Mubadalah.id – Ada banyak argumentasi mengenai cinta tanah air dalam Islam. Salah satunya adalah yang diajukan KUPI, atau Kongres Ulama Perempuan Indonesia. KUPI adalah Gerakan yang diikuti berbagai individu dari lembaga-lembaga pendidikan Islam, seperti pesantren dan perguruan tinggi Islam, majlis ta’lim, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, aktivis dan peneliti yang memiliki kepedulian pada pemberdayaan perempuan di Indonesia.
Dalam Kongres-nya yang pertama, di Pondok Pesantren Kebon Jambu Babakan Ciwaringin Cirebon, April 2017, KUPI menegaskan moto-nya dalam tiga kata kunci yang bekelindan satu sama lain. Yaitu, keislaman, kebangsaan, dan kemanasiaan. Moto ini bisa menjelaskan bagaimana argumentasi KUPI mengenai cinta tanah air dalam Islam. Tentu saja, bagi KUPI, cinta tanah air merupakan bagian dari keislaman, sekaligus kemanusiaan.
Kaidah dan Implementasi Cinta Tanah Air dalam Islam
Tanah air adalah tempat dimana ajaran-ajaran Islam bisa dilakukan umat Islam di Indonesia. Ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan bahkan haji dan umrah, hanya bisa dilakukan jika seseorang memiliki tanah air, atau tempat berpijak, yang aman dan damai. Mencintai tanah air adalah pondasi kita untuk mewujudkan kehidupan yang aman dan damai, sehingga bisa memungkinkan semua ibadah tersebut terlaksana.
Karena ibadah-ibadah itu wajib, maka memastikan tempat berpijak dimana kita bisa beribadah adalah juga wajib. Kaidahnya dalam fiqh, maa laa yatimmul wajibu illaa bihii fahuwa wajibun. Atau, suatu kewajiban, jika tidak bisa dilaksanakan tanpa sesuatu, maka sesuatu ini juga hukumnya menjadi ikut wajib. Cinta tanah air dalam Islam, yang praktiknya adalah menjaga keamanan dan kedamaian hidup di Indonesia, karena itu, adalah hukumnya menjadi wajib.
Implementasi pertama dari cinta tanah air dalam Islam ini, bagi KUPI, adalah menghormati dan mengamalkan Konstitusi Indonesia, yaitu UUD 1945. KUPI tidak mempertentangkan ayat-ayat suci dan pasal-pasal Konstitusi. Sebaliknya, ayat-ayat suci dalam Islam terkait kehidupan berbangsa, menurut KUPI, adalah teimplementasikan dalam pasal-pasal Konstitusi Republik Indonesia. Melanggar Konstitusi, karena itu, bagi KUPI, adalah juga melanggar ayat-ayat suci Islam yaitu al-Qur’an al-Karim.
Bahkan KUPI melangkah lebih jauh, dimana Konstitusi harus menjadi rujukan fatwa-fatwa keagamaan. Dalam Kongresnya yang pertama, tiga fatwa KUPI tentang kekerasan seksual, perkawinan anak dan perusakan alam, secara jelas merujuk pada Konstitusi, setelah merujuk pada nushush, atau teks-teks al-Qur’an dan Hadits, dan aqwal ulama, berupa khazanah fiqh dan kaidah-kaidah fiqh klasik dan kontemporer. Karena itu, merujuk pada Konstitusi, bagi KUPI, adalah cara implementasi cinta tanah air dalam Islam.
Cinta Tanah Air dalam Metodologi Fatwa KUPI
Cinta tanah air dalam Islam juga bisa ditemukan argumentasi dan implementasinya pada buku Metodologi Fatwa KUPI (2022). Beberapa argumentasi itu bisa diturunkan di sini dalam bentuk poin-poin yang menjadi perspektif KUPI.
Pertama, KUPI lahir dari semangat dan kebersamaan para individu, lembaga, dan komunitas yang beriman pada Allah SWT, Tuhan yang Rahmân dan Rahîm, meyakini ajaran keagamaan yang adil bagi laki-laki dan perempuan, baik di ranah domestik maupun publik, mengadopsi nilai-nilai kebangsaan yang merekatkan, menjiwai nilai-nilai kemanusiaan yang menyatukan semua bangsa, dan mengusung nilai-nilai kerahmatan pada alam dan lingkungan yang menyeimbangkan dan melestarikan semesta.
