Mubadalah.id – Dalam pandanganku, paling tidak ada lima tokoh besar di negeri Muslim terbesar ini yang sangat saya kagumi dan mengesankan sekaligus menjadi idola publik. Mereka adalah Gus Dur, Cak Nurcholis Madjid, Habib Quraish Shihab, Gus Mus dan Buya Syakur Yasin. Mereka adalah para intelektual sekaligus para bijakbestari.
Saya beberapa kali bersama mereka dalam ruang perbincangan intelektual-kemanusiaan yang hangat, dan bersahabat. Saya sering menyebut ketiga tokoh itu sebagai manusia unik, kontroversial, aneh atau “nyleneh“. Ini karena pikiran dan jejak langkah mereka melampaui zamannya. Mungkin sebagaimana disebut Nabi: mereka adalah “Ghuraba“, orang-orang asing. Dan mereka adalah para pembaru untuk perbaikan sosial kemanusiaan. “Fa Thuba Li al Ghuraba.” Betapa bahagianya “orang-orang asing” ini.
Sebagai orang-orang asing pikiran dan langkah mereka pada awalnya ditolak, dikafirkan, diserang, disesatkan dan diharamkan. Tetapi dengan berjalannya waktu pikiran mereka justru dikagumi dan dijadikan mazhab. Ini seperti dikatakan Amin Khuli, sastrawan dan filsuf Mesir:
تعد الفكرة حيناما كافرة تحرم وتحارب ثم تصبح – مع الزمن – مذهباً، بل عقيدة، وإصلاحاً، تخطو به الحياة خطوة إلى الأمام.
“Pada suatu saat sebuah pemikiran, boleh jadi dianggap sebagai kekafiran, diharamkan dan diperangi, tetapi seiring dengan gerak zaman pemikiran itu akan bisa menjadi mazhab, keyakinan dominan dan gagasan perbaikan di mana dengannya kehidupan terus melangkah ke depan”.
Gelisah, Resah
Dalam pandangan dan kesan saya mereka adalah manusia-manusia yang gelisah melihat realitas bumi manusia hari ini yang tengah kehilangan cahaya ilmu pengetahuan, keadilan dan cinta. Boleh jadi lima begawan itu melihat dan merasakan seperti yang dialami Maulana Rumi saat ia mengatakan:
هذا العالم غارق في الآلام والمآسي من رأسه إلى قدميه، وﻻ أمل له في الشفاء إﻻ بيد الحب.
“Dunia tenggelam dalam lara dan penuh luka dari ubun-ubun hingga telapak kaki. Tak ada harapan untuk sembuh kecuali dengan sentuhan tangan cinta”. (Maulana Rumi).
Atau seperti yang disampaikan oleh Syams al-Din Muhammad al-Syahrzuri (w. 1288 M), filsuf, sufi, intelektual dan sejarawan ketika mengatakan dalam bukunya “Nuzhah al Arwah wa Raudhah al Afrah” :
فالزمان قد خلا عن امثال هؤلاء الفضلاء وصار الخلق كلهم – الا ماشاء الله – مغمورين بالجهالة (الجهال).
“Zaman telah sunyi senyap dan kehilangan para bijakbestari (al-Ulama al-Hukama). Umat manusia diliputi ketidakmengertian (orang-orang yang tak paham).”
Adalah menarik bahwa lima orang itu dihadirkan Tuhan untuk menyalakan cahaya cinta kemanusiaan itu dengan cara dan gayanya masing-masing yang unik dan kontroversial.
Satu hal lain yang sangat mengesankan saya adalah ketiganya tak berkata-kata kasar, terbuka, menghargai pandangan yang beragam, kritikal dan menawarkan logika rasional, tidak tekstual dogmatik.
Meski cita-citanya sama, namun pendekatan tiga orang bijak bestari itu berbeda-beda. Gus Dur menawarkan konsep “Pribumisasi Islam,” sebuah konsep mempraktikkan nilai-nilai kemanusia Islam dalam ruang kebudayaan Nusantara. Nurcholis Madjid menggagas pembaruan Islam, Habib Quraish Shihab menawarkan rekontekstualisasi Tafsir al-Qur’an untuk keadilan dan kemanusiaan. Gus Mus tampil dengan sastra puitik yang kritikal dan menghibur.
Buya Syakur Yasin
Lalu bagaimana dengan Buya Syakur Yasin?. Saya acap bersama beliau dan hadir beberapa kali dalam aktifitas beliau di ruang “mengaji” di rumahnya atau di masjid dengan format duduk bersama, setara dan tanpa sekat. Aku melihat baju yang dikenakannya begitu bersahaja, lengan pendek dan terbuat dari benang sederhana. Pendekatan yang digunakan adalah dialog bersahabat dan dialektik. Ini mengingatkan saya pada dialektika Socratik. Meski juga penceramah, Buya Syakur tidak pernah menggunakan pendekatan indoktrinatif, sebagaimana umumnya para penceramah, dai atau muballigh zaman ini.
Saya melihat dan mendengar pandangan-pandangan keagamaannya yang luas-mendalam, sosiologis, filosofis dan sufistik. Saya acap terpukau dan seperti tak percaya, ada seorang kiai di kampung, rajin membaca karya-karya filsafat, psikologi dan tentu saja “Hikam al Hukama.” Buya Syakur mengaji antara lain kitab “Al Fath al Rabbani” karya Syeikh Abd al Qadir al Jilani dan “an Roaytu Allah” karya Mushthafa Mahmud, dll.
