam relasi kesalingan itulah lahir ketaatan yang murni dan cinta yang melampaui ego.
Di era modern, kenosis menjadi semakin penting karena kita hidup dalam dunia yang menjadikan ego sebagai pusat segalanya. Karier, pencapaian pribadi, eksistensi di media sosial—semuanya menuntut afirmasi “aku”. Padahal, jiwa yang terlalu penuh oleh diri sendiri akan sulit mendengarkan suara Ilahi maupun suara sesama.
Berkurban melatih kita untuk menyediakan ruang. Bahwa tidak semua hal harus ditaklukkan oleh ambisi. Kadang justru kekuatan sejati lahir dari kesediaan untuk mengalah, memberi, atau melepaskan. Inilah yang membuat kenosis menjadi latihan batin yang revolusioner—karena ia mengajarkan bahwa tidak semua hal perlu kita menangkan; sebagian justru harus kita lepaskan.
Nilai kenosis juga menemukan relevansinya dalam relasi sosial dan gender. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali relasi antar manusia—termasuk antara laki-laki dan perempuan—dipenuhi ego, dominasi, dan keinginan untuk mengontrol. Padahal, relasi yang sehat tumbuh dari ruang kesalingan, tempat dua pribadi saling menghormati dan memberi tempat satu sama lain.
Membangun Relasi yang Lebih Setara
Dalam konteks ini, kurban bukan hanya ritual tahunan, melainkan cermin untuk membangun relasi yang lebih adil, setara, dan berkeadaban. Ia mengingatkan kita untuk bertanya: ego siapa yang harus kita korbankan agar cinta bisa tumbuh?
Hak siapa yang kita korbankan demi tradisi yang tidak lagi adil? Kurban mengajak kita mengevaluasi ulang, apakah kita sudah benar-benar lapang dalam mencintai, dalam berjuang, dan dalam hidup bersama.
Pengosongan diri juga relevan dalam kerja-kerja sosial, aktivisme, atau kepemimpinan. Niat baik bisa saja terselip ambisi tersembunyi. Kita ingin menolong, tapi juga ingin dipuji. Kita ingin membela yang lemah, tapi juga ingin terlihat kuat.
Tanpa kita sadari, pekerjaan sosial bisa menjadi ladang ego yang disamarkan. Karenanya, qurban mengingatkan bahwa pekerjaan yang besar harus lahir dari jiwa yang cukup kosong untuk tidak mengagungkan diri.
Kenosis bukan sikap pasif. Ia adalah fondasi kokoh untuk menerima yang lebih tinggi—yakni amanah, cinta, dan rahmat. Orang yang kosong dari ego akan lebih mampu bersikap adil, bijak, dan penuh welas asih. Ia tidak lagi tersandera oleh kebutuhan untuk diakui, tapi justru hadir untuk melayani.
Pesan dari Pengorbanan Nabi Ibrahim
Dalam kehidupan spiritual, pengosongan diri juga membuka pintu menuju makna terdalam dari ibadah. Kita tidak sedang “memberi” sesuatu kepada Tuhan—karena Tuhan tidak membutuhkan persembahan. Yang kita beri sebenarnya adalah kesediaan untuk diubah, untuk dibentuk ulang menjadi manusia yang lebih lapang, sabar, dan sadar.
Barangkali inilah yang menjadi pesan tersembunyi dari pengorbanan Nabi Ibrahim: bahwa kita tidak diminta menghilangkan diri. Tapi mengikhlaskan sebagian diri agar hidup bisa berlanjut dengan cara yang lebih agung.
Seperti Ismail yang terselamatkan bukan karena penolakan, tapi karena kesediaannya, maka banyak dari “kurban” hidup kita juga akan berakhir bukan dengan kehilangan, tapi dengan kelapangan baru—asal kita rela menempuh proses ikhlasnya.
Berkurban adalah latihan batin yang mengajarkan bahwa kehilangan bukan selalu kutukan, dan pengorbanan bukan selalu penderitaan. Kadang, hal-hal yang kita lepaskan justru membuka jalan bagi keberkahan yang lebih besar. Sebab jiwa yang kosong dari ego akan lebih mudah dipenuhi dengan kehadiran Ilahi.
Sebagai penutup, berkurban bukan tentang menjadi manusia yang sempurna, tapi menjadi manusia yang bersedia terbentuk ulang. Kurban adalah pelatihan batin untuk membersihkan ruang hati, agar kita mampu hidup dengan lebih jernih, mencintai dengan lebih tulus, dan menjalani kehidupan dengan keberpihakan pada nilai-nilai yang luhur.
Dalam dunia yang penuh kompetisi, kurban mengajarkan bahwa jalan pengosongan bukan berarti kekalahan, tapi pintu menuju ketenangan. []