Mubadalah.id – Bagi sebagian kalangan ulama fikih menyebutkan bahwa salah satu tujuan keberadaan wali nikah adalah untuk memastikan kebaikan dan menjauhkan segala keburukan bagi perempuan.
Seperti kita ketahui bersama bahwa wali nikah dari pihak perempuan ini biasanya diwakilkan oleh para tokoh agama atau pejabat pemerintah dari Kantor Urusan Agama (KUA).
Namun berangkat dari tujuan wali nikah di atas, yang perlu kita garis bawahi adalah orang yang dapat memastikan kebaikan dan menjauhkan segala keburukan itu, dalam ajaran Islam, tidak hanya bisa dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan. Tetapi bisa juga perempuan lakukan kepada laki-laki.
Maka dari itu, yang menjadi pertanyaan adalah, bolehkah jika perempuan menjadi wali dalam akad nikah?. Karena dalam kebaikan, sudah banyak para perempuan yang melangsungkan semua akad ekonomi, sosial dan politik oleh dirinya sendiri. Lalu mengapa perempuan tidak boleh dan tidak ada yang menjadi wali dalam pernikahan?.
Pertanyaan-pertanyaan tersebutlah yang menarik saya untuk membahas lebih jauh soal wali nikah.
Pandangan Kiai Faqih
Menurut Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Perempuan bukan Makhluk Domestik menyebutkan bahwa ada dua pembahasan yang bisa beliau uraikan dalam wali nikah perempuan. Dua hal tersebut sebagai berikut:
Pertama, perempuan yang menjadi wali nikah bagi dirinya sendiri. Sehingga ia bisa melangsungkan sendiri akad nikahnya, sebagaimana calon mempelai laki-laki, tanpa perlu wali dari keluarganya yang laki-laki.
Dalam kondisi ini, termasuk juga perempuan yang mewakilkan ucapan akad nikah untuk dirinya sendiri kepada orang lain, baik tokoh agama, keluarga, maupun pejabat pemerintah.
Kedua, perempuan yang menjadi wali nikah untuk orang lain, yang bertanggung jawab melangsungkan atau mengucapkan akad nikah untuk kepentingan orang tersebut yang di bawah perwaliannya.
Dalam pandangan Kiai Faqih tersebut saya kira bukan hal yang baru, melainkan sudah sejak lama. Karena kebolehan perempuan menjadi wali nikah ini sudah berlangsung sejak zaman Nabi Muhammad Saw.
Aisyah r.a Menjadi Wali Nikah
Dalam Hadis yang diriwayatkan Imam Malik dalam al-Muwaththa’ tentang perempuan menjadi wali nikah, maka Istri Nabi Muhammad Saw, Aisyah r.a pernah menjadi wali yang menikahkan seorang perempuan dengan seorang laki-laki.
Dari Abdurrahman bin al-Qasim, dari ayahnya al-Qasim bin Abi Bakr al-Shiddiq r.a., bahwa Aisyah r.a menikahkan Hafshah bint Abdurrahman dengan seorang laki-laki bernama al-Mundzir bin al-Zubair.
Saat itu, Abdurrahman (ayah Hafshah) sedang tidak ada, karena berada di Syam. Ketika ia datang dari Syam, dia mengeluh,
“Orang sepertiku diperlakukan seperti ini?. Orang sepertiku dilangkahi untuknya begitu saja?”
Lalu Aisyah r.a. berbicara dengan al-Mundzir bin al-Zubair. Dan al-Mundzir kemudian berkata, “Semua ini (keputusannya berada) di tangan Abdurrahman.”
Lalu Abdurrahman pun menjawab, “Saya tidak bermaksud membatalkan akad yang telah kamu langsungkan, (wahai Aisyah).” Dan Hafshah pun tetap hidup serumah bersama al-Mundzir. (Muwaththa’, no. 1167).
Teks hadis di atas, saya kira bisa menjadi bukti konkrit bahwa perempuan bisa menjadi wali nikah dan bahkan melangsungkan akad nikah bagi orang lain.
Sehingga, jangan pernah dilarang atau merasa aneh jika ada perempuan yang memutuskan untuk menjadi wali nikah. Karena Aisyah ra, istri Nabi Muhammad Saw pun telah mempraktikkannya.
Bahkan Nabi Muhammad Saw sendiri tidak melarang bahkan mengharamkan Aisyah ra saat ia menjadi wali nikah dari Hafshah.
Oleh sebab itu, praktik soal wali nikah ini bisa berlaku bagi siapapun, terlepas dari tujuan di atas. Karena baik laki-laki dan perempuan semuanya bisa saling mendatangkan kebaikan dan menjauhkan dari segala keburukan.
Realitas di Indonesia
Akan tetapi, kebolehan perempuan menjadi wali nikah itu belum sepenuhnya dapat sebagian masyarakat kita terima. Karena di Indonesia, masih memilih pandangan mayoritas ulama fikih yang mewajibkan perempuan menikah melalui walinya dari kerabat dekat yang berjenis kelamin laki-laki. Mulai dari ayah, kakek, paman, atau saudara kandung.
Kemudian, perwalian ini, secara sosial mereka anggap untuk memberi dukungan dan perlindungan bagi perempuan. Sehingga laki-laki calon mempelai tidak meremehkannya.
Karena, seperti kita ketahui bersama, bahwa dalam benak sebagian besar masyarakat Indonesia, masih menempatkan perempuan sebagai makhluk yang kurang akal dan agama, tidak bisa memberikan pelindungan, keamanan, dan kebaikan.
Padahal dalam realitas kehidupan, banyak juga perempuan cerdas, pintar, bahkan menjadi para ulama perempuan. Sehingga standar untuk perempuan menjadi wali nikah, yang harus cerdas dan mendalami agama saya kira tidak sudah relevan kembali.
Terlebih dengan merujuk Hadis di atas, saya kira, jika perempuan menjadi wali nikah sangat sejalan dengan ajaran Islam. Dengan begitu, dalam soal perwalian, perempuan juga memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki. []