Kemudian pada suatu saat saya mendengar Buya Syakur menyebut juga nama Maulana Rumi dan Syeikh Syams Tabrizi. Dua sufi besar sekaligus penyair dunia yang melegenda.
Nah, belakangan saya terperangah manakala Buya Syakur menyelenggarakan apa yang kita sebut dengan “Khalwat”. Ini adalah sebuah aktifitas permenungan ruhani dalam hening di ruang sepi, nun jauh dari suara hirukpikuk dan celoteh yang tak jelas, tentang pencipta alam semesta, dunia metafisis dan dunia manusia. Kata itu kita terjemahkan sebagai “meditasi,” menyepi.
Ini tentu saja “aneh”, tetapi luar biasa. Sebuah cara yang para tokoh pembawa risalah Ketuhanan dan kemanusiaan dari berbagai agama lakukan. Beberapa yang sering kita sebut dan kenal dunia adalah Nabi Muhammad, Nabi Ibrahim, Nabi Khidhir, Nabi Musa, Nabi Isa, Sidharta Gautama dalam Buddha, Konghucu dan para wali Allah Swt di seluruh dunia. Di sana mereka bersemedi, merenungkan Tuhan, belajar mengendalikan hasrat-hasrat duniawi, yakni keinginan terhadap hal-hal yang rendah, kini dan di sini.
Membebaskan Manusia
Dari proses khalwat, meditasi, menyepi dalam permenungan intensif itu para tokoh kemanusiaan ini kemudian menghabiskan hari-harinya untuk bekerja membebaskan manusia dari penderitaan hidup dan menuntun mereka menuju kehidupan yang ia liputi oleh cinta kasih, persaudaraan atas dasar kemanusiaan. Islam menyebutnya “Rahmah.” Yang lain menyebutnya “Kasih”, atau “Compassion” dan lain-lain. Jargon yang populer untuk gagasan ini antara lain:
“Perlakukan orang lain sebagaimana kau ingin diperlakukan,” dan “Jangan perlakukan orang lain dengan cara-cara yang kau sendiri tidak ingin diperlakukan dengannya.”
Itulah puncak dari proses keberagamaan dan cita-cita agama-agama. Ialah cinta. Maulana Rumi mengatakan:
Cintalah yang mengubah pahit jadi manis,
kerikil jadi permata,
keruh jadi bening,
sakit jadi sehat
penjara jadi taman bunga.
Cintalah yang membuat besi jadi lunak.
yang menghancurkan batu,
yang membangkitkan kematian
yang menggerakkan kehidupan
Nah, saya kira begitulah gagasan yang Buya Syakur inginkan melalui “Khalwat” nya di Hutan Sukatani, selama 40 hari.
Sungguh menarik. Buya Syakur adalah pelopor pendekatan ketuhanan dan kemanusiaan ini. Sayang sekali saya belum sempat ikut dalam aktifitas “ibadah Khalwat“, ini. Tetapi saya sempat hadir di dua tempat: di majlis zikir di Pantai Tegal Agung Karangampel dan di Hutan Sukatani, Desa Cikawung, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu.
Menulis Buku
Dalam perbincangan berdua dengan Buya Syakur di rumahnya, saya mengatakan “alangkah indahnya bila pengajian rutin Buya, dalam berbagai modelnya ia tulis lalu ia bukukan, oleh siapapun di antara yang hadir. Agar kelak menjadi peninggalan berharga bagi masyarakat sepanjang zaman.”
Lalu saya membacakan puisi Al Jahiz, seorang sastrawan, ilmuwan, filsuf, dan sufi dalam bukunya “Rasail Jahiz.”
الْقَلَمُ اَبْقَى أَثَراً
وَاللِّسَانُ أَكْثَرُ هَدَراً
لَوْلاَ الْكِتَابُ لَاخْتَلَّتْ أَخْبَارُ الْمَاضِيْنَ
وَانْقَطَعَ أَثَرُ الْغَائِبِيْنَ
وَاِنَّمَا اللِّسَانُ شَاهِد لك
وَالْقَلَمُ لِلْغَائِبِ عَنْكَ
الْكِتَابُ يُقْرَأُ بِكُلِّ مَكَانٍ
وَيُدْرَسُ فِى كُلِّ زَمَانٍ
Jejak goresan pena lebih abadi
Suara lidah acap tak jelas
Andai tak ada buku
Niscaya tak ada cerita masa lalu
Dan terputuslah jejak
mereka yang telah pulang
Lidah hanyalah untuk yang hadir
Pena untuk yang tak hadir
Buku dibaca di segala ruang
Dikaji di segala zaman.
Meski saya tahu bahwa hari ini adalah era digitalisasi. Semua ekspresi literal maupun vokal dapat kita buat dan kita sebarkan di dunia maya.
Maka sungguh senang bahwa para santri Buya Syakur berhasil mencatat, menuliskan dan membukukan pikiran-pikiran brilian yang mencerdaskan akal dan mencerahkan jiwa. Begitu juga perjalanan hidup beliau. Buya telah menulis sejumlah buku.
Saya ingin menyampaikan syukur, apresiasi dan terima kasih atas terbitnya buku ini. Seraya berharap agar ini bisa diteruskan untuk pada waktu yang lain. []