Kedua, KUPI meyakini nilai kebangsaan sebagi bagian dari keimanan pada fondasi ketauhidan, visi kerahmatan (rahmatan lil ‘âlamîn) dan misi kemaslahatan (akhlâq karîmah). Nilai ini diawali dengan cinta tanah air tempat kita hidup, lahir, besar, dan beraktivitas dengan segala jenisnya yang ibadah ritual maupun sosial.
Bagi KUPI, cinta Tanah Air adalah prasyarat kesempurnaan iman seseorang. Kerja-kerja untuk atau implementasi dari cinta tanah air adalah bagian dari kerja-kerja keimanan dan amal shâlih. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW membutuhkan Mekkah dan Madinah yang aman dan tenteram untuk beriman dan beribadah, maka kita pun membutuhkan tanah air Indonesia yang aman dan tenteram untuk hal yang sama.
Ketiga, KUPI memandang implementasi cinta tanah air dalam Islam, pada konteks Indonesia, adalah dengan merujuk pada Pancasila dan UUD Republik Indonesia. Hal ini, bagi KUPI, adalah bagian dari politik keislaman (as-siyâsah asy-syar’iyyah) yang bertumpu pada kemaslahatan yang dibutuhkan seluruh warga. Hal demikian ini telah didiskusikan dan direstui berbagai ulama klasik dan kontemporer.
Karena itu, ia harus dihormati dan terus dirawat bersama. Kekhasan dari KUPI, dibanding berbagai ormas yang lain dalam isu konstitusi ini, adalah bagaimana memastikan secara nyata kemaslahatan politik keislaman maupun falsafah Pancasila benar-benar memberikan kesejahteraan bagi perempuan dalam kehidupan nyata.
Keempat, sebagai komitmen cinta tanah air dalam Islam, KUPI tidak mempertentangkan ayat-ayat konstitusi dengan ayat-ayat suci. Tidak juga meletakkannya di atas atau di bawah. Melainkan, KUPI memandang bahwa implementasi ayat-ayat suci al-Qur’an tentang kebangsaan dan kenegaraan (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr, QS. Sabâ’ (34):15) adalah justru termaktub dan inherent dalam ayat-ayat Konstitusi Republik Indonesia.
Ayat-ayat tentang prinsip keadilan, kebaikan, relasi berkeluarga, dan bermasyarakat sangat terbuka lebar untuk dipraktikkan dalam konteks Negara Republik Indonesia. Bahkan pengamalan semua rukun Islam yang lima (syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji), peringatan hari-hari besar Islam, pengembangan pendidikan Islam, pengembangan institusi ekonomi Islam, dan banyak lagi yang dijamin Konstitusi bahkan difasilitasi secara kuat oleh negara.
Kelima, sebagai bentuk cinta tanah air dalam Islam, kemudian, KUPI meminta segenap pihak warga bangsa, terutama penegak hukum, untuk selalu merujuk segala kebijakannya kepada Konstitusi, sebagai bentuk keimanan di satu sisi, dan juga cinta tanah air di sisi yang lain. KUPI juga merekomendasikan kepada para pihak, terutama tokoh masyarakat dan agama, untuk tidak mendelegitimasi Konstitusi dengan asumsi melawan ayat-ayat suci.
Karena delegitimasi ini akan menjadi awal dari perpecahan, konflik sosial, intoleransi, dan kekerasan yang bisa saja memicu perang sipil. Jika ini terjadi, sendi-sendi keimanan dan keislaman akan hancur, dan kita akan mengalami kesulitan untuk mewujudkan fondasi ketauhidan, visi kerahmatan, dan misi kemaslahatan yang diamanatkan Islam. Demikian ini, argumentas-argumentasi KUPI mengenai cinta tanah air dalam Islam. Wallahu a’lam. []
(Catatan: artikel ini merujuk pada buku: Faqihuddin Abdul Kodir, Metodologi Fatwa KUPI: Pokok-pokok Pikiran Musyawarah Keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia, Cirebon: KUPI, 2022. Yang berminat bisa kontak: 08112430234).